Jaksa Perluas Wewenang Penyidikan, Pakar Hukum: Balik Lagi ke Zaman Kolonial Belanda
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pakar Hukum Pidana Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Mudzakir mengatakan apabila jaksa diberi wewenang melakukan penyelidikan dan penyidikan dalam revisi Undang-undang ( UU) Kejaksaan Nomor 16 Tahun 2004. Maka, hal itu akan balik lagi ke zaman kolonial Belanda.
Dalam Pasal 1 ayat (1) RUU Kejaksaan disebutkan bahwa jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh UU untuk bertindak dalam fungsi penyelidikan dan penyidikan, penuntutan, pelaksana putusan pengadilan, pemberian jasa hukum, penyelesaian sengketa di luar pengadilan, dan pengacara negara serta wewenang lain berdasarkan undang-undang. (Baca juga: Soal UU Kejaksaan, Pakar Hukum Tegaskan Jaksa Tugasnya Penuntut Umum Tunggal)
“Kalau sekarang jaksa diberi kewenangan penyelidikan dan penyidikan, itu sebenarnya kita kembali pada HIR (Herzien Inlandsch Reglement), KUHAP zaman Belanda dulu. Jadi balik lagi ke sono,” ujar Mudzakir kepada wartawan pada Minggu (27/9/2020).
Menurut dia, dulu pada prinsipnya jaksa adalah sebagai penuntut sekaligus berwenang melakukan penyidikan. Sedangkan, kepolisian adalah sebagai pembantu jaksa. Tentu, hal itu tidak bagus apabila balik lagi pada zaman HIR dimana jaksa berfungsi sebagai penyidik dan polisi sebagai pembantu jaksa.
“Karena kepolisian sekarang sudah mulai sedikit demi sedikit, tahap demi tahap sudah proporsional. Cuma zaman Jokowi ini saja menjadi masalah, karena dicampur-campur politik dan cara penegakan hukum diskriminatif. Dimana hanya mengabdi pada penguasa, bukan penegak hukum yang independen. Maka, polisi harus berubah dan tidak boleh main-main politik penguasa,” jelas dia. (Baca juga: Akademisi Unhas Nilai Sikap DPR Mengharmonisasi RUU Kejaksaan Hal yang Baik)
Kemudian, Mudzakir menceritakan kembali bagaimana kepolisian bisa memiliki kewenangan penyelidikan dan penyidikan. Saat itu, Kapolri Jenderal Awaloeddin Djamin (Awaluddin Djamin) dipanggil oleh Soeharto dan ditanya tentang kesiapan polisi untuk melakukan penyidikan.
“Jawaban Pak Awaluddin saat itu, siap bapak. Karena dia (Kapolri Awaluddin Djamin) siap, akhirnya Pak Harto langsung setuju. Sudah, sekarang jaksa sebagai penuntut. Sedangkan, polisi sebagai penyelidik dan penyidik. KUHAP itu ACC-nya Pak Harto, masa transisinya 2 tahun pada saat itu,” terangnya.
Di sisi lain, Mudzakir berpendapat bahwa jaksa memang perlu juga ikut turut ke lapangan mengawasi kerja kepolisian yang melakukan proses penyelidikan dan penyidikan suatu perkara pidana umum. Misalnya, jaksa tidak lagi berada di belakang meja tapi harus sama-sama turun ke lapangan.
Kalau jaksa di belakang meja, kata dia, tentu tidak mengerti suasana kebatinan suatu perkara sehingga bagaimana bisa menuntut adil karena tidak mengerti suasana kebatinan. Sementara, lanjut dia, polisi mengerti suasana kebatinan karena turun ke lapangan misalnya ada pembunuhan dan lainnya. (Baca juga: Komjak Soroti Kewenangan Penyidikan dan Penyelidikan di RUU Kejaksaan)
”Jaksa tidak lagi di belakang meja, tapi harus di depan meja dan dia harus mengerti jiwa suatu perkara. Menjiwai suatu perkara, ya harus melihat perkara pada saat kejadian, bukan saat di berkas,” tandasnya.
Dalam Pasal 1 ayat (1) RUU Kejaksaan disebutkan bahwa jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh UU untuk bertindak dalam fungsi penyelidikan dan penyidikan, penuntutan, pelaksana putusan pengadilan, pemberian jasa hukum, penyelesaian sengketa di luar pengadilan, dan pengacara negara serta wewenang lain berdasarkan undang-undang. (Baca juga: Soal UU Kejaksaan, Pakar Hukum Tegaskan Jaksa Tugasnya Penuntut Umum Tunggal)
“Kalau sekarang jaksa diberi kewenangan penyelidikan dan penyidikan, itu sebenarnya kita kembali pada HIR (Herzien Inlandsch Reglement), KUHAP zaman Belanda dulu. Jadi balik lagi ke sono,” ujar Mudzakir kepada wartawan pada Minggu (27/9/2020).
Menurut dia, dulu pada prinsipnya jaksa adalah sebagai penuntut sekaligus berwenang melakukan penyidikan. Sedangkan, kepolisian adalah sebagai pembantu jaksa. Tentu, hal itu tidak bagus apabila balik lagi pada zaman HIR dimana jaksa berfungsi sebagai penyidik dan polisi sebagai pembantu jaksa.
“Karena kepolisian sekarang sudah mulai sedikit demi sedikit, tahap demi tahap sudah proporsional. Cuma zaman Jokowi ini saja menjadi masalah, karena dicampur-campur politik dan cara penegakan hukum diskriminatif. Dimana hanya mengabdi pada penguasa, bukan penegak hukum yang independen. Maka, polisi harus berubah dan tidak boleh main-main politik penguasa,” jelas dia. (Baca juga: Akademisi Unhas Nilai Sikap DPR Mengharmonisasi RUU Kejaksaan Hal yang Baik)
Kemudian, Mudzakir menceritakan kembali bagaimana kepolisian bisa memiliki kewenangan penyelidikan dan penyidikan. Saat itu, Kapolri Jenderal Awaloeddin Djamin (Awaluddin Djamin) dipanggil oleh Soeharto dan ditanya tentang kesiapan polisi untuk melakukan penyidikan.
“Jawaban Pak Awaluddin saat itu, siap bapak. Karena dia (Kapolri Awaluddin Djamin) siap, akhirnya Pak Harto langsung setuju. Sudah, sekarang jaksa sebagai penuntut. Sedangkan, polisi sebagai penyelidik dan penyidik. KUHAP itu ACC-nya Pak Harto, masa transisinya 2 tahun pada saat itu,” terangnya.
Di sisi lain, Mudzakir berpendapat bahwa jaksa memang perlu juga ikut turut ke lapangan mengawasi kerja kepolisian yang melakukan proses penyelidikan dan penyidikan suatu perkara pidana umum. Misalnya, jaksa tidak lagi berada di belakang meja tapi harus sama-sama turun ke lapangan.
Kalau jaksa di belakang meja, kata dia, tentu tidak mengerti suasana kebatinan suatu perkara sehingga bagaimana bisa menuntut adil karena tidak mengerti suasana kebatinan. Sementara, lanjut dia, polisi mengerti suasana kebatinan karena turun ke lapangan misalnya ada pembunuhan dan lainnya. (Baca juga: Komjak Soroti Kewenangan Penyidikan dan Penyelidikan di RUU Kejaksaan)
”Jaksa tidak lagi di belakang meja, tapi harus di depan meja dan dia harus mengerti jiwa suatu perkara. Menjiwai suatu perkara, ya harus melihat perkara pada saat kejadian, bukan saat di berkas,” tandasnya.
(kri)