Pengumuman Tersangka sebelum Penangkapan Dinilai Berisiko
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pengumuman tersangka kasus tindak pidana korupsi sebelum penangkapan berpotensi menimbulkan sejumlah persoalan, salah satunya adanya perlawanan.
Ketua Front Antikorupsi Indonesia (FAKI), Suhendar menjelaskan sejumlah potensi yang muncul dari pengumuman penetapan tersangka korupsi sebelum penangkapan. "Pertama, penetapan tersangka jika diumumkan berpotensi menimbulkan perlawanan dari tersangka, contohnya adalah melarikan diri," kata Suhendar dalam keterangannya di Jakarta, Sabtu (9/5/2020).
Kedua, lanjut dia, tersangka berpotensi memengaruhi proses peradilan, baik di tingkat penyidikan maupun pada tahap persidangan.
Menurut dia, pengumuman tersangka korupsi yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga berpotensi melanggar asas praduga tidak bersalah atau presumption of innocent meskipun sebelumnya ada surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP).
Sebab presumption of innocent adalah asas seseorang dianggap tidak bersalah hingga pengadilan menyatakan bersalah.
"Pengumuman pada publik cenderung membuat tersangka dinilai telah bersalah dalam persfektif awam dan oleh karenanya berpotensi melanggar asas praduga tak bersalah," tutur Suhendar.
Sementara itu terkait cara KPK yang saat ini cenderung senyap dalam penindakan tindak pidana korupsi, suhendar menyatakan dukungannya terhadap langkah yang diambil KPK. Hal tersebut untuk kepentingan pencegahan dan penindakan kasus korupsi.
"Korupsi masih menjadi penyakit negeri, bukan saatnya saling mengkritik, mari bersama kawal dan mendukung KPK," tuturnya.
Sebelumnya diberitakan Indonesia Corruption Watch (ICW) mengkritik cara baru KPK di bawah kepemimpinan Firli Bahuri yang tak mengumumkan status tersangka terlebih dahulu.
ICW menilai penyataan Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango yang mengaitkan pengumuman status tersangka dengan potensi tersangka kabur tidak relevan.
"Mengaitkan pengumuman penetapan tersangka oleh KPK dengan potensi pelaku kejahatan korupsi melarikan diri sebenarnya tidak relevan," kata peneliti ICW Kurnia Ramadhana dalam keterangan tertulis, Jumat 8 Mei 2020.
Kurnia menyebut selama ini KPK selalu mengirimkan surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP) terlebih dahulu sebelum menggelar konferensi pers penetapan tersangka.
Menurut Kurnia, hal itu terjadi ketika KPK menetapkan mantan Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Imam Nahrawi.
Menurut dia, pengumuman status tersangka pada dasarnya merupakan penerapan Pasal 5 UU KPK yang mengharuskan KPK menjalankan tugas dan kewenangannya berasaskan pada nilai keterbukaan, akuntabilitas, dan kepentingan umum.
Selain itu, lanjut Kurnia, pimpinan KPK Nawawi harusnya memahami jika lembaga antikorupsi itu mempunyai kewenangan untuk meminta penerbitan pelarangan ke luar negeri terhadap tersangka yang dinilai bisa melarikan diri. Ketentuan itu diatur dalam Pasal 12 Ayat 2 huruf a Undang-Undang KPK.
Ketua Front Antikorupsi Indonesia (FAKI), Suhendar menjelaskan sejumlah potensi yang muncul dari pengumuman penetapan tersangka korupsi sebelum penangkapan. "Pertama, penetapan tersangka jika diumumkan berpotensi menimbulkan perlawanan dari tersangka, contohnya adalah melarikan diri," kata Suhendar dalam keterangannya di Jakarta, Sabtu (9/5/2020).
Kedua, lanjut dia, tersangka berpotensi memengaruhi proses peradilan, baik di tingkat penyidikan maupun pada tahap persidangan.
Menurut dia, pengumuman tersangka korupsi yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga berpotensi melanggar asas praduga tidak bersalah atau presumption of innocent meskipun sebelumnya ada surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP).
Sebab presumption of innocent adalah asas seseorang dianggap tidak bersalah hingga pengadilan menyatakan bersalah.
"Pengumuman pada publik cenderung membuat tersangka dinilai telah bersalah dalam persfektif awam dan oleh karenanya berpotensi melanggar asas praduga tak bersalah," tutur Suhendar.
Sementara itu terkait cara KPK yang saat ini cenderung senyap dalam penindakan tindak pidana korupsi, suhendar menyatakan dukungannya terhadap langkah yang diambil KPK. Hal tersebut untuk kepentingan pencegahan dan penindakan kasus korupsi.
"Korupsi masih menjadi penyakit negeri, bukan saatnya saling mengkritik, mari bersama kawal dan mendukung KPK," tuturnya.
Sebelumnya diberitakan Indonesia Corruption Watch (ICW) mengkritik cara baru KPK di bawah kepemimpinan Firli Bahuri yang tak mengumumkan status tersangka terlebih dahulu.
ICW menilai penyataan Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango yang mengaitkan pengumuman status tersangka dengan potensi tersangka kabur tidak relevan.
"Mengaitkan pengumuman penetapan tersangka oleh KPK dengan potensi pelaku kejahatan korupsi melarikan diri sebenarnya tidak relevan," kata peneliti ICW Kurnia Ramadhana dalam keterangan tertulis, Jumat 8 Mei 2020.
Kurnia menyebut selama ini KPK selalu mengirimkan surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP) terlebih dahulu sebelum menggelar konferensi pers penetapan tersangka.
Menurut Kurnia, hal itu terjadi ketika KPK menetapkan mantan Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Imam Nahrawi.
Menurut dia, pengumuman status tersangka pada dasarnya merupakan penerapan Pasal 5 UU KPK yang mengharuskan KPK menjalankan tugas dan kewenangannya berasaskan pada nilai keterbukaan, akuntabilitas, dan kepentingan umum.
Selain itu, lanjut Kurnia, pimpinan KPK Nawawi harusnya memahami jika lembaga antikorupsi itu mempunyai kewenangan untuk meminta penerbitan pelarangan ke luar negeri terhadap tersangka yang dinilai bisa melarikan diri. Ketentuan itu diatur dalam Pasal 12 Ayat 2 huruf a Undang-Undang KPK.
(dam)