Manajemen Risiko Bencana Alam dan Asuransi Pertanian
loading...
A
A
A
Galuh Octania Permatasari
Peneliti Center for Indonesian Policy Studies
INDONESIA merupakan negara yang rawan akan bencana alam. Sebagai negara kepulauan, Indonesia dilewati garis khatulistiwa yang menyebabkan negara ini beriklim tropis dan hanya memiliki dua musim, yaitu musim hujan dan musim kemarau. Dua musim ini dan diperparah dengan perubahan iklim yang tidak pasti membuat Indonesia rentan terhadap bencana hidrometeorologi seperti banjir, tanah longsor, kekeringan, angin puting beliung.
Bencana alam di Indonesia pun pada faktanya selalu meningkat dari tahun ke tahun. Tercatat dari data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), sudah lebih dari 19.000 bencana alam terjadi di Indonesia dari periode 2010 hingga 2020. Pada 2019 terjadi 3.814 kasus bencana dengan kontribusi terparah datang dari bencana angin puting beliung sebanyak 1.387 kasus, disusul dengan banjir, kebakaran hutan, dan tanah longsor. Per Mei 2020, BNPB mencatat banjir merupakan bencana alam yang paling sering terjadi dengan 510 kasus. Satu hal lagi yang perlu dicermati adalah data menunjukkan hampir kebanyakan bencana alam terjadi di Pulau Jawa yang merupakan sentra produksi pertanian negeri ini.
Manajemen Penanggulangan Bencana
Indonesia memiliki BNPB yang terbentuk sebagai tindak lanjut usaha mengurangi bencana di Indonesia. Secara resmi terbentuk pada 2008, BNPB yang merupakan lembaga pemerintah non-kementerian ini punya dua fungsi utama, yaitu untuk merumuskan dan menetapkan kebijakan penanggulangan bencana serta mengoordinasikan pelaksanaan kegiatan penanggulangan bencana secara terencana, terpadu, dan menyeluruh.
Setiap lima tahun sekali BPNB juga rutin mengeluarkan Rencana Nasional Penanggulangan Bencana (Renas PB) di Indonesia. Berdasarkan Renas PB 2015-2019, tiga provinsi yang berperan besar dalam produksi pertanian Tanah Air, yaitu Jawa Timur, Jawa Barat, dan Jawa Tengah, merupakan lokasi prioritas bencana alam seperti banjir, tanah longsor, kekeringan.
Tahapan Penanggulangan Bencana
Presiden Joko Widodo pun kembali menegaskan pentingnya kolaborasi semua stakeholders dalam memperkuat strategi menanggulangi bencana di Indonesia saat rapat koordinasi penanggulangan bencana Februari lalu. Strategi yang dimiliki BNPB berdasar pada Peraturan Kepala BNPB No 4 Tahun 2008 yang menjelaskan tiga tahap manajemen bencana di Indonesia. Tahap pertama adalah tahap prabencana yang termasuk pencegahan, mitigasi, dan kesiapsiagaan. Ketika bencana belum terjadi, rencana mitigasi dibuat. Jika bencana berpotensi muncul, skenario kesiapsiagaan dilakukan melalui rencana kontingensi, termasuk di dalamnya informasi peringatan dini.
Selanjutnya adalah tahap tanggap darurat ketika bencana terjadi. Rencana yang berlaku adalah rencana operasi yang termasuk aksi penyelamatan dan pengevakuasian korban yang terpapar. Sebagai tahap terakhir, tahap pascabencana melibatkan rencana pemulihan untuk membangun kembali fasilitas dan infrastruktur yang rusak. Jika kembali pada fokus produktivitas pertanian di wilayah yang rentan bencana, sebenarnya tahap sebelum bencana (tahap mitigasi) merupakan tahap paling penting untuk menghindari kerusakan lahan usaha petani.
Akan tetapi di luar dari rencana sistematis yang telah ada, implementasi dari penanggulangan bencana di Indonesia masih tak luput dari kelemahan. Renas PB yang disusun BNPB pun masih sebatas rencana dan karenanya tidak dapat menjadi patokan seluruh kementerian/lembaga saat menanggulangi bencana. Setiap kementerian terkait masih punya prosedur dan mandat masing-masing dalam memanajemenkan bencana. Mengacu pada tulisan Martha Carolina dalam Buletin APBN Pusat Kajian Anggaran Badan Keahlian DPR RI, alokasi dana program untuk penanggulangan bencana BNPB pun mengalami penurunan dari Rp2,83 triliun pada 2015 menjadi hanya Rp478,1 miliar pada 2018. Turunnya bujet tidak hanya akan memengaruhi rencana mitigasi dan operasional, tetapi tentunya juga berpengaruh pada kuantitas sumber daya manusia yang terlibat.
