Pakar Epidemiologi Tak Yakin Protokol Kesehatan Dipatuhi di Pilkada
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pakar Epidemiologi Universitas Indonesia (UI) Pandu Riono mengkritik sejumlah langkah pemerintah dalam menangani pandemi Covid-19 . Pemerintah kerap berganti-ganti strategi dan tim yang menangani, mulai dari Satgas Percepatan Penanganan Covid-19, Komite Pemulihan Ekonomi Nasional, hingga dipegang menteri yang bukan bidangnya.
(Baca juga: 715 Paslon Cakada Ditetapkan KPU Bertarung di Pilkada 2020)
Langkah pemerintah saat ini paling dikritik adalah tetap melanjutkan pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak di 270 daerah. Padahal, sejumlah tokoh nasional, ahli kesehatan, dan ormas, seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) sudah meminta agar pilkada ini ditunda.
(Baca juga: Mendagri Ingatkan Paslon dan Timses Tak Lakukan Kampanye Hitam di Pilkada)
Mereka semua khawatir pilkada menjadi klaster baru penyebaran virus Sars Cov-II. Alasannya, jumlah orang terpapar kian hari kian banyak. Pandu menerangkan pilihan narasi dari pemerintah yang menyatakan pilkada tetap dilanjutkan karena pandemi Covid-19 tidak diketahui kapan berakhirnya itu sulit untuk dibantah.
Menurutnya, beda jika narasinya menyatakan pilkada kemungkinan ditunda karena pandemi Covid-19 belum berhasil dikendalikan. Dia menegaskan ada perbedaan antara terkendali dan berakhir.
"Kalau berakhir itu lama, bisa lima tahun. Kalau terkendali kasusnya menurun. Upaya pencegahan yang kita lakukan berhasil walaupun orang harus pakai masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak," ujarnya dalam diskusi daring “Pilkada Berkualitas Dengan Protokol Kesehatan: Utopia atau Realita?”, Rabu (30/9/2020).
Pandu menjelaskan jika 85 persen masyarakat Indonesia patuh menjalankan protokol kesehatan, pandemi ini akan terkendali. Semua orang bisa beraktivitas tanpa khawatir tertular virus Sars Cov-II.
"Kita bisa melaksanakan pilkada dengan tenang dan berkualitas. Bukan arak-arakan. Kemudian partisipasi tinggi. Bagaimana bisa mengharapkan partisipasi masyarakat kalau khawatir keluar rumah," tuturnya.
Dia memaparkan salah satu cara yang efektif menekan penyebaran virus Sars Cov-II adalah pembatasan sosial berskala besar (PSBB) secara nasional. Pandemi ini tidak mengenal batas administrasi antardaerah dan kepulauan. Virus akan mengikuti gerak penduduk.
"Mobilitas penduduk tidak dibatasi, yang terjadi di semua wilayah terjadi peningkatan. Ketika ada dua liburan panjang masyarakat bergerak wisata. Di Bali itu selesai liburan setelah dibuka untuk domestik itu meningkat terus," terangnya.
Hal seperti dikhawatirkan terjadi dalam pilkada karena pergerakan dan kerumunan orang sering terjadi. Penyelenggara pilkada dibantu aparat keamanan memang sudah menyatakan akan menindak tegas jika ada pelanggaran protokol kesehatan.
Pandu tidak yakin peserta pilkada akan mematuhi secara maksimal protokol kesehatan. "Yang objektif bukan mencari kesehatan. Yang objektif itu mencari kemenangan. Untuk kemenangan itu semua cara. Itulah situasi politik Indonesia," pungkasnya.
(Baca juga: 715 Paslon Cakada Ditetapkan KPU Bertarung di Pilkada 2020)
Langkah pemerintah saat ini paling dikritik adalah tetap melanjutkan pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak di 270 daerah. Padahal, sejumlah tokoh nasional, ahli kesehatan, dan ormas, seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) sudah meminta agar pilkada ini ditunda.
(Baca juga: Mendagri Ingatkan Paslon dan Timses Tak Lakukan Kampanye Hitam di Pilkada)
Mereka semua khawatir pilkada menjadi klaster baru penyebaran virus Sars Cov-II. Alasannya, jumlah orang terpapar kian hari kian banyak. Pandu menerangkan pilihan narasi dari pemerintah yang menyatakan pilkada tetap dilanjutkan karena pandemi Covid-19 tidak diketahui kapan berakhirnya itu sulit untuk dibantah.
Menurutnya, beda jika narasinya menyatakan pilkada kemungkinan ditunda karena pandemi Covid-19 belum berhasil dikendalikan. Dia menegaskan ada perbedaan antara terkendali dan berakhir.
"Kalau berakhir itu lama, bisa lima tahun. Kalau terkendali kasusnya menurun. Upaya pencegahan yang kita lakukan berhasil walaupun orang harus pakai masker, mencuci tangan, dan menjaga jarak," ujarnya dalam diskusi daring “Pilkada Berkualitas Dengan Protokol Kesehatan: Utopia atau Realita?”, Rabu (30/9/2020).
Pandu menjelaskan jika 85 persen masyarakat Indonesia patuh menjalankan protokol kesehatan, pandemi ini akan terkendali. Semua orang bisa beraktivitas tanpa khawatir tertular virus Sars Cov-II.
"Kita bisa melaksanakan pilkada dengan tenang dan berkualitas. Bukan arak-arakan. Kemudian partisipasi tinggi. Bagaimana bisa mengharapkan partisipasi masyarakat kalau khawatir keluar rumah," tuturnya.
Dia memaparkan salah satu cara yang efektif menekan penyebaran virus Sars Cov-II adalah pembatasan sosial berskala besar (PSBB) secara nasional. Pandemi ini tidak mengenal batas administrasi antardaerah dan kepulauan. Virus akan mengikuti gerak penduduk.
"Mobilitas penduduk tidak dibatasi, yang terjadi di semua wilayah terjadi peningkatan. Ketika ada dua liburan panjang masyarakat bergerak wisata. Di Bali itu selesai liburan setelah dibuka untuk domestik itu meningkat terus," terangnya.
Hal seperti dikhawatirkan terjadi dalam pilkada karena pergerakan dan kerumunan orang sering terjadi. Penyelenggara pilkada dibantu aparat keamanan memang sudah menyatakan akan menindak tegas jika ada pelanggaran protokol kesehatan.
Pandu tidak yakin peserta pilkada akan mematuhi secara maksimal protokol kesehatan. "Yang objektif bukan mencari kesehatan. Yang objektif itu mencari kemenangan. Untuk kemenangan itu semua cara. Itulah situasi politik Indonesia," pungkasnya.
(maf)