Komunisme Sudah Jelas Dilarang, Perdebatan Dinilai Menguras Tenaga

Selasa, 29 September 2020 - 19:17 WIB
loading...
Komunisme Sudah Jelas Dilarang, Perdebatan Dinilai Menguras Tenaga
Aksi unjuk rasa mewaspadai hidupnya kembali komunis di Indonesia. Foto/Ilustrasi/SINDOnews
A A A
JAKARTA - Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) Letjen TNI (purn) Agus Widjojo menilai polemik tentang komunisme atau PKI yang menguat setiap tahun menjelang 30 September hanya menguras serta mengorbankan tenaga dan pikiran generasi muda bangsa.

Menurut dia, semestinya generasi muda bangsa bisa memberikan tenaganya untuk efektivitas usaha pembangunan nasional.

"Bahwa wabah kebangkitan komunisme sulit tidak diakui untuk hadir setiap tahun menjelang tanggal 30 September atau 1 Oktober. Karena kemunculan berulang pada saat yang tetap itu, sulit dipungkiri bahwa isu tersebut sengaja dimunculkan untuk kepentingan politik," kata Agus dalam webinar tentang Penggalian Fosil Komunisme untuk Kepentingan Politik? yang digelar Political and Public Policy Studies (P3S) pada Selasa (29/9/2020).

Menurut Agus, sejarah tentang PKI atau komunisme tak bisa dihilangkan karena sejarah tersebut erat kaitan dengan pikiran orang yang sulit ditebak. Di sisi lain, sejarah itu juga berangkat dari pengalaman perorangan yang akhirnya membuat memoar atau tulisan di zaman tersebut. ( Baca juga: Hingga Hari Ini, Sebanyak 10.601 Orang Meninggal Akibat Covid-19 )

Di samping itu, lanjut dia, ada yang merasa anti-PKI kemudian merasakan adanya kebangkitan komunisme.

Terlepas dari itu, Agus menekankan sebenarnya konstitusi negara sudah sangat tegas dan jelas mengatur tentang larangan PKI. Tap MPRS Nomor 25 Tahun 1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia dan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1999 tentang Kejahatan Terhadap Keamanan Negara sudah cukup kuat untuk mengebiri perseorangan atau paham komunis diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari.

Karena itu, memperdebatkan tentang PKI merupakan hal yang sia-sia dan hanya membawa bangsa ini jalan di tempat.

"Polemik yang menguras waktu tenaga dan pikira dari aset bangsa yang sebenarnya diperlukan meningkatkan efektivitas usaha pembangunan nasional. Terasa sekali apabila sebuah postingan di sebuah media sosial ada provokatif direspons secara defensif oleh pihak yang berlawanan, maka proses balas membalas ini tidak ada habisnya. Dan terkadang juga argumentasi dari proses balas membalas postingan itu sangat tidak logis dan hanya bersifat terkadang juga sindiran kepada pengirimnya dan keluar dari substansi," tuturnya.( Baca juga: 4.002 Kasus Baru Covid-19, Ini Sebarannya di 34 Provinsi )

Lebih lanjut kata Agus, paham komunis merupakan antitesis dari kapitalisme. Komunisme bertujuan untuk mengatasi kemiskinan, pengangguran dan pengungsian, sebagai sistem dari hasil masa lalu. Karena itu, Agus menyarankan untuk menghadapi kebangkitan komunisme lebih baik menghilangkan segala isu yang berkaitan tentang kemiskinan dan pengangguran.

"Jadi bisa dikatakan di samping kita kewaspadaan yang langsung kita tujukan kepada ideologi komunisme, yang paling penting dan lebih penting adalah bagaimana pembangunan kita itu bisa memberikan untuk mengatasi kemiskinan pengangguran pengungsian, dan lebih penting lagi adalah di antara rakyat," tutur Agus.

Agus menganggap sejarah bangsa tentang PKI tidak bisa disimpulkan sebagai bagian untuk memposisikan mana pihak yang salah dan mana yang benar. Agus juga mengingatkan jawaban tersebut juga tidak perlu proses akademik. Agus juga menilai mewarisi polemik itu hanya akan merugikan generasi muda.

"Polemik semacam ini yang tidak mengandung pengertian akademik intelektual, tetapi lebih bersifat politis untuk menghancurkan lawan," tandas dia.

Selain Agus, hadir sebagai narasumber yakni Direktur Eksekutif Amnesty Usman Hamid, Direktur Eksekutif P3S Jerry Massie, Direktur Eksekutif LKIP Eduard Lemanto, Peneliti Senior CSIS J Kristiadi, dan moderator Frederik Bios.
(dam)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.3148 seconds (0.1#10.140)