Asuransi Pertanian untuk Melindungi Petani
Karena alasan tersebut hanya bertumpu pada usaha BNPB untuk memitigasi bencana alam yang dapat menghambat produktivitas pertanian di Indonesia, tentu tidak akan cukup. Di saat BNPB bekerja untuk mencegah, memitigasi, dan menanggulangi bencana dalam skala luas dan nasional, Kementerian Pertanian (Kementan) juga memainkan perannya untuk melindungi petani dari potensi kerusakan bencana alam lewat program asuransi pertanian.
Petani di Indonesia kerap dihadapkan pada risiko ketidakpastian produksi akibat gagal panen. Hal yang tidak kalah memprihatinkan adalah terkadang para petani tersebut jugalah yang harus menanggung sendiri beban kerugian yang dialami. Tercatat total lahan usaha tani yang terdampak banjir dan kekeringan hampir mencapai 1 juta hektare (ha) pada periode tahun 2003 hingga 2008. Petani Indonesia pun secara umum selalu memiliki dua masalah utama, yaitu mereka tidak punya modal untuk memulai bercocok tanam atau mereka tidak punya perlindungan efektif jika mereka mengalami kerugian akibat gagal panen.
Sesuai dengan amanat UU No 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, asuransi pertanian pun diperkenalkan. Disusul dengan Peraturan Menteri Pertanian No 40 Tahun 2015 yang lebih mengatur implementasi asuransi pertanian di Indonesia, maka di tahun 2015 program ini mulai dijalankan di Indonesia. Selain tentunya Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian Kementan yang berperan sebagai aktor utama asuransi ini, Kementan juga menggandeng PT Jasa Asuransi Indonesia sebagai penanggung dari program asuransi tersebut.
Sekilas tentang Asuransi Usaha Tani Padi (AUTP)
Asuransi Pertanian ini salah satunya mengatur secara khusus mengenai lahan padi lewat Asuransi Usaha Tani Padi (AUTP). AUTP menyediakan perlindungan bagi kegagalan panen akibat banjir, kekeringan, dan organisme pengganggu tanaman. AUTP memberikan kompensasi maksimal sebesar Rp6 juta/ha kepada setiap petani per musim tanam. Total premi sebesar Rp180.000 dibayarkan 80% oleh subsidi pemerintah sebesar Rp144.000 dan sisanya 20% dibayarkan oleh petani sebesar Rp36.000/ha per musim tanam.
Akan tetapi tidak semua petani dapat mengikuti asuransi ini. Petani pendaftar haruslah mereka yang tergabung dalam Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan). Selain itu kriteria petani lain untuk menjadi calon tertanggung AUTP adalah para petani penggarap yang memiliki atau tidak memiliki lahan usaha tani dan menggarap paling luas 2 ha lahan saja. Lahan sawah yang terlindungi oleh asuransi pun tidak banyak, yaitu lahan sawah irigasi, lahan pasang surut/lebak, dan lahan tadah hujan yang kesemuanya memiliki sumber air yang baik. Petani juga harus melewati serangkaian proses untuk dapat mendaftar dan mengajukan klaim asuransi nantinya.
Langkah AUTP ke Depan
Dengan sistem yang sudah disusun tersebut, AUTP pun nyatanya masih mengalami banyak kendala. Hal ini ditunjukkan dengan masih rendahnya jumlah lahan yang terdaftar dalam program asuransi. Semenjak diterapkan pada 2015, AUTP selalu menargetkan 1 juta ha lahan untuk terlindungi asuransi. Namun berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) per 31 Juli 2019, AUTP belum pernah mencapai targetnya. Yang terdekat ada pada 2017 dengan luas lahan sebesar 997.960,55 ha atau 99,80 dari target. Jumlah ini ternyata turun lagi pada 2018 ke angka 901.420,56 ha atau 90,14% dari target. Kekhawatiran petani pun cukup beralasan yang salah satunya juga disebabkan ketakutan lamanya klaim dibayarkan oleh penanggung asuransi.
Terlepas dari segala kekurangannya, patut dinantikan bagaimana Kementan terus menggalakkan program ini agar nantinya dapat menjadi pilihan utama petani demi melindungi lahan usaha taninya. Mau tidak mau, dampak perubahan iklim ini sangat nyata adanya dan tidak bisa kita hanya bergantung pada satu pihak saja dalam penanggulangannya.
