Pilkada Serentak 2020, Kampanye Daring Tak Diminati Paslon
loading...
A
A
A
JAKARTA - Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) menemukan kampanye daring masih sangat minim digelar atau kurang diminati dalam 10 hari pertama masa kampanye Pilkada Serentak 2020. Padahal metode kampanye ini sangat didorong untuk diterapkan di masa pandemi guna mencegah persebaran virus corona (Covid-19).
Banyak kendala kenapa kampanye daring ini kurang diminati. Misalnya jaringan internet kurang mendukung di suatu daerah, terbatasnya kuota peserta dan penyelenggara yang bisa mengikuti kampanye daring hingga keterbatasan ke mampuan peserta dan penyelenggara kampanye dalam menggunakan gawai. Keterbatasan fitur dalam gawai juga dinilai Bawaslu menjadi penyebab minimnya kampanye daring. (Baca: Muslimah, Ini Pentingnya Menyempurnakan Wudhu)
“Analisis Bawaslu, kampanye dalam jaringan masih minim diselenggarakan karena beberapa kendala. Padahal kampanye model ini yang didorong di tengah pandemi saat ini,” ujar anggota Bawaslu Mochammad Afifuddin kemarin.
Berdasarkan catatan Bawaslu , kampanye daring hanya terjadi di 37 dari 270 daerah penyelenggara pilkada atau sekitar 14%. Sisanya di 233 kabupaten/kota atau 86 %tidak didapati kampanye metode ini. Perincian kampanye daring tersebut, 31 kegiatan pengunggahan konten kampanye di media sosial, 12 kegiatan siaran langsung, 7 kegiatan pertemuan virtual, dan 3 kegiatan pembuatan laman resmi pasangan calon.
Sebaliknya kampanye tatap muka masih masif dilakukan selama 10 hari pertama masa kampanye. Dari 270 daerah yang melaksanakan pemilihan, Bawaslu mendapati kampanye tatap muka masih diselenggarakan di 256 kabupaten/kota atau 95%. “Hanya 14 kabupaten/kota atau 5% yang tidak terdapat kampanye tatap muka pada 10 hari pertama tahapan kampanye,” ungkap Afif.
Di 256 kabupaten/kota tersebut, tercatat ada 9.189 kegiatan kampanye metode tatap muka. Dalam pengawasannya, Bawaslu menemukan 237 dugaan pelanggaran protokol kesehatan yang tersebar di 59 daerah. Atas pelanggaran tersebut dilakukan tindakan pembubaran terhadap 48 kegiatan. “Selain itu Bawaslu melayangkan 70 surat peringatan tertulis,” kata Afif. (Baca juga: Tangkap dan Aiaya Wartawan, Polisi Didesak Evaluasi Pola Penanganan Unras)
Berdasarkan catatan Bawaslu, terdapat 9.189 kegiatan kampanye tatap muka. Kegiatan tersebut tersebar di 256 dari 270 daerah penyelenggara Pilkada atau sekitar 95%. Sementara itu daerah yang tak didapati kampanye tatap muka hanya 14 kabupaten/kota atau sekitar 5%. Bawaslu juga menemukan bahwa di sejumlah daerah yang didapati kampanye tatap muka terjadi peningkatan kasus Covid-19.
Namun di beberapa daerah lain yang juga terdapat kampanye tatap muka, terjadi pengurangan jumlah pasien positif. Kenaikan kasus positif Covid-19 selama 10 hari terakhir terjadi di Kota Tangerang Selatan 59 kasus, Kabupaten Kendal 43 kasus, Sukoharjo 30 kasus, Luwu Utara 14 kasus, Pasaman 14 kasus, Agam 12 kasus, Keerom 11 kasus, Konawe Kepulauan 11 kasus, Gunungkidul 9 kasus, Kota Bitung 6 kasus, Minahasa Utara 6 kasus, Banggai 4 kasus, dan Kolaka Timur 4 kasus.
