Pandemi, Ketelanjangan Negara, dan Sistem Kesejahteraan

Kamis, 15 Oktober 2020 - 06:18 WIB
loading...
Pandemi, Ketelanjangan Negara, dan Sistem Kesejahteraan
Jazak Akbar Hidayat
A A A
Jazak Akbar Hidayat
Alumnus Program Doktoral pada Sydney School of Education and Social Work, Faculty of Arts and Social Sciences - Sydney University, Australia


GELOMBANG
pandemi Covid-19 masih terus berlangsung hingga saat ini dan belum menunjukkan tren mereda yang melegakan di banyak negara. Beberapa negara yang sempat nyaris zero active cases atau mengalami penurunan drastis seperti Selandia Baru, Australia, Singapura, dan Korea Selatan kembali mengalami kenaikan kasus positif. Satu hal yang begitu tampak dari situasi krisis ini. Hampir semua negara, baik yang dipandang sebagai negara maju atau berkembang, negara kaya atau negara miskin, terlihat kewalahan menghadapi situasi ini.

Sang negara adidaya bahkan mengalami nasib tragis. Sebagaimana data yang dirilis oleh Worldometers.info , Amerika Serikat masih berada di posisi sebagai negara dengan jumlah kasus yang tertinggi. Dampak sosial-ekonomi yang menimpa Negeri Paman Sam ini juga tak kalah parah. Berdasarkan data statistik yang dihimpun oleh Pew Research didapati bahwa tingkat pengangguran dalam tiga bulan masa pandemi (13,0%) lebih tinggi dari tingkat pengangguran selama dua tahun masa Resesi Besar 2007-2009 (10,6%) (pewresearch.org, 2020).

Melihat betapa ternyata entitas negara, bahkan negara-negara yang dianggap super power , begitu mudahnya terombang-ambing di hadapan gelombang pandemi ini memberikan satu gambaran lain tentang insitusi yang bernama negara. Institusi besar yang selama ini kita yakini sebagai rumah dengan dinding-dinding yang kokoh tersebut ternyata tak sekuat yang kita kira. Sistem perlindungan yang dibangun selama ini seperti nyaris tak berkutik untuk melindungi satu per satu rakyat yang bertumbangan, bukan saja secara fisik, tapi juga sosial dan ekonomi. Resesi mengancam.

Ditelanjangi Pandemi
Eksistensi sebuah negara yang lebih sering tampak dalam balutan peran-peran politik, hukum, dan administratif saat ini seperti tengah tertelanjangi. Segala bentuk formalitas birokrasi dan tetek bengek protokoler kenegaraan pada akhirnya harus tunduk di hadapan kenyataan bahwa itu semua bukanlah sebuah kemutlakan.

Bahwa ada sesuatu yang lebih esensial dari keberadaan sebuah institusi negara. Kesejahteraan rakyat. Politik dan hukum yang sering kali diangkat ke permukaan sebagai komponen penting sebuah negara mesti diletakkan dalam kerangka mewujudkan kesejahteraan bagi rakyat seluas-luasnya.

Namun, sayangnya, sejarah panjang kekuasaan dari dulu hingga kini sangat jarang yang menampilkan kondisi ideal ini. Negara lebih menampakkan wajah kekuasaan secara dominan ketimbang aspek kesejahteraan. Aspek kesejahteraan dalam praktiknya lebih cenderung tampak sebagai kosmetik bagi aspek politik sehingga semuanya berujung pada satu narasi bahwa penyelenggaraan negara adalah tentang politik kekuasaan.

Pandemi ini seolah datang untuk menelanjangi itu semua. Ia tidak semata berdampak pada persoalan kesehatan, tetapi meluas ke berbagai aspek kehidupan masyarakat. Di antara dampak luas yang sangat dirasakan adalah pada aspek sosial dan ekonomi, yang sesungguhnya sangat vital dalam kehidupan bernegara.

Pemerintah kita yang awalnya berusaha menampakkan "ketenangan" dan optimisme di masa mulai merebaknya wabah ini, pada akhirnya tetap harus tunduk pada kenyataan. Gelombang pandemi ini terlalu dahsyat untuk bisa dihadapi hanya dengan retorika. Segala bentuk dandanan kosmetik politik tak lagi berkutik.

Semua kalangan, tanpa kecuali, terdampak situasi yang tak menyenangkan ini. Hampir di semua lini dan sektor. Kementerian Tenaga Kerja menyebutkan lebih dari 3 juta tenaga kerja telah dirumahkan atau terkena pemutusan hubungan kerja. Kamar Dagang Industri (KADIN) bahkan menaksir dua kali lipatnya, lebih dari 6 juta. Terhadap mereka yang harus kehilangan mata pencaharian ini, pemerintah dituntut untuk bisa menjamin tersedianya sumber pengganti pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.

Krisis dan Kesejahteraan
Pada akhirnya, situasi krisis semacam ini yang bisa membangunkan kita dan menyadarkan tentang tujuan esensial dari keberadaan sebuah negara. Amartya Sen (2020), seorang Guru Besar Harvard dan sekaligus peraih Nobel Ekonomi, memandang bahwa kondisi krisis akibat pandemi ini bisa memunculkan sesuatu yang baik. Ia merujuk pada bagaimana rentetan krisis sejak dan setelah Perang Dunia kedua telah membawa pada kemunculan satu paradigma baru dalam bernegara, yaitu negara kesejahteraan (welfare state .

Dilanda tingginya angka kekurangan gizi warganya selama Perang Dunia kedua akibat minimnya ketersediaan pangan, Inggris mengatur satu mekanisme distribusi pangan yang lebih merata. Warga yang mengalami kekurangan gizi kronis diberikan makanan yang lebih baik. Ini juga disertai dengan perhatian pada pelayanan kesehatan yang lebih baik dan merata. Dampaknya mengagumkan, angka harapan hidup untuk kelahiran naik cukup tinggi pada dekade berikutnya.

