Aturan Kampanye Terbuka Pilkada Harus Direvisi
loading...
A
A
A
JAKARTA - Direktur Eksekutif LIMA Ray Rangkuti menyatakan, memang agak mengherankan PKPU No 10/2020 memberikan izin kepada pasangan calon kepala daerah tetap dapat menyelenggarakan rapat umum atau kampanye terbuka. Terlebih, muncul konsep konser musik meski KPU mengklaim akan melarangnya.
Ray menjelaskan, dalam Pasal 63 ayat (1) PKPU No 10/2020 berbagai bentuk kampanye terbuka atau rapat umum tetap diperkenan, sekalipun dengan membuat syarat tambahan berupa jumlah peserta yang terbatas maksimal 100 orang, menerapkan protokol Covid-19 dengan ketat, dan syarat lainnya yang bersifat administratif.
"Tentu saja keputusan ini membingungkan. Dan nampak tidak sensitif pada situasi yang tengah terjadi: merebaknya pandemi Covid-19 yang hingga sampai saat ini belum jua menurun kurva korbannya. Dan besar kemungkinan hingga hari H pilkada, kurva korban Covid-19 ini akan tetap tinggi," ujar Ray saat dihubungi SINDOnews, Jumat (18/9/2020).
Dengan begitu, lanjut Ray, sudah sepatutnya seluruh kegiatan politik yang melibatkan massa harus dihindari. Bukan saja karena pertemuan itu diragukan efektivitasnya, tapi juga karena sulitnya melaksanakan aturan kampanye terbuka dengan protokol Covid-19 .
( ).
Menurut Ray, peristiwa pencalonan pasangan cakada awal September lalu yang sarat dengan pelanggaran protokol Covid-19 salah satu bukti betapa sulitnya menegakkan aturan Covid-19 dengan kerumunan massa. Apalagi, aturannya penuh dengan multitafsir yang kadang hanya jadi bahan perdebatan di antara penyelenggara pemilu. Sebut saja apa yang dinamakan kawasan rapat umum.
"Bagaimana menentukannya? Bagaimana memastikan bahwa di antara 100 peserta itu benar-benar jaga jarak. Bagaimana memastikan bahwa jalanan menuju ke lokasi kampanye tidak dipenuhi oleh kerumunan massa, dan bagaimana pula menindak kerumunan massa yang berada di luar garis lokasi acara," tutur dia.
Sederet pertanyaan teknis ini, Ray menilai, hanya akan jadi bahan debat kusir yang berujung saling lempar tanggung jawab. Lagi-lagi pengalaman pendaftaran pasangan cakada itu sebagai perbandingan. Sementara, KPU dan Bawaslu hanya melihat lokasi yang harus menegakkan aturan Covid-19 itu seluas tanah dan bangunan kantor KPU.
( ).
Di luar itu, nampaknya tidak jadi perhatian KPU. Pun, waktu seleksi masuk peserta yang layak dan patut masuk ke kantor KPU saja juga penuh kerumunan. Dan di dalam kantor KPU, sekalipun kursinya dibuat jarak, tapi tak ada tanggapan atau tindakan jika para peserta atau pendukung cakada melakukan aktivitas yang melanggar protokol Covid-19, seperti buka masker atau tidak jaga jarak karena saling mengobrol.
Menurutnya, situasi yang sama juga potensial akan terjadi di saat kampanye terbuka. Berapa banyak petugas negara, entah polisi, Bawaslu, satgas penanggulangan Covid-19, dapat dikerahkan untuk memastikan satu atau seluruh peserta kampanye telah dites suhu tubuhnya dan protokol Covid-19 lainnya dipenuhi.
Padahal, faedahnya belum tentu sebesar kerepotan yang ditimbulkannya. Apalagi dalam kampanye terbuka itu lebih banyak hiburannya daripada materi kampanyenya, seperti lazimnya terjadi dalam kampanye terbuka di Indonesia.
