Kelangkaan Pupuk: Kealpaan Beruntun
loading...
A
A
A
Khudori
Penggiat Komite Pendayagunaan Petani (KPP), Penggiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), dan Anggota Kelompok Kerja Dewan Ketahanan Pangan (2010-Sekarang)
KELANGKAAN pupuk bersubsidi kembali terjadi. Kelangkaan meluas di sejumlah daerah. Berminggu-minggu berlalu, penyelesaian tuntas belum juga hadir. Padahal, hari-hari ini petani yang memulai tanam amat membutuhkan pupuk. Oktober adalah awal musim hujan alias musim tanam, setelah sebelumnya didera kemarau. Hasil tanam di bulan ini bakal dipanen rentang Februari—Mei tahun depan. Kalau pupuk tidak tersedia dalam jumlah cukup dan ada saat dibutuhkan, ini bakal mengancam produksi pangan.
Kelangkaan pupuk bersubsidi kali ini akhirnya mengulang kejadian tahun-tahun sebelumnya. Berpuluh tahun masalah ini terjadi, berpuluh tahun pula para otoritas yang berwenang tidak berdaya. Akhirnya kelangkaan pupuk bersubsidi berubah menjadi “ritual tahunan”. Ini terjadi karena otoritas yang berwenang alpa membangun sistem yang andal dan adaptif terhadap perubahan. Kelangkaan akhirnya menjadi kealpaan beruntun. Sebagai sasaran subsidi, petani menjadi pihak yang paling menderita dan dikorbankan.
Setidaknya ada dua penjelasan mengapa pupuk bersubsidi kembali bermasalah. Pertama, penambahan volume pupuk bersubsidi. Semula volume pupuk bersubsidi tahun ini mencapai 7,9 juta ton, lebih rendah dari 2019 (8,6 juta ton) dan 2018 (9,55 juta ton). Dengan kuota 7,9 juta ton, jatah pupuk bersubsidi habis pada September 2020. Padahal, Oktober memasuki musim tanam. Ini sepertinya jauh dari kalkulasi pemerintah. Setelah diprotes petani di banyak daerah, pemerintah menyetujui menambah 1 juta ton.
Kedua, kisruh tak berujung rencana pencairan pupuk bersubsidi lewat Kartu Tani. Pada Agustus 2020 diumumkan bahwa untuk mencairkan pupuk bersubsidi petani harus menggunakan Kartu Tani. Pengumuman ini membuat resah petani karena realitasnya Kartu Tani belum siap digunakan. Selain belum semua petani penerima pupuk bersubsidi menerima Kartu Tani, kartu yang sudah diterima pun tidak bisa dimanfaatkan petani untuk mencairkan jatah pupuk bersubsidi. Masalahnya beragam: tak ada jaringan internet, mesin EDC tidak berfungsi, dan yang lain. Intinya, Kartu Tani belum siap digunakan.
Akhirnya diputuskan penggunaan Kartu Tani ditunda. Rupanya, informasi dua hal ini tidak tertransmisikan sempurna hingga pelaksana teknis di level paling bawah. Padahal, versi PT Pupuk Indonesia, BUMN yang bertanggung jawab menyediakan pupuk bersubsidi, pupuk tersedia lebih dari cukup dan terdistribusi merata di semua wilayah. Kejadian ini mengulang hal yang mestinya tidak patut terjadi: pupuk bersubsidi langka. Bukannya segera mencari solusi, otoritas berwenang justru saling melempar kesalahan.
Berbagai analisis dan rekomendasi perbaikan mekanisme distribusi/penyaluran pupuk bersubsidi sudah lama dibuat. Tetapi, sampai sekarang belum tampak perbaikan yang berarti. Karena itu, ada baiknya untuk menimbang ulang secara serius program pupuk bersubsidi ini. Pertama, menimbang tujuan pupuk bersubsidi. Setidaknya ada dua tujuan pemberian pupuk bersubsidi: membantu mengurangi ongkos produksi petani, dan meningkatkan produksi pangan. Apakah dua tujuan ini sudah tercapai? Ongkos terbesar dalam usaha tani bukan pupuk, tetapi biaya tenaga kerja, jasa pertanian, dan sewa lahan. Tiga komponen itu porsinya 66-76%, sedangkan biaya pupuk kurang 10% (BPS, 2018).
