Bansos Belum Sentuh Masyarakat Rentan, Pemerintah Perlu Lakukan Hal Ini
loading...
A
A
A
JAKARTA - Penyaluran bantuan sosial (bansos) oleh pemerintah di masa pandemi Covid-19 dinilai masih memunculkan persoalan kronis yang sulit diselesaikan. Secara khusus, terkait memastikan program memang tepat sasaran kepada penerima yang berhak mendapatkan.
Peneliti Bidang Sosial The Indonesian Institute (TII) Nopitri Wahyuni mengatakan, pada situasi bencana kesehatan seperti ini ada tiga persoalan mencakup penyaluran bansos yang perlu mendapatkan perhatian lebih oleh pemerintah. Menurut dia, beberapa program bansos masih belum menyentuh masyarakat rentan terdampak krisis. Bahkan, kelompok masyarakat yang sebelumnya tidak tergolong miskin dinilai menjadi rentan miskin.
"Pada masa krisis, potret kerentanan dari individu maupun rumah tangga bergerak dinamis dan beberapa dari program bansos yang ada masih belum menyentuh kerentanan tersebut, terutama kelompok masyarakat yang sebelumnya tidak tergolong miskin kemudian menjadi rentan miskin," tutur Nopitri dalam keterangan tertulisnya yang diterima SINDOnews, Rabu (21/10/2020).
( ).
Potret itu didasarkan dari beberapa temuan. Misalnya, studi The Abdul Latif Jameel Poverty Action Lab (J-PAL) tahun ini yang menunjukkan beberapa aspek kerentanan dialami oleh pekerja akibat krisis pandemi, terutama terkait dengan penurunan pendapatan dan kehilangan pekerjaan. Sebanyak 57 persen perempuan dan 56 persen laki-laki yang sebelumnya memiliki pekerjaan, harus kehilangan pekerjaan mereka akibat krisis.
Kemudian, studi itu juga memotret realitas bahwa bansos tidak sepenuhnya telah diterima oleh penerima manfaat yang mengalami kerentanan. Sejak awal pandemi, hanya 59 persen perempuan dan 65 persen laki-laki yang setidak-tidaknya mendapatkan satu program bansos dari pemerintah.
Studi lain dipaparkan oleh World Bank tahun ini. Dalam catatannya, sekitar 30-50 persen rumah tangga mengalami perubahan pendapatan dan sulitnya akses terhadap bahan pangan.
Begitu juga temuan lapangan Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan/TNP2K (2020). Sebanyak 54 persen rumah tangga pada kelompok 40 persen terbawah yang menerima setidaknya program bansos dari pemerintah. Dari sekian angka tersebut, masih ada sekitar sepertiga dari rumah tangga yang terganggu pendapatannya tetapi belum tercakup ke dalam bansos dari pemerintah.
( ).
Selain, isu genting lainnya adalah akurasi data penerima manfaat. Menurut Nopitri, keterbatasan yang perlu diakui oleh pemerintah pusat maupun daerah, terutama Kementerian Sosial dan kementerian/lembaga terkait lainnya adalah penentuan data penerima manfaat agar tepat sasaran.
"Sayangnya, masih banyak keluarga yang miskin dan rentan miskin tidak mendapatkan bansos disebabkan oleh ketidakakuratan (exclusion error) dalam sistem Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS). Nahasnya, hal ini berdampak terhadap terhambatnya penyaluran bansos kepada sasaran," tambah dia.
Sebagai solusi semua persoalan tersebut, Nopitri menyarankan agar pemerintah memastikan beberapa alternatif kebijakan bansos sesuai dikembangkan untuk saling melengkapi dalam jangka pendek yang bersifat responsive dan jangka menengah untuk tujuan preventif dan transformatif ekonomi.
Pemerintah harus mengoptimalkan beberapa opsi kebijakan yang ada seperti menimbang kembali besaran nilai manfaat dibanding total pengeluaran rumah tangga. Bukan hanya bansos yang sifatnya responsif melalui Program Sembako dan BST/BSS, tetapi juga mencakup program padat karya yang mendorong kesempatan lebih luas untuk memulihkan ekonomi.
Selain itu, program terkait lain yang dapat membantu kerentanan keluarga, terutama sektor informal yang menjalankan usaha mikro dan kecil, ialah akselerasi penyaluran Bantuan Produktif bagi UMKM.
Kemudian, poin penting yang harus didorong dalam proses penyaluran bantuan juga menyentuh akurasi penerima manfaat bansos. Pada situasi saat ini, perlu mendorong berbagai mekanisme yang memudahkan target penerima manfaat untuk mendaftarkan diri, baik melalui pendaftaran mandiri secara daring (self-demand) maupun pendekatan berbasis komunitas (community-based targeting) di tingkat RT/RW.
