Kecam Saja Tak Cukup, Indonesia Perlu Jadi Komunikator Pemahaman Dunia soal Islam
loading...
A
A
A
JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengecam keras pernyataan Presiden Prancis Emmanuel Macron yang menghina Islam. Pernyataan itu disampaikan Macron menyikapi pembunuhan oleh seorang muslim kelahiran Rusia, Abdullah Anzurov terhadap seorang guru bernama Samuel Patty karena menunjukkan karikatur Nabi Muhammad SAW yang diambilnya dari Majalah Satir Charlie Hebdo dengan dalih mengajarkan kebebasan berekspresi.
Ketua Fraksi Golkar MPR Idris Laena mengatakan, ada tiga poin utama dari kronologi kejadian di Prancis, yaitu kebebasan berekspresi yang kebablasan. Tindakan kekerasan yang sama sekali tidak pernah dibenarkan agama manapun, dan menghina agama lain dengan dikaitkan tindak terorisme.
"Sebetulnya tragedi demi tragedi yang muncul akibat masalah seperti di atas sudah sering terjadi. Namun kali ini mendapat perhatian luas karena seorang Presiden dari negara maju bernama Immanuel Macron menyikapi dengan emosional yang justru cenderung menghina agama lain," katanya, Minggu (1/11/2020).
(Baca: Kecam Macron, Romo Benny: Jangan Manipulasi Kebebasan Berekspresi untuk Hina Agama)
Hal yang tentu perlu disikapi serius, kata Idris, jika seorang presiden dari sebuah negara maju masih mempunyai pandangan yang keliru tentang Islam maka pasti ada sesuatu yang salah. "Minimal komunikasi internasional yang selama ini menjadi domain dan menjadi tempat berhimpun negara-negara Islam, OKI (Organisasi Kerjasama Islam) yang didirikan di Rabat, Maroko pada 25 September 1969 dan beranggotakan 57 negara serta memiliki perwakilan resmi di PBB, tidak menjalankan fungsinya dengan baik," tutur anggota Komisi VI DPR ini.
Lantas bagaimana dengan Indonesia, negara berpenduduk muslim terbesar di dunia? Idris Laena mengatakan bahwa seharusnya Indonesia tidak cukup hanya mengecam. “Indonesia seharusnya bisa berperan besar menjadi komunikator yang baik dengan negara-negara lain di dunia,” katanya.
Selain karena Islam yang dipahami adalah Islam yang rahmatan lil alamin, juga sejalan dengan sila pertama Pancasila yang menjadi dasar negara Indonesia yakni menjaga toleransi antaragama dan membangun toleransi antar umat beragama. "Sehingga stigma Islam sebagai agama radikal bisa hilang dengan sendirinya," tuturnya.
(Baca: Jokowi Bisa Dorong Macron Minta Maaf ke Umat Islam, Begini Caranya)
Dia menceritakan sejarah ketika Sultan Muhamad Al Patih (Mehmet II) berhasil merebut Konstantinopel pada 29 Mei 1453, penduduk yang beragama Kristen berlari ketakutan dan berkumpul di Haga Sovia. Mereka membayangkan akan dibinasakan oleh Sultan yang merupakan turunan ketujuh Kesultanan Ottoman yang berusaha merebut Konstantinopel.
"Namun apa yang terjadi, di depan masyarakat, Sultan berjanji melindungi mereka, saat itu Romawi Timur dan Romawi Barat juga dalam keadaan bermusuhan, serta tetap menjamin kebebasan mereka untuk memeluk agamanya," paparnya.
Idris mengaku tidak tahu persis lembaga apa yang seharusnya mengambil peran ini. Namun, pemerintah memiliki Kementerian Agama serta Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan organisasi-organisasi Islam yang merupakan partisipasi aktif masyarakat dalam mensyiarkan Islam rahmatan lil alamin.