Inti dari konsep negara kesejahteraan ini adalah hadirnya institusi negara sebagai sebuah sistem yang melindungi dan memfasilitasi warganya secara adil dan merata untuk bisa mewujudkan kehidupan yang sejahtera. Pada dasarnya, ini adalah sesuatu yang tak terhindarkan dalam penyelenggaraan negara, bukan semata sebuah gagasan tentang kebaikan. Kesejahteraan warga merupakan penopang utama eksistensi dan keberlangsungan sebuah negara.

Bahkan, Adam Smith (1776), sang penggagas konsep invisible hand dan dijuluki sebagai bapak kapitalisme, meyakini hal ini. Ia menyatakan setidaknya ada dua hal utama yang menjadi tugas negara, 1) melindungi setiap warga dari segala bentuk ancaman keamanan dan 2) menjamin kesejahteraan setiap warga. Keduanya saling terikat dan tidak bisa dipisahkan.

Keamanan akan terganggu jika tingkat kesejahteraan rendah dan, sebaliknya, kesejahteraan mustahil terwujud tanpa ada rasa aman. Pada konteks inilah negara hadir dengan apa yang oleh Michel Foucault (2007) disebut apparatuses of security , semacam instrumen kebijakan atau institusi yang dibangun untuk menjaga stabilitas keamanan, bukan saja dalam pengertian harfiahnya tetapi juga keamanan melalui ketersediaan berbagai kebutuhan pokok dan fasilitas publik.

Dengan konsepsi dasar tersebut bisa dipahami kenapa ide negara kesejahteraan tidak sulit diterima secara global. Kesejahteraan, yang mensyaratkan kemajuan dalam aspek ekonomi dan sosial, dipandang sebagai core business berdirinya sebuah negara. Terlepas dari berbagai perdebatan, kritik dan perbedaan implementasi konsep negara kesejahteraan, satu hal utama yang menjadi semacam kesepakatan global bahwa raison d’etre sebuah negara adalah menyejahterakan warganya.

Apakah kemudian kondisi krisis, seperti yang diakibatkan pandemi ini, akan betul-betul melahirkan sesuatu yang baik bagi sebuah negara? Menurut Amartya Sen, hal ini tentu saja akan sangat bergantung pada hal apa saja yang kemudian menjadi prioritas penanganan dan bagaimana melakukannya. Amerika, negara "besar" yang terpuruk dalam penanganan pandemi ini karena lambat bereaksi dan Vietnam, negara "kecil" yang sukses menekan dan mengendalikan persebaran virus karena sigap menghadapi sejak awal, sama-sama bisa dijadikan pelajaran penting. Lebih dari sekadar persoalan kecanggihan sistem, konsep kesejahteraan berpijak pada paradigma negara yang sungguh-sungguh memprioritaskan kepentingan warganya.

Berkah yang Terselubung
Sebuah artikel yang ditulis oleh Shane Preuss yang dimuat di The Diplomat (24 April 2020) mengajukan pandangan bahwa sesungguhnya Indonesia akan bisa baik-baik saja menghadapi pandemi ini karena kuatnya resiliensi kolektif masyarakat. Hal ini terkait dengan kuatnya modal sosial masyarakat yang saling peduli dan bahu-membahu dalam menghadapi situasi krisis seperti sekarang. Di awal mulai merebaknya pandemi, yang berdampak sosial-ekonomi pada banyak pihak, di antaranya sektor informal dan buruh, berbagai gerakan penggalangan dana bermunculan dan diperuntukkan bagi warga yang kehilangan mata pencaharian.

Pada artikel tersebut dikutip pula data dari The Legatum Prosperity Index yang menempatkan Indonesia pada peringkat kelima dunia sebagai negara dengan masyarakat yang memiliki modal sosial yang kuat. Selain itu juga, berdasar World Giving Index tahun 2018, Indonesia berada pada peringkat pertama dalam hal partisipasi publik dan sosial, dengan tingkat kedermawanan dan kesukarelawanan yang tertinggi di antara semua negara.

Tentu saja ini adalah sebuah kabar baik dan bisa menawarkan satu harapan baik bahwa negara kita akan bisa melalui masa sulit ini dengan baik-baik saja. Satu hal yang kemudian perlu digarisbawahi bahwa negara ini tetap berdiri dalam situasi krisis seperti saat ini tidaklah terlepas dari peran aktif warganya. Bahwa negara yang para petingginya sering kali terlalu sibuk dengan berbagai manuver politik ini sesungguhnya berdiri dengan bertopang pada kaki-kaki kecil rakyat yang berjibaku untuk saling menjaga satu sama lain.

Senyatanya rakyat sudah terlatih untuk mengorganisasi dan mengurus diri serta saling menjaga satu sama lain. Maka ini seharusnya menjadi cambuk bagi para pelaku penyelenggaraan negara ini untuk bisa membangun sistem jaminan kesejahteraan yang lebih baik bagi warganya, yang notabene selalu diingatkan untuk rajin membayar pajak.

Masa pandemi ini bisa disikapi sebagai sebuah berkah yang terselubung (blessing in disguise ) dalam memperbaiki dan memaknai ulang paradigma bernegara kita. Dan, ini menjadi pelajaran penting, bahwa tanpa sebuah sistem kesejahteraan yang betul-betul memprioritaskan dan melindungi warganya, sebuah negara sesungguhnya tengah memamerkan ketelanjangannya.

(bmm)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1057 seconds (0.1#10.140)