Manfaatkan Kearifan Lokal, Warga Ganesha Mukti Mampu Menjaga Ketahanan Pangan
loading...
A
A
A
PALEMBANG - Bertepatan dengan Hari Ketahanan Pangan Dunia dan masih maraknya pandemi Covid-19 , isu ketahanan pangan menjadi penting. Tidak hanya bagi pemerintah juga bagi masyarakat.
Isu ini menyeruak karena adanya kebutuhan masyarakat terhadap pangan yang bermutu dan asupan gizi yang dapat menunjang daya tahan tubuh.Banyak program yang dikembangkan untuk mengentaskan isu ketahanan pangan ini. Lahan gambut tipis yang memiliki fungsi budidaya juga ikut dilirik. (Baca juga: Pengembangan Ekonomi Hijau Butuh Terobosan Sains)
Kabar baik dari lahan gambut datang dari Desa Ganesha Mukti, Kecamatan Muara Sugihan, Sumatera Selatan. Warga yang juga berprofesi sebagai petani telah menerapkan pertanian alami tanpa membakar lahan dan juga telah berhasil menyediakan cadangan pangan rumah tangganya.
Kepala Desa Ganesha Mukti, Tuwon mengatakan, pertanian alami yang diterapkan adalah sistem tabur benih langsung. Sistem ini muncul karena warga tidak menginginkan terjadi kebakaran lagi di desanya. "Kami tidak mau terulang lagi kebakaran lahan, juga sudah ada larangan membakar," katanya.
Sistem ini juga bersinergi dengan konsep Pengelolaan Lahan Tanpa Bakar (PLTB) yang digagas oleh Badan Restorasi Gambut (BRG) . Saat ini, warga telah mampu menghasilkan 4.800 ton beras putih, ratusan ton beras merah, dan berton-ton beras hitam dari areal pertanian seluas 1.200 hektare. "Itu dihasilkan sekali panen. Ini baru satu kali," ujarnya.
Menurut Tuwon, PLTB membawa dampak positif karena mampu menjaga lahan gambut dari kebakaran, memenuhi kebutuhan pangan warga, dan menambah penghasilan. (Baca juga: Ketahanan Pangan, BRG Gelar Pelatihan Kelola Lahan Tanpa Bakar di Merauke)
Simpan Gabah Kering
Tuwon mengatakan, di masa pandemi ini warga desa tak begitu terpengaruh. Terutama mengenai pasokan pangan. Klaim ini bukan tanpa alasan. Dia menyebut, sejak dahulu warga selalu menyimpan gabah kering di rumah masing-masing. "Jadi ada budaya sejak saya kecil, stok makan keluarga harus dicukupi. Sisanya baru dijual," ucap dia.
Sistem ini dapat memastikan terpenuhinya kebutuhan pangan warga. Setiap kepala keluarga minimal punya cadangan 20 karung gabah kering. "Kalau kita giling, 1 karung itu kisaran 45 kg," ujar Ketua Kelompok Wanita Tani Srikandi Ganesha Mukti, Siti Sari.
Pemanfaatan Pekarangan Rumah
Selain teknik menyimpan pangan, warga juga menanam di pekarangan rumah. Dengan program ini juga diinisiasi BRG, warga menanam sayur mayur dan tanaman obat keluarga.
Warga juga bisa mengolah berbagai produk makanan ringan untuk menambah penghasilan. "Produk yang kita hasilkan yaitu keripik pisang, kue akar kelapa, dan lainnya," tandasnya.
Potensi Beras Merah dan Hitam
Siti mengatakan, selain beras putih warga juga mengembangkan varietas beras merah dan hitam. Keduanya memberikan keuntungan besar bagi petani. "Kita sih inginnya nanam beras merah dan hitam soalnya ada uangnya. Kalau beras putih, kecuali pandan wangi, harganya terbilang murah," tuturnya.
Saat ini beras merah ditanam di areal persawahan seluas 80-100 hektare. Sementara beras hitam yang baru diuji coba ditanam di areal seluas 5 hektare.
Dia menyebut dua jenis beras itu mudah dibudidayakan. "Perawatannya juga nggak begitu susah. kalau beras putih itu kalau kena wereng tahan dengan hama," imbuhnya.
