Kini Polisi Dimanja, Dulu Angkatan Darat jadi Anak Emas Soeharto
loading...
A
A
A
Penempatan mereka bahkan sudah dipastikan sejak pemilihan kepala daerah. Dulu dikenal istilah “calon jadi”, yang berarti sudah mendapat restu dari Ketua Umum Golongan Karya (Golkar) yang dirangkap oleh Presiden Soeharto. Proses pemilihan tidak langsung (diwakilkan oleh anggota DPRD setempat) sekadar basa-basi. Selain calon jadi tadi ada dua calon pendamping, yang berfungsi menandakan seolah-olah ada pemilihan yang ‘demokratis”. Istilah calon jadi juga disematkan kepada para perwira tinggi yang sudah direstui Cendana –kediaman Soeharto-- untuk menduduki kursi gubernur.
Dalam mendampingi tugasnya sebagai Presiden, Soeharto juga lebih suka mengangkat dari kalangan tentara. Mereka adalah Umar Wirahadikusumah, Sudharmono, dan Try Soetrisno. Meski orang sipil juga sempat kebagian tiga kali menjadi wakil presiden, yakni di masa awal pemerintahan (Hamengkubuwono IX dan Adam Malik) dan di akhir rezim orde Baru (B.J. Habibie).
Para perwira tinggi aktif dan non aktif juga menguasai kabinet. Dari posisi yang berkaitan dengan keamanan dalam negeri hingga agama. Setalah pensiun pun mereka masih dapat jatah empuk, entah dikirim ke luar negeri sebagai duta besar atau menjabat komisaris di BUMN dan BUMD. Menyebarnya personil ABRI di berbagai bidang tak lepas dari kebijakan Dwifungsi ABRI yang diterapkan Soeharto. Orde Baru memantapkan Dwifungsi ABRI dengan landasan hukum.
Departemen Pertahanan dan Keamanan dalam Dwifungsi dan Kekaryaan ABRI (1978) mengklaim Dwifungsi ABRI "punya dasar hukum yang kuat" karena didukung UUD 1945 serta aturan-aturan dasar yang tidak tertulis dan terwujud dalam praktik penyelenggaraan negara sejak 1945.
Pelaksanaan Dwifungsi ABRI dilegitimasi melalui penetapan dasar hukum yang berkesinambungan, dari Ketetapan MPRS No. II Tahun 1969 hingga Ketetapan MPR No. IV Tahun 1978, juga Undang-undang No. 82 Tahun 1982. Atas nama Dwifungsi ABRI dengan dukungan dasar hukum yang kuat itu, militer Indonesia mengemban dua tugas utama. Pertama, menjaga keamanan serta ketertiban negara, dan kedua, memegang kekuasaan serta (berhak) mengatur negara.
Selain itu, ABRI berperan ganda sebagai "dinamisator sekaligus stabilisator" dalam kehidupan berbangsa dan bernegara Seperti dikutip dari buku “Jejak Langkah Pak Harto” karya Prof. Nazaruddin Sjamsuddin, The Smiling General –demikian julukan Soeharto kerap berkata, “Sejalan dengan pelaksanaan tugasnya sebagai alat pertahanan dan keamanan, maka ABRI harus dapat dengan tepat melaksanakan peranannya sebagai kekuatan sosial.
Toh tak ada kekuasaan yang abadi. Seiring dengan lengsernya Soeharto pada Mei 1998, rubuh pula semua pilar penopang kekuatan Orde Baru. Simbol kekuatan terakhir sisa peninggalan sang Jenderal Besar, yakni Fraksi TNI/Polri dihapuskan dari DPR pada tahun 2004.
Dalam mendampingi tugasnya sebagai Presiden, Soeharto juga lebih suka mengangkat dari kalangan tentara. Mereka adalah Umar Wirahadikusumah, Sudharmono, dan Try Soetrisno. Meski orang sipil juga sempat kebagian tiga kali menjadi wakil presiden, yakni di masa awal pemerintahan (Hamengkubuwono IX dan Adam Malik) dan di akhir rezim orde Baru (B.J. Habibie).
Para perwira tinggi aktif dan non aktif juga menguasai kabinet. Dari posisi yang berkaitan dengan keamanan dalam negeri hingga agama. Setalah pensiun pun mereka masih dapat jatah empuk, entah dikirim ke luar negeri sebagai duta besar atau menjabat komisaris di BUMN dan BUMD. Menyebarnya personil ABRI di berbagai bidang tak lepas dari kebijakan Dwifungsi ABRI yang diterapkan Soeharto. Orde Baru memantapkan Dwifungsi ABRI dengan landasan hukum.
Departemen Pertahanan dan Keamanan dalam Dwifungsi dan Kekaryaan ABRI (1978) mengklaim Dwifungsi ABRI "punya dasar hukum yang kuat" karena didukung UUD 1945 serta aturan-aturan dasar yang tidak tertulis dan terwujud dalam praktik penyelenggaraan negara sejak 1945.
Pelaksanaan Dwifungsi ABRI dilegitimasi melalui penetapan dasar hukum yang berkesinambungan, dari Ketetapan MPRS No. II Tahun 1969 hingga Ketetapan MPR No. IV Tahun 1978, juga Undang-undang No. 82 Tahun 1982. Atas nama Dwifungsi ABRI dengan dukungan dasar hukum yang kuat itu, militer Indonesia mengemban dua tugas utama. Pertama, menjaga keamanan serta ketertiban negara, dan kedua, memegang kekuasaan serta (berhak) mengatur negara.
Selain itu, ABRI berperan ganda sebagai "dinamisator sekaligus stabilisator" dalam kehidupan berbangsa dan bernegara Seperti dikutip dari buku “Jejak Langkah Pak Harto” karya Prof. Nazaruddin Sjamsuddin, The Smiling General –demikian julukan Soeharto kerap berkata, “Sejalan dengan pelaksanaan tugasnya sebagai alat pertahanan dan keamanan, maka ABRI harus dapat dengan tepat melaksanakan peranannya sebagai kekuatan sosial.
Toh tak ada kekuasaan yang abadi. Seiring dengan lengsernya Soeharto pada Mei 1998, rubuh pula semua pilar penopang kekuatan Orde Baru. Simbol kekuatan terakhir sisa peninggalan sang Jenderal Besar, yakni Fraksi TNI/Polri dihapuskan dari DPR pada tahun 2004.
(rza)