Keterlibatan BIN Dalam Penanganan Covid-19 Sesuai UU Intelijen Negara
loading...
A
A
A
”BIN menerapkan ambang batas standar hasil PCR tes yang lebih tinggi dibandingkan institusi / lembaga lain yang tercermin dari nilai CT QPCR (ambang batas bawah 35, namun untuk mencegah OTG lolos screening maka BIN menaikkan menjadi 40) termasuk melakukan uji validitas melalui triangulasi 3 jenis gen yaitu RNP/IC, N dan ORF1AB,” paparnya.
Terkait dengan fenomena hasil test swab positif menjadi negatif, kata Nuning, Dewan Analis Strategis Medical Intelligence BIN yang termasuk jaringan intelijen di WHO menjelaskan bahwa itu bukan hal baru dan dapat disebabkan oleh RNA/protein yang tersisa (jasad renik virus) sudah sangat sedikit bahkan mendekati hilang pada treshold sehingga tidak terdeteksi lagi. Apalagi subjek tanpa gejala klinis dan di test pada hari yang berbeda. OTG/asimptomatik yang mendekati sembuh berpotensi memiliki fenomena tersebut. ”Terjadi bias pre-analitik yaitu pengambilan sampel dilakukan oleh dua orang berbeda, dengan kualitas pelatihan berbeda dan SOP berbeda pada laboratorium yang berbeda, sehingga sampel swab sel yang berisi virus Covid tidak terambil atau terkontaminasi,” ucapnya.
Selain itu, sensitivitas reagen dapat berbeda terutama untuk pasien yang nilai CQ/CT nya sudah mendekati 40. dalam kaitan ini, BIN menggunakan reagen perkin elmer (USA), a-star fortitude (Singapore), Wuhan Easy Diag (China). Reagen ini lebih tinggi standar dan sensitivitasnya terhadap strain Covid-19 dibandingkan merek lain seperti genolution (Korea) dan liferiver (China) yang digunakan beberapa rumah sakit.
”Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa terdapat beberapa faktor yang dapat memengaruhi perbedaan uji swab antara lain adalah kondisi peralatan, waktu pengujian, kondisi pasien, dan kualitas test kit. BIN menjamin kondisi peralatan, metode, dan test kit yang digunakan adalah gold standard dalam pengujian sampel Covid-19. Kasus false positive dan false negatif sendiri telah banyak dilaporkan di berbagai negara seperti Amerika Serikat, China, dan Swedia,” kata Nuning.
Di sisi lain, kata Nuning, dalam menggelar kegiatan test massal di berbagai titik, BIN berkoordinasi dengan pemerintah daerah setempat termasuk didalamnya dinas kesehatan serta gugus tugas daerah untuk membantu menentukan titik-titik lokasi yang menjadi klaster penyebaran Covid-19. ”Sejak Satgas Intelijen Medis beroperasi pada April 2020, BIN selalu melaporkan hasil tes swab yang selama ini dilakukan kepada Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan Gugus Tugas Penanganan Covid-19,” tegasnya.
Terkait dengan fenomena hasil test swab positif menjadi negatif, kata Nuning, Dewan Analis Strategis Medical Intelligence BIN yang termasuk jaringan intelijen di WHO menjelaskan bahwa itu bukan hal baru dan dapat disebabkan oleh RNA/protein yang tersisa (jasad renik virus) sudah sangat sedikit bahkan mendekati hilang pada treshold sehingga tidak terdeteksi lagi. Apalagi subjek tanpa gejala klinis dan di test pada hari yang berbeda. OTG/asimptomatik yang mendekati sembuh berpotensi memiliki fenomena tersebut. ”Terjadi bias pre-analitik yaitu pengambilan sampel dilakukan oleh dua orang berbeda, dengan kualitas pelatihan berbeda dan SOP berbeda pada laboratorium yang berbeda, sehingga sampel swab sel yang berisi virus Covid tidak terambil atau terkontaminasi,” ucapnya.
Selain itu, sensitivitas reagen dapat berbeda terutama untuk pasien yang nilai CQ/CT nya sudah mendekati 40. dalam kaitan ini, BIN menggunakan reagen perkin elmer (USA), a-star fortitude (Singapore), Wuhan Easy Diag (China). Reagen ini lebih tinggi standar dan sensitivitasnya terhadap strain Covid-19 dibandingkan merek lain seperti genolution (Korea) dan liferiver (China) yang digunakan beberapa rumah sakit.
”Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa terdapat beberapa faktor yang dapat memengaruhi perbedaan uji swab antara lain adalah kondisi peralatan, waktu pengujian, kondisi pasien, dan kualitas test kit. BIN menjamin kondisi peralatan, metode, dan test kit yang digunakan adalah gold standard dalam pengujian sampel Covid-19. Kasus false positive dan false negatif sendiri telah banyak dilaporkan di berbagai negara seperti Amerika Serikat, China, dan Swedia,” kata Nuning.
Di sisi lain, kata Nuning, dalam menggelar kegiatan test massal di berbagai titik, BIN berkoordinasi dengan pemerintah daerah setempat termasuk didalamnya dinas kesehatan serta gugus tugas daerah untuk membantu menentukan titik-titik lokasi yang menjadi klaster penyebaran Covid-19. ”Sejak Satgas Intelijen Medis beroperasi pada April 2020, BIN selalu melaporkan hasil tes swab yang selama ini dilakukan kepada Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan Gugus Tugas Penanganan Covid-19,” tegasnya.
(cip)