Peneliti Center for Indonesian Policy Studies
INDONESIA merupakan negara yang rawan akan bencana alam. Sebagai negara kepulauan, Indonesia dilewati garis khatulistiwa yang menyebabkan negara ini beriklim tropis dan hanya memiliki dua musim, yaitu musim hujan dan musim kemarau. Dua musim ini dan diperparah dengan perubahan iklim yang tidak pasti membuat Indonesia rentan terhadap bencana hidrometeorologi seperti banjir, tanah longsor, kekeringan, angin puting beliung.
Bencana alam di Indonesia pun pada faktanya selalu meningkat dari tahun ke tahun. Tercatat dari data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), sudah lebih dari 19.000 bencana alam terjadi di Indonesia dari periode 2010 hingga 2020. Pada 2019 terjadi 3.814 kasus bencana dengan kontribusi terparah datang dari bencana angin puting beliung sebanyak 1.387 kasus, disusul dengan banjir, kebakaran hutan, dan tanah longsor. Per Mei 2020, BNPB mencatat banjir merupakan bencana alam yang paling sering terjadi dengan 510 kasus. Satu hal lagi yang perlu dicermati adalah data menunjukkan hampir kebanyakan bencana alam terjadi di Pulau Jawa yang merupakan sentra produksi pertanian negeri ini.
Manajemen Penanggulangan Bencana
Indonesia memiliki BNPB yang terbentuk sebagai tindak lanjut usaha mengurangi bencana di Indonesia. Secara resmi terbentuk pada 2008, BNPB yang merupakan lembaga pemerintah non-kementerian ini punya dua fungsi utama, yaitu untuk merumuskan dan menetapkan kebijakan penanggulangan bencana serta mengoordinasikan pelaksanaan kegiatan penanggulangan bencana secara terencana, terpadu, dan menyeluruh.
Setiap lima tahun sekali BPNB juga rutin mengeluarkan Rencana Nasional Penanggulangan Bencana (Renas PB) di Indonesia. Berdasarkan Renas PB 2015-2019, tiga provinsi yang berperan besar dalam produksi pertanian Tanah Air, yaitu Jawa Timur, Jawa Barat, dan Jawa Tengah, merupakan lokasi prioritas bencana alam seperti banjir, tanah longsor, kekeringan.
Tahapan Penanggulangan Bencana
Presiden Joko Widodo pun kembali menegaskan pentingnya kolaborasi semua stakeholders dalam memperkuat strategi menanggulangi bencana di Indonesia saat rapat koordinasi penanggulangan bencana Februari lalu. Strategi yang dimiliki BNPB berdasar pada Peraturan Kepala BNPB No 4 Tahun 2008 yang menjelaskan tiga tahap manajemen bencana di Indonesia. Tahap pertama adalah tahap prabencana yang termasuk pencegahan, mitigasi, dan kesiapsiagaan. Ketika bencana belum terjadi, rencana mitigasi dibuat. Jika bencana berpotensi muncul, skenario kesiapsiagaan dilakukan melalui rencana kontingensi, termasuk di dalamnya informasi peringatan dini.
Selanjutnya adalah tahap tanggap darurat ketika bencana terjadi. Rencana yang berlaku adalah rencana operasi yang termasuk aksi penyelamatan dan pengevakuasian korban yang terpapar. Sebagai tahap terakhir, tahap pascabencana melibatkan rencana pemulihan untuk membangun kembali fasilitas dan infrastruktur yang rusak. Jika kembali pada fokus produktivitas pertanian di wilayah yang rentan bencana, sebenarnya tahap sebelum bencana (tahap mitigasi) merupakan tahap paling penting untuk menghindari kerusakan lahan usaha petani.
Akan tetapi di luar dari rencana sistematis yang telah ada, implementasi dari penanggulangan bencana di Indonesia masih tak luput dari kelemahan. Renas PB yang disusun BNPB pun masih sebatas rencana dan karenanya tidak dapat menjadi patokan seluruh kementerian/lembaga saat menanggulangi bencana. Setiap kementerian terkait masih punya prosedur dan mandat masing-masing dalam memanajemenkan bencana. Mengacu pada tulisan Martha Carolina dalam Buletin APBN Pusat Kajian Anggaran Badan Keahlian DPR RI, alokasi dana program untuk penanggulangan bencana BNPB pun mengalami penurunan dari Rp2,83 triliun pada 2015 menjadi hanya Rp478,1 miliar pada 2018. Turunnya bujet tidak hanya akan memengaruhi rencana mitigasi dan operasional, tetapi tentunya juga berpengaruh pada kuantitas sumber daya manusia yang terlibat.