Adapun yang tak mengalami peningkatan kasus positif Covid-19 adalah Kabupaten Pasangkayu, Kabupaten Seluma, dan Kabupaten Sekadau. Sementara daerah yang mengalami pengurangan jumlah pasien positif Covid-19 adalah Lombok Utara 2 kasus, Kabupaten Tojo Una-Una 2 kasus, Konawe Utara 9 kasus, Karangasem 15 kasus, Dompu 20 kasus, Bantul 35 kasus, dan Mukomuko 48 kasus.
Selain soal protokol kesehatan, Bawaslu juga menemukan beberapa dugaan pelanggaran kampanye lainnya, yakni 17 kasus dugaan pelanggaran di media sosial, 8 kasus dugaan politik uang, dan 9 kasus dugaan penyalahgunaan fasilitas pemerintah.
Adapun dugaan pelanggaran di media sosial yang dimaksud misalnya, ASN dan/atau kepala desa ikut berkampanye, kampanye di akun media sosial yang tidak didaftarkan di KPU, penyebaran konten hoaks hingga konten berbayar. “Terhadap dugaan pelanggaran tersebut Bawaslu telah menindaklanjutinya sesuai dengan prosedur terhadap bentuk pelanggaran,” kata Afif. (Baca juga: Belajar Harus Tetap Menyenangkan)
Diantaranya adalah penyampaian surat peringatan, pembubaran kegiatan kampanye dengan melibatkan kepolisian dan Satpol PP serta menyampaikan ke kepolisian jika ada dugaan tindak pidana.
Pilkada Serentak 2020 digelar di 270 daerah di Indonesia meliputi 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota. Masa kampanye berlangsung selama 71 hari, dimulai sejak 26 September dan berakhir 5 Desember 2020. Sementara itu, hari pemungutan suara Pilkada rencananya akan dilaksanakan secara serentak pada 9 Desember.
Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin menekankan agar para peserta pemilu, baik pengusung, pendukung, maupun penyelenggara serta masyarakat selalu memperhatikan dan menaati protokol kesehatan saat kampanye. Azis juga menekankan para aparat untuk bisa melakukan pengawasan dan melakukan tindakan disiplin bagi para pelanggar protokol kesehatan. “Ini perlu dilakukan pengawasan yang ketat dan penegakan disiplin secara tegas dan terukur agar tidak terjadi penyebaran Covid-19,” tandas Azis.
Penerapan protokol kesehatan ketat dalam Pilkada 2020 tidak bisa ditawar lagi. Protokol kesehatan menjadi satu-satunya cara untuk mencegah kluster penularan karena pemerintah tak akan menunda pemilihan. Oleh sebab itu Azis mengungkapkan agar pemerintah memberikan sanksi bagi para pelanggar prokes.
“Kami mengharapkan itu berjalan baik. Di samping itu pemerintah dalam hal ini Kemendagri dapat menerapkan sanksi yang tegas kepada para calon atau penyelenggara yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung yang tidak mengikuti dan tidak menaati protokol Covid-19 didalam pesta demokrasi yang akan dilangsungkan 9 Desember nanti,” ujar politikus Partai Golkar itu. (Baca juga: Waspada! Seks Oral Bisa Sebabkan Kanker Tenggorokan)
Hindari Politik Uang
Di tempat terpisah, Wakil Ketua MPR Jazilul Fawaid menegaskan bahwa pilkada adalah bagian dari demokrasi untuk mencari pemimpin yang terbaik bagi daerah. Namun sering kali pilkada menghasilkan pemimpin yang kemudian hari bermasalah. Ini disebabkan proses pemilihan masih diwarnai tindakan transaksional seperti money politics (politik uang).
”Demokrasi justru bukan menjadi alat untuk mempercepat kita menuju kesejahteraan, tetapi menjadi ganjalan. Bukan demokrasinya yang salah, tetapi ekses sampingnya,” kata Jazilul Fawaid dalam Halaqah Kiai Muda MDS Rijatul Ansor Pandeglang dan Temu Tokoh Kebangsaan di Pondok Hufadz Manbaul Quran, Labuan, Pandeglang, Kamis (8/10/2020).
