Melihat Lebih Dalam Modus Berbeda Pemanfaatan Media Sosial
loading...
A
A
A
Dr Firman Kurniawan S
Pemerhati budaya dan komunikasi digital, pendiri LITEROS.org
PADA periode media sosial yang kian matang dimanfaatkan untuk berbagai aspek kehidupan, tampaknya unjuk rasa dengan pengerahan massa perlu dikaji ulang modus pelaksanaannya.
Terlebih, ketika pengerahan massa itu bersinggungan dengan kepentingan sosial lain, yang sering mengundang tindakan aparat, dan tak jarang disertai kekerasan. Ini praktik yang kedaluwarsa, dan tak layak dipertahankan.
Selain selalu menimbulkan korban fisik di kedua pihak, juga melukai semangat persaudaraan sebagai sesama warga negara. Tak jarang pengunjuk rasa maupun penegak hukum, adalah orang-orang yang berkerabat, senasib serupa.
Unjuk rasa konvensional, bagaimanapun adalah medium encoding bagi rasa, gagasan, mupun ide. Jika diukur di era sekarang, medium ini punya aneka keterbatasan. Terlebih jika dipandang dari hasil yang hendak dicapainya. Unjuk rasa konvensinal terbatas dalam hal ruang dan waktu. Ia hanya bisa dilakukan di tempat dan waktu tertentu, sesuai izin aparat, yang bahkan tak jarang, tak diijinkan.
Padahal untuk mengerahkan sejumlah pengunjuk rasa, perlu upaya yang tak sederhana, juga tenaga dan biaya yang tidak sedikit. Demikian pula, unjuk rasa konvensional terbatas dalam mengekspresikan pesan: monoekspresi sikap, yang berwujud orasi langsung, teriakan yel-yel, tulisan emosi keprihatinan, nyanyian olok-olok, ungkapan visual berwujud poster atau baliho. Semua keriuhan itu walaupun nampak meriah, namun dalam kategori media yang dikemukakan Jose Luis Oriheula, 2017, sebagai media yang menjangkau khalayaknya secara pasif, tampil di ruang-waktu terbatas, hadir secara monomedia, dan dengan susunan pesan yang monoteks.
Karenanya, unjuk rasa konvensional hanya dapat diikuti khalayak yang jumlah terbatas. Mudah dilupakan adalah keniscayaan. Maka perlu adanya modus unjuk rasa yang berbeda, dengan memanfaatkan fasilitas yang tersedia di tengah peradaban yang aktual. Kabar baiknya, di tengah situasi transformasi digital, muncul modus unjuk rasa yang diharapkan itu. Sebuah modus yang mengetengahkan kekuatan nyata masyarakat jejaring, dengan media sosial sebagai realitas hidupnya.
Dampak nyatanya terwujud, dan memakan Presiden Donald Trump sebagai korbannya. Sang presiden yang rencananya berorasi saat kampanye besar dalam pengumpulan dukungan di Pemilu AS, November 2020, batal menikmati hasilnya. Pelaku unjuk rasa adalah fans K-Pop yang jumlahnya sangat besar dan tersebar di seluruh dunia. Ulah fans yang militan ini ditunjukkan dengan beramai-ramai memesan tiket masuk arena kampanye, yang diselenggarakan di Tulsa Oklahoma, 20 Juni 2020. Tak tangung-tanggung, jumlah tiket yang dipesan para fans mencapai 80% kuota yang tersedia.
Saat hari kampanye tiba, secara serentak fans KPop itu membatalkan pembelian, juga kehadirannya di arena kampanye. Yang terpublikasi kemudian, kampanye Donald Trump hanya menghadapi bangku-bangku kosong. Arena kampanye terisi hanya 20% kapasitasnya. Rencana yang telah disusun matang berakhir dengan pembatalan. Tentu pembatalan lebih baik, dibanding jika Sang Prediden harus kehilangan muka lebih lanjut.
Fenomena serupa yang terjadi di Amerika, namun jadi pengalaman baru dalam sejarah unjuk rasa dan warga jagad digital di Indonesia, terwujud seiring unjuk rasa, menolak pengesahan Undang Undang Cipta Kerja, awal Oktober 2020. Selain unjuk rasa yang sifatnya konvensional dan masih berlangsung saat tulisan ini disusun, muncul modus-modus berbeda unjuk rasa maupun penolakan dengan memanfaatkan platform media sosial.
