Mencegah Depresi pada Ekonomi Kita

Rabu, 23 September 2020 - 06:05 WIB
loading...
Mencegah Depresi pada Ekonomi Kita
Nurkhamid Alfi
A A A
Nurkhamid Alfi
Alumnus Teknik Mesin UMS Solo dan Profesional, tinggal di Grand Wisata Bekasi

BANYAK kalangan yang memprediksi bahwa Indonesia termasuk negara yang akan masuk ke ambang resesi, karena besar kemungkinan di kuartal ketiga tahun 2020 pertumbuhan ekonomi yang dicapainya akan negatif. Kita menunggu laporan keuangan kuartal ketiga 2020 di bulan September ini. Jika ternyata negatif, maka Indonesia sudah pasti mengalami resesi ekonomi karena di kuartal kedua 2020 pertumbuhan ekonomi telah terkoreksi hingga 5,32%. Sebuah Negara dikatakan resesi jika pertumbuhan ekonominya dalam dua kali kuartal secara berturut-turut mengalami koreksi (negatif).

Sebenarnya tidak perlu menunggu laporan dari BPS (Badan Pusat Statistik) untuk mengatakan bahwa Indonesia masuk pada situasi resesi ekonomi. Cukup dengan berita-berita harian atas daya beli masyarakat yang menurun drastis. Jumlah pengangguran dan korban PHK diperkirakan mencapai 20 juta tahun ini. Penduduk miskin bertambah tajam. Yusuf Rendy, Ekonom CORE, memperkirakan jumlah penduduk miskin bisa mencapai 37 juta tahun ini. Sementara itu, perusahaan-perusahaan banyak yang menjelma menjadi zombie companies, yakni perusahaan yang tetap hidup untuk membayar gaji pokok karyawan saja, tetapi tidak menguntungkan.

Gelombang wabah virus korona (Covid-19) yang telah menjadi pandemi sejak awal tahun 2020, tidak saja mengancam kesehatan tetapi juga perekonomian dunia. Pada saat ini sebanyak 42 negara di lintas benua, telah mengalami resesi. Indonesia akan menyusul menjadi negara ke-43, setelah Venezuela. Diyakini, akan banyak lagi n
egara yang menyusul karena pergerakan roda ekonomi lambat akibat banyaknya aturan dan kebijakan untuk menekan penyebaran virus.

Susah diprediksi, sampai kapan vaksin siap untuk dipakai sehingga virus Covid-19 ini berakhir. Banyak kabar beredar yang mengatakan, awal tahun 2021 proses vaksinasi sudah mulai dijalankan, setelah beberapa negara berhasil menemukannya. Tetapi prediksi dari Antonio Guterres Sekretaris Jenderal PBB (Perserikatan Bangsa Bangsa) tidak sesederhana itu. Menurutnya, penemuan vaksin tidak bisa dengan serta merta memberhentikan krisis pandemi dalam waktu singkat, karena membutuhkan waktu yang lama untuk sampai menjangkau miliaran penduduk dunia. Disamping itu, kekuatan vaksin yang telah disuntikkan ke dalam tubuh manusia tidak bersifat tetap. Namun ada jangka waktu tertentu yang kemudian membutuhkan vaksinasi lagi.

Dari Resesi ke Depresi Ekonomi
Kerusakan ekonomi yang akan terjadi akibat Covid-19 ini diperkirakan jauh lebih hebat dari yang pernah terjadi. Baik kerusakan akibat krisis kredit tahun 1772 yang terjadi di London, Inggris, dimana dipicu oleh jatuhnya bisnis properti. Atau krisis minyak OPEC tahun 1973 karena negara-negara produsen minyak tersebut menghentikan ekspor minyak ke Amerika Serikat dan sekutunya secara tiba-tiba berkenaan dengan protes pengiriman senjata ke Israel selama perang Israel vs Arab. Sehingga menyebabkan krisis di Amerika dan negara sekutunya. Bahkan krisis akibat Great Depression pada tahun 1929 sampai 1939. Dan, krisis moneter di Asia Tenggara tahun 1998.

Krisis kredit tahun 1772 yang terjadi di London, Inggris, bermula dari kredit macet atas bisnis properti yang bermasalah. Perusahaan properti raksasa: Neal, James, Fordyce & Down kabur ke Perancis karena tidak mampu membayar hutang. Informasi ini memicu para kreditor beramai-ramai melakukan penarikan dana tunai di bank-bank Inggris. Krisis menyebar dengan cepat ke negara-negara tetangga lainnya, sehingga akhirnya seluruh dataran Eropa terjadi krisis ekonomi.

Sedangkan Great Depression merupakan bencana keuangan dan ekonomi terburuk pada abad ke-20. Bencana ini bermula dari kejatuhan Wall Street pada tahun 1929 dan kemudian diperburuk oleh keputusan kebijakan yang diambil Pemerintah AS. Masa berlangsung krisis hampir 10 tahun dan mengakibatkan hilangnya pendapatan secara besar-besaran, tingkat pengangguran menyentuh rekor tertinggi, dan produksi terhenti di berbagai kawasan industri. Sehingga tingkat pengangguran di Amerika Serikat mencapai hampir 25% pada puncak krisis di tahun 1933.