Menurut Gus Jazil—sapaan Jazilul Fawaid—, demokrasi yang masih transaksional disebabkan masyarakat belum cerdas dan belum sejahtera sehingga mudah terpengaruh money politics. ”Demokrasi kita sering kali dibajak,” ujarnya.
Gus Jazil menambahkan, demokrasi di Indonesia cukup mahal. Untuk menyelenggarakan pilkada di Kabupaten Pandeglang, misalnya, membutuhkan dana sekitar Rp56 miliar. ”Demokrasi kita kadang-kadang dibajak secara transaksional. Sudah repot-repot memilih bupati, hasilnya cuma seperti pasar malam. Ini menjadi keprihatinan kita semua,” ucapnya. (Lihat videonya: Preman Pengancam PNS Gunakan Ular Diciduk Polisi)
Karena itu Gus Jazil mengajak kiai-kiai muda Nahdlatul Ulama (NU) yang menghadiri halaqah ini untuk menghindari transaksi dalam pemilihan kepala daerah. ”Di NU janganlah ada (unsur) transaksional. Demokrasi dan permusyawaratan melalui pilkada tidak bertentangan dengan Alquran. Yang bertentangan adalah kegiatan-kegiatan dalam pilkada yang sifatnya curang,” kata politikus PKB itu.
Sebelumnya dalam Sosialisasi Empat Pilar MPR kepada pemuda Ansor Kabupaten Pandeglang di Gedung KPRI Amanah Cikedal, Gus Jazil juga menjelaskan demokrasi dan permusyawaratan melalui pilkada. ”Karena sosialisasi Empat Pilar MPR ini di tengah-tengah pelaksanaan pilkada serentak, saya ingin mengaitkan sosialisasi ini dengan pemilihan kepala daerah. Banyak kalangan, termasuk NU dan Ansor, yang belum memahami hakikat demokrasi dan permusyawaratan,” ujarnya. (Kiswondari/Abdul Rochim)
Banyak kendala kenapa kampanye daring ini kurang diminati. Misalnya jaringan internet kurang mendukung di suatu daerah, terbatasnya kuota peserta dan penyelenggara yang bisa mengikuti kampanye daring hingga keterbatasan ke mampuan peserta dan penyelenggara kampanye dalam menggunakan gawai. Keterbatasan fitur dalam gawai juga dinilai Bawaslu menjadi penyebab minimnya kampanye daring. (Baca: Muslimah, Ini Pentingnya Menyempurnakan Wudhu)
“Analisis Bawaslu, kampanye dalam jaringan masih minim diselenggarakan karena beberapa kendala. Padahal kampanye model ini yang didorong di tengah pandemi saat ini,” ujar anggota Bawaslu Mochammad Afifuddin kemarin.
Berdasarkan catatan Bawaslu , kampanye daring hanya terjadi di 37 dari 270 daerah penyelenggara pilkada atau sekitar 14%. Sisanya di 233 kabupaten/kota atau 86 %tidak didapati kampanye metode ini. Perincian kampanye daring tersebut, 31 kegiatan pengunggahan konten kampanye di media sosial, 12 kegiatan siaran langsung, 7 kegiatan pertemuan virtual, dan 3 kegiatan pembuatan laman resmi pasangan calon.
Sebaliknya kampanye tatap muka masih masif dilakukan selama 10 hari pertama masa kampanye. Dari 270 daerah yang melaksanakan pemilihan, Bawaslu mendapati kampanye tatap muka masih diselenggarakan di 256 kabupaten/kota atau 95%. “Hanya 14 kabupaten/kota atau 5% yang tidak terdapat kampanye tatap muka pada 10 hari pertama tahapan kampanye,” ungkap Afif.