Kedepannya, dia berharap, BRG bisa meneruskan pembinaan untuk masyarakat, terutama untuk budidaya beras merah dan hitam. "Dan semoga ada inovasi agar tidak menanam beras putih terus," terangnya.
Isu ini menyeruak karena adanya kebutuhan masyarakat terhadap pangan yang bermutu dan asupan gizi yang dapat menunjang daya tahan tubuh.Banyak program yang dikembangkan untuk mengentaskan isu ketahanan pangan ini. Lahan gambut tipis yang memiliki fungsi budidaya juga ikut dilirik. (Baca juga: Pengembangan Ekonomi Hijau Butuh Terobosan Sains)
Kabar baik dari lahan gambut datang dari Desa Ganesha Mukti, Kecamatan Muara Sugihan, Sumatera Selatan. Warga yang juga berprofesi sebagai petani telah menerapkan pertanian alami tanpa membakar lahan dan juga telah berhasil menyediakan cadangan pangan rumah tangganya.
Kepala Desa Ganesha Mukti, Tuwon mengatakan, pertanian alami yang diterapkan adalah sistem tabur benih langsung. Sistem ini muncul karena warga tidak menginginkan terjadi kebakaran lagi di desanya. "Kami tidak mau terulang lagi kebakaran lahan, juga sudah ada larangan membakar," katanya.
Sistem ini juga bersinergi dengan konsep Pengelolaan Lahan Tanpa Bakar (PLTB) yang digagas oleh Badan Restorasi Gambut (BRG) . Saat ini, warga telah mampu menghasilkan 4.800 ton beras putih, ratusan ton beras merah, dan berton-ton beras hitam dari areal pertanian seluas 1.200 hektare. "Itu dihasilkan sekali panen. Ini baru satu kali," ujarnya.
Menurut Tuwon, PLTB membawa dampak positif karena mampu menjaga lahan gambut dari kebakaran, memenuhi kebutuhan pangan warga, dan menambah penghasilan. (Baca juga: Ketahanan Pangan, BRG Gelar Pelatihan Kelola Lahan Tanpa Bakar di Merauke)
Simpan Gabah Kering
Tuwon mengatakan, di masa pandemi ini warga desa tak begitu terpengaruh. Terutama mengenai pasokan pangan. Klaim ini bukan tanpa alasan. Dia menyebut, sejak dahulu warga selalu menyimpan gabah kering di rumah masing-masing. "Jadi ada budaya sejak saya kecil, stok makan keluarga harus dicukupi. Sisanya baru dijual," ucap dia.
Sistem ini dapat memastikan terpenuhinya kebutuhan pangan warga. Setiap kepala keluarga minimal punya cadangan 20 karung gabah kering. "Kalau kita giling, 1 karung itu kisaran 45 kg," ujar Ketua Kelompok Wanita Tani Srikandi Ganesha Mukti, Siti Sari.
Pemanfaatan Pekarangan Rumah
Selain teknik menyimpan pangan, warga juga menanam di pekarangan rumah. Dengan program ini juga diinisiasi BRG, warga menanam sayur mayur dan tanaman obat keluarga.
Warga juga bisa mengolah berbagai produk makanan ringan untuk menambah penghasilan. "Produk yang kita hasilkan yaitu keripik pisang, kue akar kelapa, dan lainnya," tandasnya.
Potensi Beras Merah dan Hitam
Siti mengatakan, selain beras putih warga juga mengembangkan varietas beras merah dan hitam. Keduanya memberikan keuntungan besar bagi petani. "Kita sih inginnya nanam beras merah dan hitam soalnya ada uangnya. Kalau beras putih, kecuali pandan wangi, harganya terbilang murah," tuturnya.
Saat ini beras merah ditanam di areal persawahan seluas 80-100 hektare. Sementara beras hitam yang baru diuji coba ditanam di areal seluas 5 hektare.
Dia menyebut dua jenis beras itu mudah dibudidayakan. "Perawatannya juga nggak begitu susah. kalau beras putih itu kalau kena wereng tahan dengan hama," imbuhnya.
Kedepannya, dia berharap, BRG bisa meneruskan pembinaan untuk masyarakat, terutama untuk budidaya beras merah dan hitam. "Dan semoga ada inovasi agar tidak menanam beras putih terus," terangnya.
(poe)