Ketua Banggar DPR Duga Ada Pembelokan Informasi UU Ciptaker

Rabu, 07 Oktober 2020 - 18:55 WIB
loading...
Ketua Banggar DPR Duga Ada Pembelokan Informasi UU Ciptaker
Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR, MH Said Abdullah. Foto/Istimewa
A A A
JAKARTA - Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR, MH Said Abdullah menyesalkan terjadinya banyak kekeliruan atau miss-informasi di masyarakat pasca pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja (Ciptaker) menjadi undang-undang.

Menurut dia, pembelokan informasi paling masif terjadi pada klaster ketenagakerjaan yang disinyalir motifnya untuk memprovokasi kalangan buruh. Padahal, semangat dari UU Ciptaker untuk memberikan perlindungan secara komprehensif terhadap pekerja.

Menurut Said, penyesatan informasi ini sangat berbahaya bahkan menimbulkan gejolak di tengah tengah masyarakat. Karena itu, dia meminta semua elemen menahan diri agar tidak menjadi corong penyebaran hoaks soal UU Ciptaker ini.

“Stop penyebaran hoaks untuk memprovokasi kalangan buruh. Ini sangat mengganggu produktivitas kita dalam bekerja memulihkan ekonomi sebagai akibat dampak dari pandemi Covid-19,” tutur Said di Jakarta, Rabu (7/10/2020).

Said memastikan, UU Ciptaker memberikan perlindungan yang komprehensif bagi tenaga kerja. Bahkan, untuk pekerja kontrak pun diberikan kompensasi pemutusan hubungan kerja (PHK) sebagai bentuk perlindungan kepada para tenaga kerja. “Saya pastikan, UU Ciptaker membuat para tenaga kerja akan banyak terbantu,” katanya.

Dalam keterangannya, politikus senior PDIP ini menyampaikan 10 poin guna meluruskan miss informasi mengenai UU Ciptaker ini.

Pertama, tidak benar bahwa tidak ada status karyawan tetap, dan perusahaan bisa melakukan PHK kapan pun. Ketentuan dalam Pasal 151 Bab IV UU Ciptaker memberikan mandat yang jelas bahwa pemerintah, pengusaha dan Serikat Pekerja mengupayakan tidak terjadi PHK.

Bila akan melakukan PHK ketentuannya diatur dengan tahap yang jelas dan harus melalui pemberitahuan ke pekerja serta perlu ada perundingan bipartid dan mekanisme penyelesaian hubungan industrial. “Jadi tidak serta merta langsung bisa PHK,” terangnya. ( )

Pasal 153 Bab IV UU Ciptaker juga mengatur pelarangan PHK dikarenakan beberapa hal. Misalnya berhalangan kerja karena sakit berturut turut selama satu tahun, menjalankan ibadah karena diperintahkan agamanya, menikah, hamil, keguguran kandungan, menyusui, memiliki pertalian darah dengan pekerja lainnya di satu perusahaan, menjadi anggota serikat pekerja, mengadukan pengusaha kepada polisi karena yang bersangkutan melakukan tindak kejahatan, berbeda agama, jenis kelamin, suku, aliran politik, kondisi fisik, keadaaan cacat karena sakit atau akibat kecelakaan.(Baca juga : 1.000 Aparat Gabungan Siaga di Bekasi, Hadang Buruh Masuk Jakarta )

Dia menjelaskan, Pasal 154 Bab IV UU Ciptaker mengatur PHK hanya boleh karena penggabungan, peleburan, pengambilalihan, atau pemisahan perusahaan, perusahaan melakukan efisiensi, perusahaan tutup karena kerugian, perusahaan tutup karena force majeur, penundaan kewajiban pembayaran utang, perusahaan pailit, perusahaan merugikan pekerja, pekerja melanggar ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, pekerja ditahan oleh pihak berwajib, pekerja sakit berkepanjangan lebih dari satu tahun.

Kedua, kata Said, tidak benar karyawan alih daya (outsourching) bisa diganti dengan kontrak seumur hidup. "Tidak ada pengaturan seperti ini di dalam UU Ciptaker," katanya.

Pasal 66 UU Ciptaker menjelaskan bahwa hubungan kerja antara perusahaan alih daya dan pekerja yang dipekerjakannya didasarkan pada perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis baik perjanjian kerja waktu tertentu atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu.

Bahkan UU Ciptaker mengatur perjanjian kerja tersebut harus memberikan perlindungan kesejahteraan pekerja serta kemungkinan perselisihan yang timbul harus sesuai dengan ketentuan perundang undangan.

Ketiga, tutur Said, tidak benar hak cuti karyawan dihilangkan. Pasal 79 UU Ciptaker mengatur pengusaha wajib memberikan cuti. Cuti yang dimaksud antara lain cuti tahunan, paling sedikit 12 hari kerja setelah pekerja/buruh yang bersangkutan bekerja selama 12 bulan secara terus menerus.

Keempat, tidak benar bahwa jaminan sosial dan kesejahteraan lainnya hilang. Pada Pasal 82 UU Ciptaker memberikan jaminan sosial tenaga kerja bahkan ditambahkan. Jaminan sosial meliputi kesehatan, kecelakaan kerja, hari tua, pensiun, kematian dan kehilangan pekerjaan.

Kelima, kata Said, tidak benar bahwa libur hari raya hanya di tanggal merah. Tidak ada pengaturan seperti ini didalam UU Ciptaker.

Keenam, tidak benar istirahat Salat Jumat hanya 1 jam. Pasal 79 UU Ciptaker mengatur pengusaha wajib memberikan istirahat. Istirahat antara jam kerja, paling sedikit setengah jam setelah bekerja selama empat jam terus menerus dan waktu istirahat tersebut tidak termasuk jam kerja, dan istirahat mingguan satu hari untuk enam hari kerja dalam satu minggu.

Ketujuh, kata dia, tidak benar uang pesangon dihilangkan. Ketentuan pesangon tertuang di dalam pasal 156 bab IV UU Ciptaker. Ketentuan ini mengatur pengusaha wajib membayar uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima, dan dijelaskan dengan rinci pada pasal ini.

Kedelapan, kata Said, upah buruh dihitung per jam, tidak ada ketentuan seperti ini didalam UU Cipta Kerja. Pasal 88 UU Ciptaker mengatur mekanisme pengupahan. Upah meliputi upah minimum, struktur dan skala upah, upah kerja lembur, upah tidak masuk kerja dan/atau tidak melakukan pekerjaan karena alasan tertentu, dan hal hal yang dapat diperhitungkan dengan upah.

Kesembilan, kata Said, tidak ada penghapusan UMP, UMK dan UMSP dihapus. Pengaturan tentang hal ini diatur dalam pasal 88 C bab IV UU Ciptaker. Pasal ini mengatur Gubernur menetapkan UMP, dan menetapkan UMK dengan syarat tertentu. Pertimbangan penetapan upahnya berdasarkan kondisi ekonomi (ekonomi daerah, inflasi), dan ketenagakerjaan.

Kesepuluh, lanjut dia, tidak benar bahwa pekerja yang meninggal ahli warisnya tidak dapat pesangon. Ketentuan ini diatur dalam pasal 61 UU Ciptaker mengatur dalam hal pekerja/buruh meninggal dunia, ahli waris pekerja/buruh berhak mendapatkan hak-haknya sesuai dengan peraturan perundang-undangan atau hak-hak yang telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

“Semoga penjelasan ini memberikan informasi yang jelas, dengan dasar hukum yang jelas pula, sehingga menjernihkan kesimpangsiuran informasi,” tutur Said.
(dam)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1298 seconds (0.1#10.140)