KSPI Soroti Hilangnya UMSK, Karyawan Kontrak dan Outsourcing di RUU Ciptaker

Selasa, 29 September 2020 - 13:31 WIB
loading...
KSPI Soroti Hilangnya UMSK, Karyawan Kontrak dan Outsourcing di RUU Ciptaker
KSPI menyoroti beberapa hal yang ditolak dari hasil pembahasan klaster ketenagakerjaan antara Panja Baleg DPR dengan pemerintah di RUU Ciptaker. Foto/Ilustrasi/SINDOnews
A A A
JAKARTA - Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menyoroti beberapa hal yang ditolak dari hasil pembahasan klaster ketenagakerjaan antara Panja Baleg DPR dengan pemerintah dalam RUU Cipta Kerja (Ciptaker) .

Di antaranya adalah hilangnya Upah Minimum Sektoral Kabupaten (UMSK), karyawan kontrak, dan outsourcing. (Baca juga: Klaster Tenaga Kerja Tuntas, Panja DPR Yakin RUU Cipta Kerja Rampung 8 Oktober)

Presiden KSPI Said Iqbal mengatakan, ketika UMSK hilang, berarti upah buruh di sektor industri akan turun 30 persen dengan berlakunya omnibus law RUU Cipta Kerja.

Hal ini dikarenakan UMSK adalah upah minimum berdasarkan sektor industri, yang nilainya di atas upah minimum (UMK). (Baca juga: Ini Syarat-syarat Sembuh dan Selesai Isolasi Covid-19)

"Jumlah buruh penerima UMSK saat ini adalah puluhan juta orang. Sehingga tidak mungkin dalam satu pekerjaan dengan jumlah jam kerja yang sama akan ada buruh menerima UMK dan yang lainnya UMSK, karena akan terjadi diskriminasi," kata Said Iqbal dalam keterangan tertulisnya kepada SINDOnews, Selasa (29/9/2020).

"Tidak adil jika sektor otomotif seperti Toyota, Astra, dan lain-lain atau sektor pertambangan seperti Freeport, nikel di Morowali dan lain-lain, nilai UMK-nya sama dengan perusahan baju atau perusahaan kerupuk. Karena itulah di seluruh dunia ada Upah Minimum Sektoral yang berlaku sesuai kontribusi nilai tambah tiap-tiap industri terhadap PDP negara," lanjutnya.

Karena itu, UMSK harus tetap ada. Namun sebagai jalan tengahnya, penetapan nilai kenaikan dan jenis industri yang mendapatkan UMSK dilakukan di tingkat nasional untuk beberapa daerah dan jenis industri tertentu saja. Dengan begitu, UMSK tidak lagi diputuskan di tingkat daerah dan tidak semua industri mendapatkan UMSK agar tercipta keadilan (fairness).

Said menjelaskan perundingan nilai UMSK dilakukan oleh asosiasi jenis industri dengan serikat pekerja sektoral industri di tingkat nasional. Keputusan penetapan tersebut hanya berlaku di beberapa daerah saja dan jenis sektor industri tertentu saja sesuai kemampuan sektor industri tersebut.

"Jadi tidak harus sama rata sama rasa, karena faktanya setiap industri berbeda kemampuannya. Karena itu masih dibutuhkan UMSK," ujar dia.

Hal lain yang dikritisi KSPI adalah berkaitan dengan karyawan kontrak dan outsourcing seumur hidup, tanpa batasan waktu dan jenis pekerjaan. Menurut Said, sistem tersebut adalah masalah serius bagi kaum buruh.

Sistem itu memungkinkan tidak ada pengangkatan karyawan tetap karena pengusaha akan cenderung mempekerjakan buruh kontrak dan outsourcing. Ketika tidak ada karyawan tetap dan banyaknya buruh kontrak yang mudah dipecat, dengan sendirinya pesangon dan jaminan sosial seperti pensiun, hari tua, serta jaminan kesehatan akan berpotensi hilang alias tidak didapatkan buruh.

Selain itu, Said Iqbal juga mempertanyakan Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) untuk karyawan kontrak dan outsourcing. Sebab, tidak mungkin buruh membayar kompensasi kehilangan pekerjaan untuk dirinya sendiri. Apalagi, buruh outsourcing. Ia mempertanyakan siapa yang akan JKP tersebut karena mustahil agen outsourcing mau bayar JKP.

"Aneh kalau buruh harus membayar kompensasi dengan uangnya sendiri. Itu pun belum jelas, bagaimana kalau pengusaha hanya mengontrak buruh di bawah satu tahun. Berarti buruh kontrak tidak akan dapat JKP, karena dalam omnibus law di atur kompensasi buruh kontrak yang diberikan setelah bekerja selama 1 tahun," celetuknya.

Said berpandangan, untuk saat ini tidak mungkin dan tidak masuk akal kalau JKP untuk karyawan kontrak dan outsourcing dibayar negara. Anggaran negara (APBN) bisa jebol karena jumlah karyawan kontrak dan outsourcing sekitar 70-80 persen dari total jumlah buruh formal yang bekerja sekitar 56 juta orang.

Sementara JKP yang ditanggung pemerintah, menurut kesepakatan Panja adalah JKP 9 bulan untuk pesangon karyawan tetap. Bukan JKP untuk karyawan kontrak atau outsourcing melalui agen. Said menilai, bisa saja pemerintah menyetujui ini karena tahu kalau ke depan sudah tidak ada lagi karyawan tetap.
(maf)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1059 seconds (0.1#10.140)