Di 256 kabupaten/kota tersebut, tercatat ada 9.189 kegiatan kampanye metode tatap muka. Dalam pengawasannya, Bawaslu menemukan 237 dugaan pelanggaran protokol kesehatan yang tersebar di 59 daerah. Atas pelanggaran tersebut dilakukan tindakan pembubaran terhadap 48 kegiatan. “Selain itu Bawaslu melayangkan 70 surat peringatan tertulis,” kata Afif. (Baca juga: Tangkap dan Aiaya Wartawan, Polisi Didesak Evaluasi Pola Penanganan Unras)
Berdasarkan catatan Bawaslu, terdapat 9.189 kegiatan kampanye tatap muka. Kegiatan tersebut tersebar di 256 dari 270 daerah penyelenggara Pilkada atau sekitar 95%. Sementara itu daerah yang tak didapati kampanye tatap muka hanya 14 kabupaten/kota atau sekitar 5%. Bawaslu juga menemukan bahwa di sejumlah daerah yang didapati kampanye tatap muka terjadi peningkatan kasus Covid-19.
Namun di beberapa daerah lain yang juga terdapat kampanye tatap muka, terjadi pengurangan jumlah pasien positif. Kenaikan kasus positif Covid-19 selama 10 hari terakhir terjadi di Kota Tangerang Selatan 59 kasus, Kabupaten Kendal 43 kasus, Sukoharjo 30 kasus, Luwu Utara 14 kasus, Pasaman 14 kasus, Agam 12 kasus, Keerom 11 kasus, Konawe Kepulauan 11 kasus, Gunungkidul 9 kasus, Kota Bitung 6 kasus, Minahasa Utara 6 kasus, Banggai 4 kasus, dan Kolaka Timur 4 kasus.
Adapun yang tak mengalami peningkatan kasus positif Covid-19 adalah Kabupaten Pasangkayu, Kabupaten Seluma, dan Kabupaten Sekadau. Sementara daerah yang mengalami pengurangan jumlah pasien positif Covid-19 adalah Lombok Utara 2 kasus, Kabupaten Tojo Una-Una 2 kasus, Konawe Utara 9 kasus, Karangasem 15 kasus, Dompu 20 kasus, Bantul 35 kasus, dan Mukomuko 48 kasus.
Selain soal protokol kesehatan, Bawaslu juga menemukan beberapa dugaan pelanggaran kampanye lainnya, yakni 17 kasus dugaan pelanggaran di media sosial, 8 kasus dugaan politik uang, dan 9 kasus dugaan penyalahgunaan fasilitas pemerintah.
Adapun dugaan pelanggaran di media sosial yang dimaksud misalnya, ASN dan/atau kepala desa ikut berkampanye, kampanye di akun media sosial yang tidak didaftarkan di KPU, penyebaran konten hoaks hingga konten berbayar. “Terhadap dugaan pelanggaran tersebut Bawaslu telah menindaklanjutinya sesuai dengan prosedur terhadap bentuk pelanggaran,” kata Afif. (Baca juga: Belajar Harus Tetap Menyenangkan)
Diantaranya adalah penyampaian surat peringatan, pembubaran kegiatan kampanye dengan melibatkan kepolisian dan Satpol PP serta menyampaikan ke kepolisian jika ada dugaan tindak pidana.
Pilkada Serentak 2020 digelar di 270 daerah di Indonesia meliputi 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota. Masa kampanye berlangsung selama 71 hari, dimulai sejak 26 September dan berakhir 5 Desember 2020. Sementara itu, hari pemungutan suara Pilkada rencananya akan dilaksanakan secara serentak pada 9 Desember.
Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin menekankan agar para peserta pemilu, baik pengusung, pendukung, maupun penyelenggara serta masyarakat selalu memperhatikan dan menaati protokol kesehatan saat kampanye. Azis juga menekankan para aparat untuk bisa melakukan pengawasan dan melakukan tindakan disiplin bagi para pelanggar protokol kesehatan. “Ini perlu dilakukan pengawasan yang ketat dan penegakan disiplin secara tegas dan terukur agar tidak terjadi penyebaran Covid-19,” tandas Azis.
