Soal HAM, DPR Kritisi Pasukan Australia Bunuh 39 Warga Sipil Afghanistan

Minggu, 06 Desember 2020 - 16:49 WIB
loading...
Soal HAM, DPR Kritisi Pasukan Australia Bunuh 39 Warga Sipil Afghanistan
Anggota Komisi I DPR RI, Tubagus Hasanudin. Foto/SINDOnews
A A A
JAKARTA - Sejak sepekan terakhir, berbagai media di Australia dan Dunia Barat memberitakan kasus pembunuhan 39 warga sipil Afghanistan oleh Pasukan Khusus Australia di Afganistan yang terjadi beberapa tahun silam dan baru terungkap.

(Baca juga: Australia Bersiap Rilis Hasil Penyelidikan Kejahatan Perang di Afghanistan)

Anggota Komisi I DPR RI, Tubagus Hasanudin, yang dihubungi, Sabtu (5/12/2020) mengatakan, pengiriman pasukan asing ke suatu negara maksudnya untuk melindungi HAM warga setempat walau pada praktek bisa terjadi pelanggaran di tingkat lapangan.

"Kasus pembunuhan 39 warga Afghanistan tersebut merupakan salah satu bentuk kejahatan. Pasukan yang harusnya melindungi HAM warga sipil justru melanggar," kata TB Hasanudin.

"Ada ketimpangan ketika negara maju mengirimkan pasukan ke negara berkembang atau negara miskin, berulangkali terjadi pelanggaran dengan korban rakyat sipil di negara berkembang atau negara miskin. Akan tetapi oknum prajurit yang melakukan kejahatan atau pelanggaran justru dilindungi ketika kembali ke negara asalnya," tambahnya.

(Baca juga: DPR Ingatkan Kesuksesan Pilkada Bergantung Penerapan Protokol Corona)

Kasus pembunuhan 39 warga sipil Afghanistan dalam laporan BBC tanggal 27 November 2020 menjelaskan, kasus pembunuhan terjadi dalam kurun 2009-2013 melibatkan 13 anggota Pasukan Khusus-Special Air Service yang ditempatkan di Afganistan. BBC melaporkan 25 prajurit SAS terlibat langsung atau membantu pembunuhan 39 warga sipil Afganistan dalam 23 kasus terpisah.

Disebutkan bukti bahwa prajurit SAS junior diberikan kesempatan untuk memiliki pengalaman perdana membunuh manusia, senjata dan beberapa perkakas ditempatkan di dekat jenazah warga Afghan untuk menutupi kejahatan tersebut, dan ada dua kejahatan kepada warga sipil Afghanistan berupa perlakuan kejam.

TB Hasanudin mencontohkan, peristiwa pembantaian lebih dari 300 warga Vietnam di Desa My Lai oleh tentara Amerika Serikat. Komandan pasukan Amerika tersebut kemudian dibebaskan oleh Mahkamah Militer di Amerika Serikat.

"Sepertinya nyawa manusia di negara miskin atau berkembang tidak ada artinya dengan perlakuan istimewa yang diterima oknum prajurit asal negara maju. Seperti ada standar ganda dalam menerapkan Hak Asasi Manusia," kata TB Hasanudin.

Dia mengingatkan, dalih melindungi HAM kerap digunakan oleh suatu negara maju untuk menekan negara lain. Semisal kasus invasi militer Amerika Serikat ke Irak dengan dalih adanya senjata pemusnah massal (Weapon of Mass Destruction-WMD) di Irak yang ternyata hingga akhir perang tidak ditemukan adanya senjata tersebut.

Padahal Irak terlanjur hancur, dan begitu banyak rakyat Irak menjadi korban dari serbuan militer koalisi pimpinan Amerika Serikat tersebut.

Secara terpisah, Direktur Eksekutif Imparsial, Al Araf mengatakan, Australia harus menuntaskan investigasi terhadap dugaan kejahatan yang dilakukan prajurit pasukan khusus di Afghanistan. Dalam sebuah konflik bersenjata, Hukum HAM Internasional mengenal adanya pembedaan yakni kombatan dan non kombatan.

"Warga sipil adalah bagian dari Non Kombatan yang harus dilindungi dan tidak boleh menjadi sasaran sengketa bersenjata. Pembunuhan terhadap 39 warga sipil Afghanistan oleh tentara Australia adalah pelanggaran HAM Internasional. Di sisi lain, kasus tersebut juga menjadi pelajaran bagi Indonesia dalam menyikapi dugaan pelanggaran HAM yang dilakukan prajurit TNI di dalam negeri. Seperti kasus penembakan Pendeta Yeremia di Kabupaten Intan Jaya," ungkap Al Araf.

Kritik juga disampaikan anggota Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Banten Bidang Kerja Sama Luar Negeri, Sukron Makmun yang 14 tahun hidup di Timur Tengah mengatakan, dalam keadaan perang tidak dibenarkan membunuh warga sipil.

"Mengacu pada hukum Agama Islam, di dalam perang ada hal yang harus dihindari yakni membunuh anak, wanita, warga lanjut usia, dan menghancurkan tempat ibadah. Tindakan membunuh sesama kombatan pun tidak boleh melampaui batas seperti merusak tubuh lawan. Kehormatan lawan pun harus dijaga," jelas Sukron.

Sukron Makmun menyayangkan, adanya standar ganda dalam menerapkan Hak Asasi Manusia terutama dalam rangka perlindungan HAM bagi warga di negara miskin atau berkembang yang dilakukan pihak Barat dan Negara Maju.

Situs berita Al Jazeera, koran The Washington Post, dan The Guardian menurunkan rangkaian liputan khusus dan opini menyoroti kasus pembunuhan 39 warga Afghanistan yang diduga melibatkan lebih dari 20 anggota pasukan khusus SAS Australia.
(maf)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1549 seconds (0.1#10.140)