Pilkada 2020 Didorong Jadi Ajang Memperjuangkan Hak-Hak Perempuan

Rabu, 21 Oktober 2020 - 08:40 WIB
loading...
Pilkada 2020 Didorong Jadi Ajang Memperjuangkan Hak-Hak Perempuan
Komnas Perempuan menilai Pilkada penting dalam konteks pembelaan dan memperjuangkan hak-hak perempuan. FOTO/ILUSTRASI/DOK.SINDOnews
A A A
JAKARTA - Komisi Nasional (Komnas) Perempuan mengapresiasi para wanita yang berani bertarung dalam pemilihan kepala daerah ( pilkada ). Mereka bukan hanya bertarung melawan kompetitornya, tetapi juga stigma masyarakat yang masih melihat pemimpin itu harus laki-laki.

"Tahun 2020 masih ada perbandingan masih layakkah perempuan menjadi pemimpin. Ancaman itu yang mendomestikkan perempuan. Perempuan (dianggap) bukan pemimpin. Ini adalah tantangan yang tidak dirasakan laki-laki," kata Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani dalam diskusi daring "Pilkada Serentak 2020 dalam Perspektif HAM", Selasa (20/10/2020).

Pilkada ini bukan hanya menjadi medan bagi para kandidat. Andy mengungkapkan, banyak tenaga medis perempuan yang akan berjibaku dalam pelaksanaan pilkada. Apalagi pilkada kali ini dilaksanakan di tengah pandemi COVID-19. ( )

Andy meminta para perempuan yang maju sebagai kandidat dan terlibat dalam pilkada untuk menerapkan protokol kesehatan COVID-19 agar tidak tertular virus Sars Cov-II.

Pilkada ini sebenarnya penting dalam konteks pembelaan dan memperjuangkan hak-hak perempuan. Para pemimpin daerah kadang kurang memperhatikan layanan terpadu bagi perempuan yang menjadi korban kekerasan.

Catatan Komnas Perempuan mulai dari 2008-2020, kekerasan terhadap perempuan di ranah keluarga menjadi yang paling banyak. Belum lagi, kasus kekerasan seksual dalam dunia pendidikan.

Saat pandemi ini, semua kegiatan dilakukan secara daring bukan berarti membuat perempuan aman. Justru jumlah kekerasan di ruang daring meningkat. ( )

"Tidak kalah tinggi kekerasan terhadap perempuan dalam konteks konflik. Ada 50 kasus dalam tiga tahun terakhir yang merupakan konflik sumber daya alam dan agraria. Kekerasan terhadap perempuan juga terjadi dalam praktik intoleransi berbasis agama dan keyakinan," kata Andy.

Dia menegaskan, Indonesia masih mempunyai utang terhadap pelanggaran HAM di masa lalu. Perempuan tidak luput menjadi korban dalam peristiwa di masa lalu itu. Dengan tingginya kasus kekerasan terhadap perempuan, maka dibutuhkan tempat dan layanan bagi mereka untuk mengadu dan menyembuhkan trauma.

Andy menegaskan, masalah ini tidak bisa dipisahkan dari layanan publik di daerah-daerah. Sebenarnya, ada banyak layanan di tingkat daerah karena satu rantai dengan pusat yang memiliki Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPA). Namun, layanan terpadu di daerah mengalami banyak masalah, antara lain, dana yang kurang untuk operasional, sumber daya manusia yang tidak mencukupi, dan struktur tidak bisa mengembangkan layanan.
(abd)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2541 seconds (0.1#10.140)