Ikuti PBB, Indonesia Didesak Lebih Terbuka soal Pemanfaatan Ganja untuk Medis
loading...
A
A
A
JAKARTA - Komisi untuk Narkotika Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menghapus ganja dan getahnya dari golongan obat-obatan berbahaya. Sebelumnya, ganja dan turunannya masuk dalam golongan I dan IV Konvensi Tunggal Narkotika 1961.
Juru bicara Koalisi Advokasi Narkotika Untuk Kesehatan Iftitahsari menerangkan narkotika golongan IV memiliki manfaat medis, tetapi tingkat ketergantungan dan penyalahgunaannya tinggi. Karena itu, selama ini ganja masuk dalam subjek yang dikontrol paling ketat.
“Dengan dikeluarkannya ganja dan getahnya dari Golongan IV, maka tidak lagi sama dengan heroin atau opioid yang bisa menyebabkan kematian. Sebaliknya, manfaat kesehatan dari tanaman ganja semakin diakui,” ujarnya dalam keterangan tertulis yang diterima SINDOnews, Kamis (3/12/2020).
(Baca: Badan PBB Hapus Ganja dari Kategori Narkoba Paling Berbahaya di Dunia)
Iftitahsari mengatakan hal itu terlihat dari hasil penelitian dan praktik-praktik pengobatan ganja medis di berbagai negara. Bisa berupa terapi, pengobatan gejala epilepsi, dan lain-lain.
“Langkah yang diambil PBB ini cukup berpengaruh terhadap posisi ganja dalam kebijakan narkotika secara internasional. Sehingga tidak lagi menjadi penghalang untuk perkembangan ilmu pengetahuan maupun pemanfaatannya dalam dunia medis,” tuturnya.
Iftitahsari mendorong pemerintah Indonesia untuk terbuka akan potensi pemanfaatan ganja medis. Pemerintah, menurutnya, harus menerbitkan regulasi yang memungkinkan ganja digunakan untuk kepentingan medis.
(Klik ini untuk ikuti survei SINDOnews tentang Calon Presiden 2024)
“Kesempatan ini harus dapat dijadikan momentum bagi Pemerintah untuk merombak kebijakan narkotika yang berbasiskan bukti (evidence-based policy). Adanya hasil voting lembaga PBB ini sudah dapat dijadikan sebagai legitimasi medis dan konsensus politik yang harus diikuti negara-negara anggotanya, termasuk Indonesia,” pungkasnya.
Juru bicara Koalisi Advokasi Narkotika Untuk Kesehatan Iftitahsari menerangkan narkotika golongan IV memiliki manfaat medis, tetapi tingkat ketergantungan dan penyalahgunaannya tinggi. Karena itu, selama ini ganja masuk dalam subjek yang dikontrol paling ketat.
“Dengan dikeluarkannya ganja dan getahnya dari Golongan IV, maka tidak lagi sama dengan heroin atau opioid yang bisa menyebabkan kematian. Sebaliknya, manfaat kesehatan dari tanaman ganja semakin diakui,” ujarnya dalam keterangan tertulis yang diterima SINDOnews, Kamis (3/12/2020).
(Baca: Badan PBB Hapus Ganja dari Kategori Narkoba Paling Berbahaya di Dunia)
Iftitahsari mengatakan hal itu terlihat dari hasil penelitian dan praktik-praktik pengobatan ganja medis di berbagai negara. Bisa berupa terapi, pengobatan gejala epilepsi, dan lain-lain.
“Langkah yang diambil PBB ini cukup berpengaruh terhadap posisi ganja dalam kebijakan narkotika secara internasional. Sehingga tidak lagi menjadi penghalang untuk perkembangan ilmu pengetahuan maupun pemanfaatannya dalam dunia medis,” tuturnya.
Iftitahsari mendorong pemerintah Indonesia untuk terbuka akan potensi pemanfaatan ganja medis. Pemerintah, menurutnya, harus menerbitkan regulasi yang memungkinkan ganja digunakan untuk kepentingan medis.
(Klik ini untuk ikuti survei SINDOnews tentang Calon Presiden 2024)
“Kesempatan ini harus dapat dijadikan momentum bagi Pemerintah untuk merombak kebijakan narkotika yang berbasiskan bukti (evidence-based policy). Adanya hasil voting lembaga PBB ini sudah dapat dijadikan sebagai legitimasi medis dan konsensus politik yang harus diikuti negara-negara anggotanya, termasuk Indonesia,” pungkasnya.
(muh)