"Hal ini akan memudahkan sasaran yang mengalami kerentanan menjadi lebih terpapar dengan akses terhadap bantuan, baik informasi maupun kemudahan dalam memperoleh program tersebut," tandasnya.
Peneliti Bidang Sosial The Indonesian Institute (TII) Nopitri Wahyuni mengatakan, pada situasi bencana kesehatan seperti ini ada tiga persoalan mencakup penyaluran bansos yang perlu mendapatkan perhatian lebih oleh pemerintah. Menurut dia, beberapa program bansos masih belum menyentuh masyarakat rentan terdampak krisis. Bahkan, kelompok masyarakat yang sebelumnya tidak tergolong miskin dinilai menjadi rentan miskin.
"Pada masa krisis, potret kerentanan dari individu maupun rumah tangga bergerak dinamis dan beberapa dari program bansos yang ada masih belum menyentuh kerentanan tersebut, terutama kelompok masyarakat yang sebelumnya tidak tergolong miskin kemudian menjadi rentan miskin," tutur Nopitri dalam keterangan tertulisnya yang diterima SINDOnews, Rabu (21/10/2020).
( ).
Potret itu didasarkan dari beberapa temuan. Misalnya, studi The Abdul Latif Jameel Poverty Action Lab (J-PAL) tahun ini yang menunjukkan beberapa aspek kerentanan dialami oleh pekerja akibat krisis pandemi, terutama terkait dengan penurunan pendapatan dan kehilangan pekerjaan. Sebanyak 57 persen perempuan dan 56 persen laki-laki yang sebelumnya memiliki pekerjaan, harus kehilangan pekerjaan mereka akibat krisis.
Kemudian, studi itu juga memotret realitas bahwa bansos tidak sepenuhnya telah diterima oleh penerima manfaat yang mengalami kerentanan. Sejak awal pandemi, hanya 59 persen perempuan dan 65 persen laki-laki yang setidak-tidaknya mendapatkan satu program bansos dari pemerintah.
Studi lain dipaparkan oleh World Bank tahun ini. Dalam catatannya, sekitar 30-50 persen rumah tangga mengalami perubahan pendapatan dan sulitnya akses terhadap bahan pangan.
Begitu juga temuan lapangan Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan/TNP2K (2020). Sebanyak 54 persen rumah tangga pada kelompok 40 persen terbawah yang menerima setidaknya program bansos dari pemerintah. Dari sekian angka tersebut, masih ada sekitar sepertiga dari rumah tangga yang terganggu pendapatannya tetapi belum tercakup ke dalam bansos dari pemerintah.
( ).
Selain, isu genting lainnya adalah akurasi data penerima manfaat. Menurut Nopitri, keterbatasan yang perlu diakui oleh pemerintah pusat maupun daerah, terutama Kementerian Sosial dan kementerian/lembaga terkait lainnya adalah penentuan data penerima manfaat agar tepat sasaran.
"Sayangnya, masih banyak keluarga yang miskin dan rentan miskin tidak mendapatkan bansos disebabkan oleh ketidakakuratan (exclusion error) dalam sistem Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS). Nahasnya, hal ini berdampak terhadap terhambatnya penyaluran bansos kepada sasaran," tambah dia.
Sebagai solusi semua persoalan tersebut, Nopitri menyarankan agar pemerintah memastikan beberapa alternatif kebijakan bansos sesuai dikembangkan untuk saling melengkapi dalam jangka pendek yang bersifat responsive dan jangka menengah untuk tujuan preventif dan transformatif ekonomi.
Pemerintah harus mengoptimalkan beberapa opsi kebijakan yang ada seperti menimbang kembali besaran nilai manfaat dibanding total pengeluaran rumah tangga. Bukan hanya bansos yang sifatnya responsif melalui Program Sembako dan BST/BSS, tetapi juga mencakup program padat karya yang mendorong kesempatan lebih luas untuk memulihkan ekonomi.
Selain itu, program terkait lain yang dapat membantu kerentanan keluarga, terutama sektor informal yang menjalankan usaha mikro dan kecil, ialah akselerasi penyaluran Bantuan Produktif bagi UMKM.
Kemudian, poin penting yang harus didorong dalam proses penyaluran bantuan juga menyentuh akurasi penerima manfaat bansos. Pada situasi saat ini, perlu mendorong berbagai mekanisme yang memudahkan target penerima manfaat untuk mendaftarkan diri, baik melalui pendaftaran mandiri secara daring (self-demand) maupun pendekatan berbasis komunitas (community-based targeting) di tingkat RT/RW.
"Hal ini akan memudahkan sasaran yang mengalami kerentanan menjadi lebih terpapar dengan akses terhadap bantuan, baik informasi maupun kemudahan dalam memperoleh program tersebut," tandasnya.
(zik)