Rawan Korupsi, KPK Bakal Monitor Pilkada di Daerah Ini

Senin, 26 Oktober 2020 - 04:33 WIB
loading...
Rawan Korupsi, KPK Bakal Monitor Pilkada di Daerah Ini
NTB merupakan salah satu provinsi dari 26 daerah yang pernah terjadi tindak pidana korupsi. Data tersebut dihimpun KPK dalam kurun waktu 2004-2020. Foto/SINDOnews
A A A
JAKARTA - Nusa Tenggara Barat (NTB) merupakan salah satu provinsi dari 26 daerah yang pernah terjadi tindak pidana korupsi. Data tersebut dihimpun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kurun waktu 2004-2020.

(Baca juga: Masyarakat Semakin Takut Menyatakan Pendapat dan Berunjuk Rasa)

Ketua KPK Komjen Pol Firli Bahuri menyebut di NTB sendiri terdapat 12 Kasus korupsi, baik yang sudah maupun sedang diusut lembaga penegak hukum. Sebagian besar kasus melibatkan kepala daerah. Oleh karena itu, KPK pun prihatin dan memantau penuh gelaran Pilkada serentak, termasuk di NTB.

“Ini memprihatinkan bagi kita,” ujar Firli Bahuri, Minggu (25/10/2020). (Baca juga: Perjuangan Jadi Mahasiswa: Jangan Pikirkan Hasil Terburuk!)

Firli pun juga mengungkapkan, pada daerah lainnya yakni di Jawa Barat sebanyak 101 kasus, Jawa Timur 93 kasus, kemudian 73 kasus di Sumatera Utara. Lalu di Riau dan Kepulauan Riau sebanyak 64, DKI Jakarta 61, Jawa Tengah 49, Lampung 30, Sumatera Selatan 24, Banten 24, Papua 22 kasus, Kalimantan Timur 22, Bengkulu 22, Aceh 14, Nusa Tenggara Barat 12, Jambi 12 dan Sulawesi Utara.

Selanjutnya yakni Kalimantan Barat 10 kasus, Sulawesi Tenggara 10, Maluku 6, Sulawesi Tengah 5, Sulawesi Selatan 5, Nusa Tenggara Timur 5, Kalimantan Tengah 5, Bali 5, dan Sumatera Barat sebanyak 3 kasus.

"Dari sebaran 34 provinsi, 26 daerah itu pernah terlibat korupsi,” kata Firli.

Firli mengharapkan, 8 dari 34 provinsi yang belum ditemukan tindak pidana korupsi oleh KPK untuk terus berbenah diri dan mencegah terjadinya tindak pidana korupsi. Begitu juga daerah-daerah yang pernah diusut KPK.

Firli menambahkan, sejak 2004 hingga 2020, kasus kepala daerah tersebut paling banyak adalah kasus suap, sebanyak 704 kasus.

"Jadi kasus korupsi yang terjadi 2004 sampai 2020 itu paling banyak karena kasus suap, itu 704 kasus. Di proyek 224 perkara, penyalahgunaan anggaran 48 kasus dan TPPU sebanyak 36. Ini kasus-kasus yang melibatkan kepala daerah," kata Firli.

Dalam kesempatan sama, Firli juga mengingatkan potensi tindak pidana korupsi dalam penyelenggaraan Pilkada. Berdasar hasil Survei Benturan Kepentingan dalam Pendanaan Pilkada oleh Direktorat Penelitian dan Pengembangan KPK pada tahun 2015, 2017, dan 2018, ditemukan bahwa potensi adanya benturan kepentingan berkaitan erat dengan profil penyumbang atau donatur.

Menurut Firli, sumbangan donatur atau dari hasil survei KPK menemukan bahwa sebesar 82,3 persen dari seluruh calon kepala daerah dan wakil kepala daerah menyatakan adanya donatur dalam pendanaan pilkada.

Sesuai catatan survei KPK, total harta rata-rata pasangan calon adalah Rp18,03 Miliar. Bahkan, ditemukan pula ada satu pasangan calon yang hartanya minus Rp15,17 juta. Padahal, berdasar wawancara mendalam dari survei KPK itu, diperoleh informasi bahwa untuk bisa mengikuti tahapan Pilkada, pasangan calon di tingkat Kabupaten/Kota harus memegang uang antara Rp5-10 Miliar, yang bila ingin menang idealnya musti mempunyai uang Rp65 Miliar.

Di kesempatan terpisah, Direktur Eksekutif Center for Budget Analysis (CBA) Uchok Sky Khadafi menilai KPK memang perlu mengawasi pilkada Sumbawa, apalagi dalam Pilkada itu terdapat adik dari Gubernur NTB H Zulkieflimansyah yakni Dewi Noviani

"Tentu bisa berpontesi adanya dinasti politik. Potensi penggunaan anggaran dan fasilitas gubernur untuk calon pilkada juga harus mendapat perhatian. KPK juga perlu memasang mata mengawasi di sana," katanya.

Uchok berharap jangan sampai ada kecurangan atau permainan dari Gubernur NTB yang dapat menguntung salah satu pasangan calon pilgub Sumbawa.

"Itu sangat dilarang jika sampai terjadi," tegasnya.

(maf)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1187 seconds (0.1#10.140)