Senator Minta Pilkada di Zona Merah dan Hitam Ditunda
loading...
A
A
A
JAKARTA - Senator dari Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) Abraham Liyanto mengusulkan agar pelaksanaan Pilkada serentak di zona merah dan hitam Covid-19 ditunda. Tujuannya, agar pelaksanaan Pilkada tidak menjadi media penyebaran virus asal Wuhan, China itu.
(Baca juga: Tips Mengasuh dan Merawat Bayi di Masa Pandemi Covid-19)
"Ditunda total kan, pemerintah tidak mau, apalagi tinggal satu bulan lagi. Maka jalankeluarnya, tunda di zona merah dan hitam aja. Karena tingkat resikonya sangat tinggi," ujar Abraham, Selasa (20/10/2020).
(Baca juga: Bubarkan Balap Liar di Medan, Polisi Lepaskan Tembakan Peringatan)
Sekadar diketahui, pemerintah telah menetapkan lima zona untuk status Covid-19 yaitu hijau, kuning, oranye, merah, dan hitam. Zona hijau artinya tidak ada kasus Covid 19. Zona kuning menunjukkan ada beberapa kasus penularan lokal tetapi risiko rendah.
Zona oranye adalah zona risiko sedang. Adapun zona merah adalah terjadi penularan Covid-19 yang sangattinggi. Sementara Zona hitam adalah kasus penularan sangat parah dan tidak terkendali.
Anggota Komite I Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) berpendapat, memaksa Pilkada di zona merah dan hitam sangat tidak logis. Pertama, partisipasi pemilih pasti sangat turun karena masyarakat enggan datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS).
Kedua, risiko terpapar virus Covid-19 bagi petugas dan pemilih sangat tinggi karena terjadi kerumunan massa. Ketiga, berpotensi terjadi manipulasi suara karena pihak tertentu bisa memanfaatkan ketidakhadiran pemilih di TPS.
"Boleh saja sekarang kita bilang nanti akan diatur jarak, diatur waktu pencoblosan, dan sebagainya. Tetapi kan situasi di lapangan bisa lain. Ini memilih kepala daerah masalahnya. Dekat sekali hubungannya dengan kehidupan masyarakat sehari-hari," ungkapnya.
Dia melanjutkan, pendukung pasangan calon kepala daerah fanatik tidak akan peduli dengan bahaya Covid-19. "Mereka akan berkerumun seperti pada kasus pendaftaran Pasangan Calon (Paslon) awal September lalu. Apalagi jika hasil perhitungan suara unggul kandidat yang didukungnya," tuturnya.
Abraham menyarankan penundaan Pilkada di zona merah dan hitam diputuskan pada masa tenang mulai 5 Desember 2020. Penilaiannya dilihat dua minggu sebelum masa tenang. Artinya tingkat penyebaran di suatu daerah dilihat mulai 20 November.
Dia menuturkan, jika sejak tanggal tersebut sampai masa tenang, tidak ada perubahan status menjadi kuning atau hijau maka tempat tersebut harus ditunda Pilkadanya. "Ditunda sampai naik ke status kuning atau hijau. Jadi bisa saja ditunda hanya 2 minggu atau 1 bulan," ujar Abraham.
Dia berharap penyelenggara Pilkada agar terus memperbaharui (update) kondisi satu daerah. Koordinasi dengan Satgas Covid-19 harus intensif dilakukan. Hal tersebut untuk mengetahui apakah satu wilayah layak diteruskan tahapan pencoblosan pada 9 Desember atau perlu ditunda.
"Jangan memaksa diserentakkan tanggal 9 Desember. Kalau memangstatusnya sangat berisiko, harus berani keputusan penundaan," ungkapnya.
(Baca juga: Tips Mengasuh dan Merawat Bayi di Masa Pandemi Covid-19)
"Ditunda total kan, pemerintah tidak mau, apalagi tinggal satu bulan lagi. Maka jalankeluarnya, tunda di zona merah dan hitam aja. Karena tingkat resikonya sangat tinggi," ujar Abraham, Selasa (20/10/2020).
(Baca juga: Bubarkan Balap Liar di Medan, Polisi Lepaskan Tembakan Peringatan)
Sekadar diketahui, pemerintah telah menetapkan lima zona untuk status Covid-19 yaitu hijau, kuning, oranye, merah, dan hitam. Zona hijau artinya tidak ada kasus Covid 19. Zona kuning menunjukkan ada beberapa kasus penularan lokal tetapi risiko rendah.
Zona oranye adalah zona risiko sedang. Adapun zona merah adalah terjadi penularan Covid-19 yang sangattinggi. Sementara Zona hitam adalah kasus penularan sangat parah dan tidak terkendali.
Anggota Komite I Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) berpendapat, memaksa Pilkada di zona merah dan hitam sangat tidak logis. Pertama, partisipasi pemilih pasti sangat turun karena masyarakat enggan datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS).
Kedua, risiko terpapar virus Covid-19 bagi petugas dan pemilih sangat tinggi karena terjadi kerumunan massa. Ketiga, berpotensi terjadi manipulasi suara karena pihak tertentu bisa memanfaatkan ketidakhadiran pemilih di TPS.
"Boleh saja sekarang kita bilang nanti akan diatur jarak, diatur waktu pencoblosan, dan sebagainya. Tetapi kan situasi di lapangan bisa lain. Ini memilih kepala daerah masalahnya. Dekat sekali hubungannya dengan kehidupan masyarakat sehari-hari," ungkapnya.
Dia melanjutkan, pendukung pasangan calon kepala daerah fanatik tidak akan peduli dengan bahaya Covid-19. "Mereka akan berkerumun seperti pada kasus pendaftaran Pasangan Calon (Paslon) awal September lalu. Apalagi jika hasil perhitungan suara unggul kandidat yang didukungnya," tuturnya.
Abraham menyarankan penundaan Pilkada di zona merah dan hitam diputuskan pada masa tenang mulai 5 Desember 2020. Penilaiannya dilihat dua minggu sebelum masa tenang. Artinya tingkat penyebaran di suatu daerah dilihat mulai 20 November.
Dia menuturkan, jika sejak tanggal tersebut sampai masa tenang, tidak ada perubahan status menjadi kuning atau hijau maka tempat tersebut harus ditunda Pilkadanya. "Ditunda sampai naik ke status kuning atau hijau. Jadi bisa saja ditunda hanya 2 minggu atau 1 bulan," ujar Abraham.
Dia berharap penyelenggara Pilkada agar terus memperbaharui (update) kondisi satu daerah. Koordinasi dengan Satgas Covid-19 harus intensif dilakukan. Hal tersebut untuk mengetahui apakah satu wilayah layak diteruskan tahapan pencoblosan pada 9 Desember atau perlu ditunda.
"Jangan memaksa diserentakkan tanggal 9 Desember. Kalau memangstatusnya sangat berisiko, harus berani keputusan penundaan," ungkapnya.
(maf)