"Oleh karena itu, LIMA Indonesia mendesak agar aturan kampanye terbuka itu direvisi. Setidaknya dinyatakan bersifat opsional: dapat dilakukan jika situasi sangat memungkinkan. Jadi bukan sekadar mungkin tapi sangat memungkinkan. Jika tidak, lebih baik dinyatakan tidak diperkenankan karena masih tingginya pandemi Covid-19," pungkas dia.
Ray menjelaskan, dalam Pasal 63 ayat (1) PKPU No 10/2020 berbagai bentuk kampanye terbuka atau rapat umum tetap diperkenan, sekalipun dengan membuat syarat tambahan berupa jumlah peserta yang terbatas maksimal 100 orang, menerapkan protokol Covid-19 dengan ketat, dan syarat lainnya yang bersifat administratif.
"Tentu saja keputusan ini membingungkan. Dan nampak tidak sensitif pada situasi yang tengah terjadi: merebaknya pandemi Covid-19 yang hingga sampai saat ini belum jua menurun kurva korbannya. Dan besar kemungkinan hingga hari H pilkada, kurva korban Covid-19 ini akan tetap tinggi," ujar Ray saat dihubungi SINDOnews, Jumat (18/9/2020).
Dengan begitu, lanjut Ray, sudah sepatutnya seluruh kegiatan politik yang melibatkan massa harus dihindari. Bukan saja karena pertemuan itu diragukan efektivitasnya, tapi juga karena sulitnya melaksanakan aturan kampanye terbuka dengan protokol Covid-19 .
( ).
Menurut Ray, peristiwa pencalonan pasangan cakada awal September lalu yang sarat dengan pelanggaran protokol Covid-19 salah satu bukti betapa sulitnya menegakkan aturan Covid-19 dengan kerumunan massa. Apalagi, aturannya penuh dengan multitafsir yang kadang hanya jadi bahan perdebatan di antara penyelenggara pemilu. Sebut saja apa yang dinamakan kawasan rapat umum.
"Bagaimana menentukannya? Bagaimana memastikan bahwa di antara 100 peserta itu benar-benar jaga jarak. Bagaimana memastikan bahwa jalanan menuju ke lokasi kampanye tidak dipenuhi oleh kerumunan massa, dan bagaimana pula menindak kerumunan massa yang berada di luar garis lokasi acara," tutur dia.
Sederet pertanyaan teknis ini, Ray menilai, hanya akan jadi bahan debat kusir yang berujung saling lempar tanggung jawab. Lagi-lagi pengalaman pendaftaran pasangan cakada itu sebagai perbandingan. Sementara, KPU dan Bawaslu hanya melihat lokasi yang harus menegakkan aturan Covid-19 itu seluas tanah dan bangunan kantor KPU.
( ).
Di luar itu, nampaknya tidak jadi perhatian KPU. Pun, waktu seleksi masuk peserta yang layak dan patut masuk ke kantor KPU saja juga penuh kerumunan. Dan di dalam kantor KPU, sekalipun kursinya dibuat jarak, tapi tak ada tanggapan atau tindakan jika para peserta atau pendukung cakada melakukan aktivitas yang melanggar protokol Covid-19, seperti buka masker atau tidak jaga jarak karena saling mengobrol.
Menurutnya, situasi yang sama juga potensial akan terjadi di saat kampanye terbuka. Berapa banyak petugas negara, entah polisi, Bawaslu, satgas penanggulangan Covid-19, dapat dikerahkan untuk memastikan satu atau seluruh peserta kampanye telah dites suhu tubuhnya dan protokol Covid-19 lainnya dipenuhi.
Padahal, faedahnya belum tentu sebesar kerepotan yang ditimbulkannya. Apalagi dalam kampanye terbuka itu lebih banyak hiburannya daripada materi kampanyenya, seperti lazimnya terjadi dalam kampanye terbuka di Indonesia.
"Oleh karena itu, LIMA Indonesia mendesak agar aturan kampanye terbuka itu direvisi. Setidaknya dinyatakan bersifat opsional: dapat dilakukan jika situasi sangat memungkinkan. Jadi bukan sekadar mungkin tapi sangat memungkinkan. Jika tidak, lebih baik dinyatakan tidak diperkenankan karena masih tingginya pandemi Covid-19," pungkas dia.
(zik)