'Nganggur' Usai Jabat Gubernur pada 2022, Anies Masih Berpeluang Nyapres?
loading...
A
A
A
Qodari menilai, elektabilitas para gubernur bisa saja turun jika pandemi berakhir karena selama ini eksposure memang paling banyak terjadi kepada mereka. Terlebih Anies dengan Jakarta yang eksposurenya nasional.
“Apakah elektabilitas gubernur ini akan bertahan atau tidak, kita lihat nanti karena untuk tampil di pilpres tentu tidak sekadar perlu momentum pandemi,” ujarnya beberapa waktu lalu.
Jika pun mampu mempertahankan elektabilitas, hambatan lain yang akan dihadapi Anies dan gubernur lain adalah dukungan partai politik. Sebagai figur nonparpol, mereka akan bersaing dengan elite parpol untuk mendapatkan jatah kursi capres.
Pada umumnya parpol telah memiliki calon yang tak lain adalah ketua umum masing-masing. Partai Gerindra misalnya, hampir pasti akan mengusung ketua umumya Prabowo Subianto. Partai Golkar pun demikian, akan mengajukan ketua umumnya Airlangga Hartarto. PDI Perjuangan kemungkinan akan mengusung Puan Maharani yang tak lain anak dari Ketua Umum Megawati Soekarnoputri. Partai menengah seperti Demokrat dan PKB sudah memiliki Agus Harimurti Yudhoyono dan Muhaimin Iskandar, minimal untuk jabatan cawapres.
Lalu kendaraan politik apa yang tersisa untuk capres dari nonparpol?
Satu-satunya jalan bagi figur seperti Anies dalam memperoleh karpet merah dari parpol adalah elektabilitas yang sangat tinggi. Ini sudah dibuktikan Joko Widodo (Jokowi) pada Pilpres 2014. Saat itu, meski Jokowi yang juga gubernur DKI bukan elite parpol, namun dengan popularitas dan elektabilitas yang tinggi, dia akhirnya mampu menarik banyak partai untuk mendukungnya.( )
Hanya bedanya, saat maju menjadi capres, Jokowi masih menjabat gubernur DKI sehingga masih memiliki panggung. Sedangkan Anies harus mengakhiri jabatan sebagai gubernur Ibu Kota dua tahun sebelum masa pencoblosan pilpres.
Artinya, untuk dapat menjaga dan menaikkan elektabilitasnya sebagai bakal capres, Anies memerlukan panggung lain biar nanti tidak benar-benar “menganggur” usai meletakkan jabatan. Panggung seperti apa? Kita lihat nanti
“Apakah elektabilitas gubernur ini akan bertahan atau tidak, kita lihat nanti karena untuk tampil di pilpres tentu tidak sekadar perlu momentum pandemi,” ujarnya beberapa waktu lalu.
Jika pun mampu mempertahankan elektabilitas, hambatan lain yang akan dihadapi Anies dan gubernur lain adalah dukungan partai politik. Sebagai figur nonparpol, mereka akan bersaing dengan elite parpol untuk mendapatkan jatah kursi capres.
Pada umumnya parpol telah memiliki calon yang tak lain adalah ketua umum masing-masing. Partai Gerindra misalnya, hampir pasti akan mengusung ketua umumya Prabowo Subianto. Partai Golkar pun demikian, akan mengajukan ketua umumnya Airlangga Hartarto. PDI Perjuangan kemungkinan akan mengusung Puan Maharani yang tak lain anak dari Ketua Umum Megawati Soekarnoputri. Partai menengah seperti Demokrat dan PKB sudah memiliki Agus Harimurti Yudhoyono dan Muhaimin Iskandar, minimal untuk jabatan cawapres.
Lalu kendaraan politik apa yang tersisa untuk capres dari nonparpol?
Satu-satunya jalan bagi figur seperti Anies dalam memperoleh karpet merah dari parpol adalah elektabilitas yang sangat tinggi. Ini sudah dibuktikan Joko Widodo (Jokowi) pada Pilpres 2014. Saat itu, meski Jokowi yang juga gubernur DKI bukan elite parpol, namun dengan popularitas dan elektabilitas yang tinggi, dia akhirnya mampu menarik banyak partai untuk mendukungnya.( )
Hanya bedanya, saat maju menjadi capres, Jokowi masih menjabat gubernur DKI sehingga masih memiliki panggung. Sedangkan Anies harus mengakhiri jabatan sebagai gubernur Ibu Kota dua tahun sebelum masa pencoblosan pilpres.
Artinya, untuk dapat menjaga dan menaikkan elektabilitasnya sebagai bakal capres, Anies memerlukan panggung lain biar nanti tidak benar-benar “menganggur” usai meletakkan jabatan. Panggung seperti apa? Kita lihat nanti
(dam)