Asuransi Pertanian untuk Melindungi Petani
Karena alasan tersebut hanya bertumpu pada usaha BNPB untuk memitigasi bencana alam yang dapat menghambat produktivitas pertanian di Indonesia, tentu tidak akan cukup. Di saat BNPB bekerja untuk mencegah, memitigasi, dan menanggulangi bencana dalam skala luas dan nasional, Kementerian Pertanian (Kementan) juga memainkan perannya untuk melindungi petani dari potensi kerusakan bencana alam lewat program asuransi pertanian.
Petani di Indonesia kerap dihadapkan pada risiko ketidakpastian produksi akibat gagal panen. Hal yang tidak kalah memprihatinkan adalah terkadang para petani tersebut jugalah yang harus menanggung sendiri beban kerugian yang dialami. Tercatat total lahan usaha tani yang terdampak banjir dan kekeringan hampir mencapai 1 juta hektare (ha) pada periode tahun 2003 hingga 2008. Petani Indonesia pun secara umum selalu memiliki dua masalah utama, yaitu mereka tidak punya modal untuk memulai bercocok tanam atau mereka tidak punya perlindungan efektif jika mereka mengalami kerugian akibat gagal panen.
Sesuai dengan amanat UU No 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, asuransi pertanian pun diperkenalkan. Disusul dengan Peraturan Menteri Pertanian No 40 Tahun 2015 yang lebih mengatur implementasi asuransi pertanian di Indonesia, maka di tahun 2015 program ini mulai dijalankan di Indonesia. Selain tentunya Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian Kementan yang berperan sebagai aktor utama asuransi ini, Kementan juga menggandeng PT Jasa Asuransi Indonesia sebagai penanggung dari program asuransi tersebut.
Sekilas tentang Asuransi Usaha Tani Padi (AUTP)
Asuransi Pertanian ini salah satunya mengatur secara khusus mengenai lahan padi lewat Asuransi Usaha Tani Padi (AUTP). AUTP menyediakan perlindungan bagi kegagalan panen akibat banjir, kekeringan, dan organisme pengganggu tanaman. AUTP memberikan kompensasi maksimal sebesar Rp6 juta/ha kepada setiap petani per musim tanam. Total premi sebesar Rp180.000 dibayarkan 80% oleh subsidi pemerintah sebesar Rp144.000 dan sisanya 20% dibayarkan oleh petani sebesar Rp36.000/ha per musim tanam.
Akan tetapi tidak semua petani dapat mengikuti asuransi ini. Petani pendaftar haruslah mereka yang tergabung dalam Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan). Selain itu kriteria petani lain untuk menjadi calon tertanggung AUTP adalah para petani penggarap yang memiliki atau tidak memiliki lahan usaha tani dan menggarap paling luas 2 ha lahan saja. Lahan sawah yang terlindungi oleh asuransi pun tidak banyak, yaitu lahan sawah irigasi, lahan pasang surut/lebak, dan lahan tadah hujan yang kesemuanya memiliki sumber air yang baik. Petani juga harus melewati serangkaian proses untuk dapat mendaftar dan mengajukan klaim asuransi nantinya.
Langkah AUTP ke Depan
Dengan sistem yang sudah disusun tersebut, AUTP pun nyatanya masih mengalami banyak kendala. Hal ini ditunjukkan dengan masih rendahnya jumlah lahan yang terdaftar dalam program asuransi. Semenjak diterapkan pada 2015, AUTP selalu menargetkan 1 juta ha lahan untuk terlindungi asuransi. Namun berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) per 31 Juli 2019, AUTP belum pernah mencapai targetnya. Yang terdekat ada pada 2017 dengan luas lahan sebesar 997.960,55 ha atau 99,80 dari target. Jumlah ini ternyata turun lagi pada 2018 ke angka 901.420,56 ha atau 90,14% dari target. Kekhawatiran petani pun cukup beralasan yang salah satunya juga disebabkan ketakutan lamanya klaim dibayarkan oleh penanggung asuransi.
Terlepas dari segala kekurangannya, patut dinantikan bagaimana Kementan terus menggalakkan program ini agar nantinya dapat menjadi pilihan utama petani demi melindungi lahan usaha taninya. Mau tidak mau, dampak perubahan iklim ini sangat nyata adanya dan tidak bisa kita hanya bergantung pada satu pihak saja dalam penanggulangannya.
(bmm)