Juga ada DPR yang punya grup kerjasama bilateral atau MPR yang terus mensosialisasikan nilai-nilai Empat Pilar Kebangsaan. "Yang jelas, saatnya masyarakat dunia diberikan pemahaman dan mengubah persessi mereka bahwa mengaitkan agama dengan radikalisme maupun terorisme adalah kesalahan yang besar,” pungkasnya.
Ketua Fraksi Golkar MPR Idris Laena mengatakan, ada tiga poin utama dari kronologi kejadian di Prancis, yaitu kebebasan berekspresi yang kebablasan. Tindakan kekerasan yang sama sekali tidak pernah dibenarkan agama manapun, dan menghina agama lain dengan dikaitkan tindak terorisme.
"Sebetulnya tragedi demi tragedi yang muncul akibat masalah seperti di atas sudah sering terjadi. Namun kali ini mendapat perhatian luas karena seorang Presiden dari negara maju bernama Immanuel Macron menyikapi dengan emosional yang justru cenderung menghina agama lain," katanya, Minggu (1/11/2020).
(Baca: Kecam Macron, Romo Benny: Jangan Manipulasi Kebebasan Berekspresi untuk Hina Agama)
Hal yang tentu perlu disikapi serius, kata Idris, jika seorang presiden dari sebuah negara maju masih mempunyai pandangan yang keliru tentang Islam maka pasti ada sesuatu yang salah. "Minimal komunikasi internasional yang selama ini menjadi domain dan menjadi tempat berhimpun negara-negara Islam, OKI (Organisasi Kerjasama Islam) yang didirikan di Rabat, Maroko pada 25 September 1969 dan beranggotakan 57 negara serta memiliki perwakilan resmi di PBB, tidak menjalankan fungsinya dengan baik," tutur anggota Komisi VI DPR ini.
Lantas bagaimana dengan Indonesia, negara berpenduduk muslim terbesar di dunia? Idris Laena mengatakan bahwa seharusnya Indonesia tidak cukup hanya mengecam. “Indonesia seharusnya bisa berperan besar menjadi komunikator yang baik dengan negara-negara lain di dunia,” katanya.
Selain karena Islam yang dipahami adalah Islam yang rahmatan lil alamin, juga sejalan dengan sila pertama Pancasila yang menjadi dasar negara Indonesia yakni menjaga toleransi antaragama dan membangun toleransi antar umat beragama. "Sehingga stigma Islam sebagai agama radikal bisa hilang dengan sendirinya," tuturnya.
(Baca: Jokowi Bisa Dorong Macron Minta Maaf ke Umat Islam, Begini Caranya)
Dia menceritakan sejarah ketika Sultan Muhamad Al Patih (Mehmet II) berhasil merebut Konstantinopel pada 29 Mei 1453, penduduk yang beragama Kristen berlari ketakutan dan berkumpul di Haga Sovia. Mereka membayangkan akan dibinasakan oleh Sultan yang merupakan turunan ketujuh Kesultanan Ottoman yang berusaha merebut Konstantinopel.
"Namun apa yang terjadi, di depan masyarakat, Sultan berjanji melindungi mereka, saat itu Romawi Timur dan Romawi Barat juga dalam keadaan bermusuhan, serta tetap menjamin kebebasan mereka untuk memeluk agamanya," paparnya.
Idris mengaku tidak tahu persis lembaga apa yang seharusnya mengambil peran ini. Namun, pemerintah memiliki Kementerian Agama serta Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan organisasi-organisasi Islam yang merupakan partisipasi aktif masyarakat dalam mensyiarkan Islam rahmatan lil alamin.
Juga ada DPR yang punya grup kerjasama bilateral atau MPR yang terus mensosialisasikan nilai-nilai Empat Pilar Kebangsaan. "Yang jelas, saatnya masyarakat dunia diberikan pemahaman dan mengubah persessi mereka bahwa mengaitkan agama dengan radikalisme maupun terorisme adalah kesalahan yang besar,” pungkasnya.
(muh)