Dari gambaran di atas, krisis-krisis sebelumnya hanya terjadi di sebagian belahan bumi. Dan kejadiannya tidak dalam waktu yang sama. Di masa Covid-19 ini, pasar keuangan dan investasi terimbas menyeluruh secara bersama-sama, baik di Asia, Afrika, Australia, Eropa maupun Amerika. Sebagian besar dunia mengisolasi diri. Melakukan lockdown, baik sebagian atau menyeluruh. Hal ini mengakibatkan mobilitas orang, jasa dan barang terganggu. Pergerakan orang di kontrol, sehingga menyebabkan produksi, konsumsi, perdagangan, pariwisata, maupun investasi, tidak berjalan normal. Akhirnya ekonomi global terdisrupsi secara frontal.

Itulah sebabnya, Dana Moneter Internasional (IMF) memperingatkan bahwa Dunia harus bersiap untuk kejatuhan ekonomi terburuk. Gita Gopinath, ekonom IMF mengatakan “karantina besar” yang sedang terjadi sekarang ini memperlihatkan “kenyataan gelap” bagi para pengambil keputusan yang menghadapi ketidakpastian yang parah terkait durasi dan intensitas guncangan ekonomi ini. Krisis ini bisa menghabiskan dana USD9 triliun GDP selama dua tahun.

Dari prediksi Gita Gopinath tersebut maka keadaan resesi akan berubah menjadi depresi ekonomi, yakni, sebuah kondisi dimana resesi berlangsung melebihi 18 bulan yang menyebabkan tingkat pengangguran melonjak dengan penurunan PDB (produk domestik bruto) yang tajam sehingga berdampak pada perdagangan global. Sebagai konsekuensinya adalah jumlah kemiskinan yang melonjak. Organisasi buruh internasional (ILO) memperkirakan kemiskinan global tahun ini kembali menyentuh Sembilan digit.

Bagaimana dengan Indonesia?
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memproyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal ketiga 2020 berada di kisaran minus 1% - 2%. Pada kuartal kedua 2020 yang sudah dipastikan minus 5.32%, tetapi ada sektor-sektor yang masih mengalami positif yaitu sektor pertanian, informasi dan komunikasi, serta pengadaan air.

Pada tahun 2021 pemerintah memprediksi ekonomi akan kembali tumbuh pada kisaran 4,5% - 5,5%. Namun hal ini sangat tergantung pada pengendalian pandemi Covid-19 dengan proses vaksinasi untuk seluruh penduduk. Jadi, prediksi ini masih tidak pasti karena menggantungkan pada variabel lain yakni, ketersediaan vaksin. Dalam situasi atas ketidakpastian ini, penting bagi pemerintah untuk menjaga agar resesi tidak menjelma menjadi depresi ekonomi. Maka beberapa langkah yang bisa diusulkan adalah: pertama, penanggulangan wabah Covid-19 perlu diutamakan terlebih dahulu untuk mencegah supaya penyebarannya bisa diminimalkan. Jadi akar permasalahannya adalah di pengendalian pandemi Covid-19. Indonesia akan terancam depresi jika persoalan pandemi Covid-19 tidak segera selesai. Sambil menunggu datangnya vaksin, stimulus fiskal akan lebih baik jika diarahkan untuk menangani kesehatan, sehingga tidak terjadi lonjakan kasus-kasus baru yang membuat pemerintah tidak sanggup menanganinya, baik dari sisi keuangan, jumlah peralatan maupun tenaga kesehatan.

Kedua, prediksi pemerintah pada tahun 2021 bahwa akan terjadi pertumbuhan positif harus benar terealisasi. Oleh sebab itu, piranti fiskal maupun moneter harus digunakan untuk melakukan economic survival, sampai pada proses vaksinasi yang dimulai pada awal tahun 2021. Kegiatan ekonomi secara terbatas dengan mengikuti protokol kesehatan secara ketat perlu tetap dilakukan. Oleh sebab itu, pemerintah dirasa penting menjalin komunikasi dan kerjasama dengan para asosiasi usaha, kelompok profesi, serikat buruh, himpunan nelayan dan petani dalam menghadapi potensi turunnya ekonomi. Sektor-sektor ekonomi yang masih positif seperti pertanian (produksi pangan), energi, serta informasi dan telekomunikasi dijaga sedemikian rupa sehingga tetap berjalan normal. Ada tiga usulan dari Ikatan sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) dalam mendukung sektor-sektor usaha sehingga kebutuhan hidup tetap terpenuhi di tengah pandemi, yakni: (i) mengusahakan proses digitalisasi khususnya bagi sektor UMKM, sehingga proses distribusi dan konsumsi bisa dilaksanakan dengan persentuhan terbatas; (ii) membangun ekonomi dari daerah yang tidak terpapar penyebaran Covid-19; (iii) Membangun ekonomi kreatif.

Ketiga, dana pemulihan ekonomi nasional yang sudah direncanakan untuk demand side agar diperbanyak lagi dan disegerakan realisasinya, baik untuk sektor informal maupun UMKM sehingga perekonomian level menengah ke bawah tetap berjalan. Hampir 60% PDB dikontribusikan dari UMKM, sehingga mampu menciptakan efek domino dari hulu ke hilir.

Kita semua berusaha mencegah agar resesi tidak berubah menjadi depresi. Dampak yang ditimbulkannya akan sangat besar. Untuk itu, penanganan pandemi Covid-19 harus paralel dengan dampak ekonomi yang ditimbulkannya.
(ras)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.0461 seconds (0.1#10.140)