Subsidi pupuk sudah diberikan puluhan tahun. Nilai subsidi pun melonjak drastis, dari di bawah satu digit hingga di atas Rp30-an triliun atau naik lebih tiga kali lipat. Pertanyaannya, apakah kenaikan produksi pangan terjadi seiring kenaikan nilai pupuk bersubsidi? Benar bahwa produksi sejumlah pangan, seperti padi dan jagung, naik. Tapi, kenaikannya tidak sefantastis kenaikan nilai pupuk bersubsidi. Karena itu, pada tempatnya untuk menimbang ulang secara serius program pupuk bersubsidi buat petani.
Kedua, mencari mekanisme pemberian subsidi yang lebih sederhana, transparan, dan akuntabel. Subsidi yang tepat bukanlah subsidi harga barang. Ketika di pasar ada barang yang sama dengan harga berbeda, pasti membuka peluang terjadinya aneka moral hazard. Apakah penyelundupan ke luar negeri atau penyelewengan untuk sektor yang tidak menerima subsidi. Subsidi yang tepat adalah subsidi langsung ke penerima subsidi. Bentuknya bisa transfer ke rekening masing-masing sasaran dan tidak bisa ditarik tunai. Petani membeli pupuk dengan harga pasar dengan membayar kekurangan dari rekening.
Mekanisme lain adalah mengalihkan dari subsidi input ke subsidi output atau harga hasil produksi pertanian. Subsidi ini diwujudkan dalam kebijakan harga pembelian hasil produksi petani yang menguntungkan dan menjamin kesejahteraan. Untuk itu, pemerintah perlu menetapkan jenis komoditas berikut harga yang layak. Semakin banyak komoditas tentu subsidi yang dikeluarkan akan semakin banyak. Perubahan ini membuat pupuk menjadi barang komersial yang diperdagangkan di pasar. Harga pupuk mengikuti mekanisme pasar, termasuk dipengaruhi efisiensi produsen dan dinamika pasar dunia.
Penggiat Komite Pendayagunaan Petani (KPP), Penggiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), dan Anggota Kelompok Kerja Dewan Ketahanan Pangan (2010-Sekarang)
KELANGKAAN pupuk bersubsidi kembali terjadi. Kelangkaan meluas di sejumlah daerah. Berminggu-minggu berlalu, penyelesaian tuntas belum juga hadir. Padahal, hari-hari ini petani yang memulai tanam amat membutuhkan pupuk. Oktober adalah awal musim hujan alias musim tanam, setelah sebelumnya didera kemarau. Hasil tanam di bulan ini bakal dipanen rentang Februari—Mei tahun depan. Kalau pupuk tidak tersedia dalam jumlah cukup dan ada saat dibutuhkan, ini bakal mengancam produksi pangan.
Kelangkaan pupuk bersubsidi kali ini akhirnya mengulang kejadian tahun-tahun sebelumnya. Berpuluh tahun masalah ini terjadi, berpuluh tahun pula para otoritas yang berwenang tidak berdaya. Akhirnya kelangkaan pupuk bersubsidi berubah menjadi “ritual tahunan”. Ini terjadi karena otoritas yang berwenang alpa membangun sistem yang andal dan adaptif terhadap perubahan. Kelangkaan akhirnya menjadi kealpaan beruntun. Sebagai sasaran subsidi, petani menjadi pihak yang paling menderita dan dikorbankan.
Setidaknya ada dua penjelasan mengapa pupuk bersubsidi kembali bermasalah. Pertama, penambahan volume pupuk bersubsidi. Semula volume pupuk bersubsidi tahun ini mencapai 7,9 juta ton, lebih rendah dari 2019 (8,6 juta ton) dan 2018 (9,55 juta ton). Dengan kuota 7,9 juta ton, jatah pupuk bersubsidi habis pada September 2020. Padahal, Oktober memasuki musim tanam. Ini sepertinya jauh dari kalkulasi pemerintah. Setelah diprotes petani di banyak daerah, pemerintah menyetujui menambah 1 juta ton.
