Soal HRS Tak Sesederhana Denda Rp50 Juta
loading...
A
A
A
TANPA diawali banyak pertanda, dalam sekejap kepulangan Habib Rizieq Shihab (HRS) seolah cepat membuyarkan segalanya. Tatanan rapi penanganan virus korona dan segala jerih payah berbagai elemen bangsa ini seperti rontok dikoyak hanya dalam hitungan hari.
Banyak pihak pantas marah dan prihatin atas fenomena ini. Tak salah pula jika mulai kemarin muncul petisi di change.org agar HRS menjalani karantina. Kemarahan, keprihatinan, hingga petisi dari publik itu tidak boleh dianggap enteng. Segala bentuk perasaan dan aktivitas itu hakikatnya bagian dari respons masyarakat luas yang melihat ada ketidaknormalan penanganan di tengah kepulangan HRS.
Publik kian heran manakala negara seolah permisif bahkan tak berdaya. Tidak sulit kiranya untuk melihat fakta bagaimana longgarnya kebijakan yang diberikan pemerintah pada kasus HRS ini. Proses pengamanan di Bandara Soekarno-Hatta yang kurang ketat sehingga mengakibatkan ratusan penerbangan terganggu, penjemputan melibatkan ribuan orang, kegiatan massal di kawasan Puncak Bogor dan acara pernikahan tanpa protokol kesehatan Covid-19 adalah sederet fakta-fakta kuat sekaligus tak henti menyisakan pertanyaan besar hingga kini.
Apakah kedatangan HRS di bandara yang akan dijemput ribuan orang pengikutnya pekan lalu itu tak sempat tercium oleh intelijen negara sebelumnya? Apakah polisi atau TNI tidak memperkirakan kerumunan ribuan orang itu selain berbahaya pada penyebaran Covid-19 juga berpotensi terjadi ketegangan di lapangan?
Tidakkah negara, termasuk jajaran Pemprov DKI Jakarta maupun Satgas Penanganan Covid-19, sudah memiliki regulasi dan peranti yang memadai untuk mengantisipasi hal itu. Faktanya, di depan HRS regulasi dan peranti itu seolah tak punya arti. Di sisi lain, kelonggaran inilah yang membuat HRS dan pengikutnya juga merasa enak-enak saja. Bisa jadi mereka kian jemawa. Pun termasuk denda Rp50 juta sebagaimana yang ditunjukkan sebagai konsekuensi atas pelanggaran, jelas tak lantas membuat mereka jera.
Benarkah HRS begitu istimewa sehingga sengaja mendapat perlakuan-perlakuan yang berbeda? Negara jangan lambat dan terlihat lemah. Buntut kekisruhan HRS ini, Kapolda Metro Jaya Irjen Nana Sudjana, Kapolda Jabar Irjen Rudy Sufahriadi, dan sejumlah kapolres kemarin dicopot dari jabatan mereka. Namun, masih banyak pihak lain yang patut dimintai tanggung jawab karena telah mengoyak rasa keadilan masyarakat.
Meski tegas, respons pemerintah pun hakikatnya telat. Sebab, langkah terbaik sejatinya adalah berpikir dini menyiapkan antisipasi. Praktis, betapa pun kuatnya narasi, termasuk sanksi hingga denda Rp50 juta, tentu tak terlalu banyak berarti. Ya, karena di balik itu tentu ada pihak-pihak yang sudah kadung dibuat rugi.
Banyak pihak pantas marah dan prihatin atas fenomena ini. Tak salah pula jika mulai kemarin muncul petisi di change.org agar HRS menjalani karantina. Kemarahan, keprihatinan, hingga petisi dari publik itu tidak boleh dianggap enteng. Segala bentuk perasaan dan aktivitas itu hakikatnya bagian dari respons masyarakat luas yang melihat ada ketidaknormalan penanganan di tengah kepulangan HRS.
Publik kian heran manakala negara seolah permisif bahkan tak berdaya. Tidak sulit kiranya untuk melihat fakta bagaimana longgarnya kebijakan yang diberikan pemerintah pada kasus HRS ini. Proses pengamanan di Bandara Soekarno-Hatta yang kurang ketat sehingga mengakibatkan ratusan penerbangan terganggu, penjemputan melibatkan ribuan orang, kegiatan massal di kawasan Puncak Bogor dan acara pernikahan tanpa protokol kesehatan Covid-19 adalah sederet fakta-fakta kuat sekaligus tak henti menyisakan pertanyaan besar hingga kini.
Apakah kedatangan HRS di bandara yang akan dijemput ribuan orang pengikutnya pekan lalu itu tak sempat tercium oleh intelijen negara sebelumnya? Apakah polisi atau TNI tidak memperkirakan kerumunan ribuan orang itu selain berbahaya pada penyebaran Covid-19 juga berpotensi terjadi ketegangan di lapangan?
Tidakkah negara, termasuk jajaran Pemprov DKI Jakarta maupun Satgas Penanganan Covid-19, sudah memiliki regulasi dan peranti yang memadai untuk mengantisipasi hal itu. Faktanya, di depan HRS regulasi dan peranti itu seolah tak punya arti. Di sisi lain, kelonggaran inilah yang membuat HRS dan pengikutnya juga merasa enak-enak saja. Bisa jadi mereka kian jemawa. Pun termasuk denda Rp50 juta sebagaimana yang ditunjukkan sebagai konsekuensi atas pelanggaran, jelas tak lantas membuat mereka jera.
Benarkah HRS begitu istimewa sehingga sengaja mendapat perlakuan-perlakuan yang berbeda? Negara jangan lambat dan terlihat lemah. Buntut kekisruhan HRS ini, Kapolda Metro Jaya Irjen Nana Sudjana, Kapolda Jabar Irjen Rudy Sufahriadi, dan sejumlah kapolres kemarin dicopot dari jabatan mereka. Namun, masih banyak pihak lain yang patut dimintai tanggung jawab karena telah mengoyak rasa keadilan masyarakat.
Meski tegas, respons pemerintah pun hakikatnya telat. Sebab, langkah terbaik sejatinya adalah berpikir dini menyiapkan antisipasi. Praktis, betapa pun kuatnya narasi, termasuk sanksi hingga denda Rp50 juta, tentu tak terlalu banyak berarti. Ya, karena di balik itu tentu ada pihak-pihak yang sudah kadung dibuat rugi.
(bmm)