ICJR: Hilangkan Stigma dan Diskriminasi Penderita HIV-AIDS
loading...
A
A
A
JAKARTA - 1 Desember diperingati sebagai Hari AIDS Sedunia . Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menyatakan HIV-AIDS ini isu bersama. Bukan isu yang selalu dikaitkan dengan kelompok terpinggirkan dalam masyarakat.
Masalahnya, orang mengidap AIDS biasanya mendapatkan stigma negatif dan kerap dijauhi dari pergaulan sekitarnya. Direktur Eksekutif ICJR Erasmus Napitupulu mengatakan, menghilangkan stigma dan diskriminasi merupakan cara efektif untuk menangani HIV-AIDS di Indonesia.
"Hal ini hanya dapat dilakukan dengan menghapus ataupun mencegah usulan kebijakan yang bersifat diskriminatif pada populasi HIV -AIDS," ujarnya dalam keterangan tertulis yang diterima SINDOnews, Selasa (1/12/2020).
Berdasarkan data UNAIDS pada tahun 2018, ada 640.000 orang hidup dengan HIV (ODHIV). Hanya 51 persen ODHIV yang mengetahui statusnya itu dan 17 memperoleh akses layanan kesehatan.
Jumlah yang lebih buruk terjadi pada ibu hamil. Hanya 15 persen yang mengakses layanan kesehatan untuk pencegahan transmisi HIV ke anak.
"Hanya 11,37 persen laki-laki dan perempuan usia 15-24 tahun menyadari cara yang tepat untuk mencegah transmisi HIV. Pengetahuan tentang penanggulangan HIV dapat dikatakan belum maksimal," tutur Erasmus.
( ).
ICJR mengungkapkan, populasi kunci orang yang mengidap HIV-AIDS , antara lain, pengguna napza suntik, pekerja seks komersial dan pelanggannya, waria, pasangan seks sesama jenis, dan warga binaan lapas atau rutan. Erasmus menyatakan, kebijakan penanggulangan akan berhasil jika pemerintah dan masyarakat merangkul kelompok tersebut.
"Kebijakan overkriminalisasi membuat kelompok rentan, seperti pengguna narkotika, dikirim ke penjara. Ini menyebabkan jumlah populasi kunci HIV terus bertambah di tengah praktek pemenjaraan yang sarat pelanggaran HAM," jelasnya.
(Baca Juga: Warga Diajak Wujudkan Nol Infeksi, Diskriminasi, dan Kematian Akibat HIV/AIDS).
Dia mengungkapkan, pada tataran lokal, kebijakan daerah yang diskriminatif pada kelompok LGBT, pekerja seks, dan waria terus tumbuh. "Tak jarang, ide kriminalisasi mereka dijadikan komoditas politik," pungkasnya.
Masalahnya, orang mengidap AIDS biasanya mendapatkan stigma negatif dan kerap dijauhi dari pergaulan sekitarnya. Direktur Eksekutif ICJR Erasmus Napitupulu mengatakan, menghilangkan stigma dan diskriminasi merupakan cara efektif untuk menangani HIV-AIDS di Indonesia.
"Hal ini hanya dapat dilakukan dengan menghapus ataupun mencegah usulan kebijakan yang bersifat diskriminatif pada populasi HIV -AIDS," ujarnya dalam keterangan tertulis yang diterima SINDOnews, Selasa (1/12/2020).
Berdasarkan data UNAIDS pada tahun 2018, ada 640.000 orang hidup dengan HIV (ODHIV). Hanya 51 persen ODHIV yang mengetahui statusnya itu dan 17 memperoleh akses layanan kesehatan.
Jumlah yang lebih buruk terjadi pada ibu hamil. Hanya 15 persen yang mengakses layanan kesehatan untuk pencegahan transmisi HIV ke anak.
"Hanya 11,37 persen laki-laki dan perempuan usia 15-24 tahun menyadari cara yang tepat untuk mencegah transmisi HIV. Pengetahuan tentang penanggulangan HIV dapat dikatakan belum maksimal," tutur Erasmus.
( ).
ICJR mengungkapkan, populasi kunci orang yang mengidap HIV-AIDS , antara lain, pengguna napza suntik, pekerja seks komersial dan pelanggannya, waria, pasangan seks sesama jenis, dan warga binaan lapas atau rutan. Erasmus menyatakan, kebijakan penanggulangan akan berhasil jika pemerintah dan masyarakat merangkul kelompok tersebut.
"Kebijakan overkriminalisasi membuat kelompok rentan, seperti pengguna narkotika, dikirim ke penjara. Ini menyebabkan jumlah populasi kunci HIV terus bertambah di tengah praktek pemenjaraan yang sarat pelanggaran HAM," jelasnya.
(Baca Juga: Warga Diajak Wujudkan Nol Infeksi, Diskriminasi, dan Kematian Akibat HIV/AIDS).
Dia mengungkapkan, pada tataran lokal, kebijakan daerah yang diskriminatif pada kelompok LGBT, pekerja seks, dan waria terus tumbuh. "Tak jarang, ide kriminalisasi mereka dijadikan komoditas politik," pungkasnya.
(zik)