Kedua, kisruh tak berujung rencana pencairan pupuk bersubsidi lewat Kartu Tani. Pada Agustus 2020 diumumkan bahwa untuk mencairkan pupuk bersubsidi petani harus menggunakan Kartu Tani. Pengumuman ini membuat resah petani karena realitasnya Kartu Tani belum siap digunakan. Selain belum semua petani penerima pupuk bersubsidi menerima Kartu Tani, kartu yang sudah diterima pun tidak bisa dimanfaatkan petani untuk mencairkan jatah pupuk bersubsidi. Masalahnya beragam: tak ada jaringan internet, mesin EDC tidak berfungsi, dan yang lain. Intinya, Kartu Tani belum siap digunakan.
Akhirnya diputuskan penggunaan Kartu Tani ditunda. Rupanya, informasi dua hal ini tidak tertransmisikan sempurna hingga pelaksana teknis di level paling bawah. Padahal, versi PT Pupuk Indonesia, BUMN yang bertanggung jawab menyediakan pupuk bersubsidi, pupuk tersedia lebih dari cukup dan terdistribusi merata di semua wilayah. Kejadian ini mengulang hal yang mestinya tidak patut terjadi: pupuk bersubsidi langka. Bukannya segera mencari solusi, otoritas berwenang justru saling melempar kesalahan.
Berbagai analisis dan rekomendasi perbaikan mekanisme distribusi/penyaluran pupuk bersubsidi sudah lama dibuat. Tetapi, sampai sekarang belum tampak perbaikan yang berarti. Karena itu, ada baiknya untuk menimbang ulang secara serius program pupuk bersubsidi ini. Pertama, menimbang tujuan pupuk bersubsidi. Setidaknya ada dua tujuan pemberian pupuk bersubsidi: membantu mengurangi ongkos produksi petani, dan meningkatkan produksi pangan. Apakah dua tujuan ini sudah tercapai? Ongkos terbesar dalam usaha tani bukan pupuk, tetapi biaya tenaga kerja, jasa pertanian, dan sewa lahan. Tiga komponen itu porsinya 66-76%, sedangkan biaya pupuk kurang 10% (BPS, 2018).
Subsidi pupuk sudah diberikan puluhan tahun. Nilai subsidi pun melonjak drastis, dari di bawah satu digit hingga di atas Rp30-an triliun atau naik lebih tiga kali lipat. Pertanyaannya, apakah kenaikan produksi pangan terjadi seiring kenaikan nilai pupuk bersubsidi? Benar bahwa produksi sejumlah pangan, seperti padi dan jagung, naik. Tapi, kenaikannya tidak sefantastis kenaikan nilai pupuk bersubsidi. Karena itu, pada tempatnya untuk menimbang ulang secara serius program pupuk bersubsidi buat petani.
Kedua, mencari mekanisme pemberian subsidi yang lebih sederhana, transparan, dan akuntabel. Subsidi yang tepat bukanlah subsidi harga barang. Ketika di pasar ada barang yang sama dengan harga berbeda, pasti membuka peluang terjadinya aneka moral hazard. Apakah penyelundupan ke luar negeri atau penyelewengan untuk sektor yang tidak menerima subsidi. Subsidi yang tepat adalah subsidi langsung ke penerima subsidi. Bentuknya bisa transfer ke rekening masing-masing sasaran dan tidak bisa ditarik tunai. Petani membeli pupuk dengan harga pasar dengan membayar kekurangan dari rekening.
Mekanisme lain adalah mengalihkan dari subsidi input ke subsidi output atau harga hasil produksi pertanian. Subsidi ini diwujudkan dalam kebijakan harga pembelian hasil produksi petani yang menguntungkan dan menjamin kesejahteraan. Untuk itu, pemerintah perlu menetapkan jenis komoditas berikut harga yang layak. Semakin banyak komoditas tentu subsidi yang dikeluarkan akan semakin banyak. Perubahan ini membuat pupuk menjadi barang komersial yang diperdagangkan di pasar. Harga pupuk mengikuti mekanisme pasar, termasuk dipengaruhi efisiensi produsen dan dinamika pasar dunia.