Pemerhati budaya dan komunikasi digital, pendiri LITEROS.org
PADA periode media sosial yang kian matang dimanfaatkan untuk berbagai aspek kehidupan, tampaknya unjuk rasa dengan pengerahan massa perlu dikaji ulang modus pelaksanaannya.
Terlebih, ketika pengerahan massa itu bersinggungan dengan kepentingan sosial lain, yang sering mengundang tindakan aparat, dan tak jarang disertai kekerasan. Ini praktik yang kedaluwarsa, dan tak layak dipertahankan.
Selain selalu menimbulkan korban fisik di kedua pihak, juga melukai semangat persaudaraan sebagai sesama warga negara. Tak jarang pengunjuk rasa maupun penegak hukum, adalah orang-orang yang berkerabat, senasib serupa.
Unjuk rasa konvensional, bagaimanapun adalah medium encoding bagi rasa, gagasan, mupun ide. Jika diukur di era sekarang, medium ini punya aneka keterbatasan. Terlebih jika dipandang dari hasil yang hendak dicapainya. Unjuk rasa konvensinal terbatas dalam hal ruang dan waktu. Ia hanya bisa dilakukan di tempat dan waktu tertentu, sesuai izin aparat, yang bahkan tak jarang, tak diijinkan.
Padahal untuk mengerahkan sejumlah pengunjuk rasa, perlu upaya yang tak sederhana, juga tenaga dan biaya yang tidak sedikit. Demikian pula, unjuk rasa konvensional terbatas dalam mengekspresikan pesan: monoekspresi sikap, yang berwujud orasi langsung, teriakan yel-yel, tulisan emosi keprihatinan, nyanyian olok-olok, ungkapan visual berwujud poster atau baliho. Semua keriuhan itu walaupun nampak meriah, namun dalam kategori media yang dikemukakan Jose Luis Oriheula, 2017, sebagai media yang menjangkau khalayaknya secara pasif, tampil di ruang-waktu terbatas, hadir secara monomedia, dan dengan susunan pesan yang monoteks.
Karenanya, unjuk rasa konvensional hanya dapat diikuti khalayak yang jumlah terbatas. Mudah dilupakan adalah keniscayaan. Maka perlu adanya modus unjuk rasa yang berbeda, dengan memanfaatkan fasilitas yang tersedia di tengah peradaban yang aktual. Kabar baiknya, di tengah situasi transformasi digital, muncul modus unjuk rasa yang diharapkan itu. Sebuah modus yang mengetengahkan kekuatan nyata masyarakat jejaring, dengan media sosial sebagai realitas hidupnya.
Dampak nyatanya terwujud, dan memakan Presiden Donald Trump sebagai korbannya. Sang presiden yang rencananya berorasi saat kampanye besar dalam pengumpulan dukungan di Pemilu AS, November 2020, batal menikmati hasilnya. Pelaku unjuk rasa adalah fans K-Pop yang jumlahnya sangat besar dan tersebar di seluruh dunia. Ulah fans yang militan ini ditunjukkan dengan beramai-ramai memesan tiket masuk arena kampanye, yang diselenggarakan di Tulsa Oklahoma, 20 Juni 2020. Tak tangung-tanggung, jumlah tiket yang dipesan para fans mencapai 80% kuota yang tersedia.
Saat hari kampanye tiba, secara serentak fans KPop itu membatalkan pembelian, juga kehadirannya di arena kampanye. Yang terpublikasi kemudian, kampanye Donald Trump hanya menghadapi bangku-bangku kosong. Arena kampanye terisi hanya 20% kapasitasnya. Rencana yang telah disusun matang berakhir dengan pembatalan. Tentu pembatalan lebih baik, dibanding jika Sang Prediden harus kehilangan muka lebih lanjut.
Fenomena serupa yang terjadi di Amerika, namun jadi pengalaman baru dalam sejarah unjuk rasa dan warga jagad digital di Indonesia, terwujud seiring unjuk rasa, menolak pengesahan Undang Undang Cipta Kerja, awal Oktober 2020. Selain unjuk rasa yang sifatnya konvensional dan masih berlangsung saat tulisan ini disusun, muncul modus-modus berbeda unjuk rasa maupun penolakan dengan memanfaatkan platform media sosial.