M Qodari Nilai Pelacakan Kontak Erat dari Pasien Covid-19 Kedodoran
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah pusat dan daerah (pemda) sudah mengerahkan segala daya dan upaya untuk mengendalikan pandemi Covid-19. Namun, belum juga membuahkan hasil. Kasus positif virus Corona (Covid-19) di Indonesia saat ini sudah mencapai 244.676 orang.
Pengamat politik Muhammad Qodari mengatakan pejabat-pejabat publik saat ini lebih banyak menyatakan meningkatkan testing. Namun, mereka lupa untuk melakukan pelacakan (tracing) yang masif terhadap orang-orang yang diduga orang tanpa gejala (OTG) dan kontak erat dengan pasien Covid-19. “Jangan menunggu ada gejala. Sekarang 86% OTG. Contoh Arief Budiman dan Pramono Ubaid (KPU). Kasusnya (Arief) karena akan ketemu presiden, dites dan positif. Saya mengatakan aspek tracing ini kedodoran,” ucapnya dalam diskusi dari dengan tema “Strategi Menurunkan Covid-19, Menaikkan Ekonomi” Minggu (20/9/2020). (Baca juga: Menag Fachrul Razi Positif Covid-19)
Dia menyebut jumlah pelacakan Indonesia masih di bawah standar World Health Organization (WHO). Di Indonesia, pelacakan itu hanya sampai 4 orang. Padahal standar WHO itu satu orang positif, maka harus ada 30 orang kontak erat yang ditemukan dan dilakukan tes Covid-19. “Tracing-nya 1,9 atau 6% (standar) WHO. Tracing hendaknya satu paket dengan karantina. Yang kontak erat harus dimasukan tempat karantina oleh pemerintah agar tidak berkeliaran dan menularkan Covid-19 ke orang lain tanpa mereka sadari,” ujarnya. (Baca juga:Temukan Kasus Covid-19, Pemerintah Harus Cepat Melakukan Pelacakan dan PCR)
Dia mengutip pernyataan dokter Tompi yang menyatakan usaha menurunkan kasus Covid-19 harus dengan tindakan preventif bukan kuratif. Jika kuratif, akan kalah jumlah dengan fasilitas dan tenaga kesehatan yang terbatas. Qodari menyebutkan pemerintah harus terus menggalakkan testing, tracing, dan treatment (3T) dan memakai masker, mencuci tangan, serta menjaga jarak (3M). Dia mengusulkan agar 3M dimodifikasi dengan bagikan masker, kampanye, dan sanksi (BKS). Saat ini penanganan Covid-19 ini berkejaran dengan “lampu kuning” fasilitas kesehatan.
Qodari secara terbuka mengungkapkan fasilitas kesehatan di Jabodetabek sudah mepet. “Saya bisa mengatakan ini karena ada keluarga terinfeksi Covid-19. Kemudian, kita telpon ke beberapa rumah sakit penuh,” katanya. Fahmi Bahtiar
Pengamat politik Muhammad Qodari mengatakan pejabat-pejabat publik saat ini lebih banyak menyatakan meningkatkan testing. Namun, mereka lupa untuk melakukan pelacakan (tracing) yang masif terhadap orang-orang yang diduga orang tanpa gejala (OTG) dan kontak erat dengan pasien Covid-19. “Jangan menunggu ada gejala. Sekarang 86% OTG. Contoh Arief Budiman dan Pramono Ubaid (KPU). Kasusnya (Arief) karena akan ketemu presiden, dites dan positif. Saya mengatakan aspek tracing ini kedodoran,” ucapnya dalam diskusi dari dengan tema “Strategi Menurunkan Covid-19, Menaikkan Ekonomi” Minggu (20/9/2020). (Baca juga: Menag Fachrul Razi Positif Covid-19)
Dia menyebut jumlah pelacakan Indonesia masih di bawah standar World Health Organization (WHO). Di Indonesia, pelacakan itu hanya sampai 4 orang. Padahal standar WHO itu satu orang positif, maka harus ada 30 orang kontak erat yang ditemukan dan dilakukan tes Covid-19. “Tracing-nya 1,9 atau 6% (standar) WHO. Tracing hendaknya satu paket dengan karantina. Yang kontak erat harus dimasukan tempat karantina oleh pemerintah agar tidak berkeliaran dan menularkan Covid-19 ke orang lain tanpa mereka sadari,” ujarnya. (Baca juga:Temukan Kasus Covid-19, Pemerintah Harus Cepat Melakukan Pelacakan dan PCR)
Dia mengutip pernyataan dokter Tompi yang menyatakan usaha menurunkan kasus Covid-19 harus dengan tindakan preventif bukan kuratif. Jika kuratif, akan kalah jumlah dengan fasilitas dan tenaga kesehatan yang terbatas. Qodari menyebutkan pemerintah harus terus menggalakkan testing, tracing, dan treatment (3T) dan memakai masker, mencuci tangan, serta menjaga jarak (3M). Dia mengusulkan agar 3M dimodifikasi dengan bagikan masker, kampanye, dan sanksi (BKS). Saat ini penanganan Covid-19 ini berkejaran dengan “lampu kuning” fasilitas kesehatan.
Qodari secara terbuka mengungkapkan fasilitas kesehatan di Jabodetabek sudah mepet. “Saya bisa mengatakan ini karena ada keluarga terinfeksi Covid-19. Kemudian, kita telpon ke beberapa rumah sakit penuh,” katanya. Fahmi Bahtiar
(cip)