Penerapan protokol kesehatan ketat dalam Pilkada 2020 tidak bisa ditawar lagi. Protokol kesehatan menjadi satu-satunya cara untuk mencegah kluster penularan karena pemerintah tak akan menunda pemilihan. Oleh sebab itu Azis mengungkapkan agar pemerintah memberikan sanksi bagi para pelanggar prokes.
“Kami mengharapkan itu berjalan baik. Di samping itu pemerintah dalam hal ini Kemendagri dapat menerapkan sanksi yang tegas kepada para calon atau penyelenggara yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung yang tidak mengikuti dan tidak menaati protokol Covid-19 didalam pesta demokrasi yang akan dilangsungkan 9 Desember nanti,” ujar politikus Partai Golkar itu. (Baca juga: Waspada! Seks Oral Bisa Sebabkan Kanker Tenggorokan)
Hindari Politik Uang
Di tempat terpisah, Wakil Ketua MPR Jazilul Fawaid menegaskan bahwa pilkada adalah bagian dari demokrasi untuk mencari pemimpin yang terbaik bagi daerah. Namun sering kali pilkada menghasilkan pemimpin yang kemudian hari bermasalah. Ini disebabkan proses pemilihan masih diwarnai tindakan transaksional seperti money politics (politik uang).
”Demokrasi justru bukan menjadi alat untuk mempercepat kita menuju kesejahteraan, tetapi menjadi ganjalan. Bukan demokrasinya yang salah, tetapi ekses sampingnya,” kata Jazilul Fawaid dalam Halaqah Kiai Muda MDS Rijatul Ansor Pandeglang dan Temu Tokoh Kebangsaan di Pondok Hufadz Manbaul Quran, Labuan, Pandeglang, Kamis (8/10/2020).
Menurut Gus Jazil—sapaan Jazilul Fawaid—, demokrasi yang masih transaksional disebabkan masyarakat belum cerdas dan belum sejahtera sehingga mudah terpengaruh money politics. ”Demokrasi kita sering kali dibajak,” ujarnya.
Gus Jazil menambahkan, demokrasi di Indonesia cukup mahal. Untuk menyelenggarakan pilkada di Kabupaten Pandeglang, misalnya, membutuhkan dana sekitar Rp56 miliar. ”Demokrasi kita kadang-kadang dibajak secara transaksional. Sudah repot-repot memilih bupati, hasilnya cuma seperti pasar malam. Ini menjadi keprihatinan kita semua,” ucapnya. (Lihat videonya: Preman Pengancam PNS Gunakan Ular Diciduk Polisi)
Karena itu Gus Jazil mengajak kiai-kiai muda Nahdlatul Ulama (NU) yang menghadiri halaqah ini untuk menghindari transaksi dalam pemilihan kepala daerah. ”Di NU janganlah ada (unsur) transaksional. Demokrasi dan permusyawaratan melalui pilkada tidak bertentangan dengan Alquran. Yang bertentangan adalah kegiatan-kegiatan dalam pilkada yang sifatnya curang,” kata politikus PKB itu.
Sebelumnya dalam Sosialisasi Empat Pilar MPR kepada pemuda Ansor Kabupaten Pandeglang di Gedung KPRI Amanah Cikedal, Gus Jazil juga menjelaskan demokrasi dan permusyawaratan melalui pilkada. ”Karena sosialisasi Empat Pilar MPR ini di tengah-tengah pelaksanaan pilkada serentak, saya ingin mengaitkan sosialisasi ini dengan pemilihan kepala daerah. Banyak kalangan, termasuk NU dan Ansor, yang belum memahami hakikat demokrasi dan permusyawaratan,” ujarnya. (Kiswondari/Abdul Rochim)
(ysw)