Mewaspadai Gelombang Kedua Korona
loading...
A
A
A
JUMLAH kasus positif korona terus bertambah. Fasilitas kesehatan pun mulai menuju kapasitas maksimal. Data jumlah kasus konfirmasi atau kasus positif virus korona (Covid-19) di Indonesia kembali bertambah pada Rabu 16 September 2020.
Dalam 24 jam terakhir atau dari Selasa 15 September hingga Rabu 16 September pukul 12.00 WIB, kasus positif korona di Indonesia bertambah sebanyak 3.963 kasus.
Sehingga sampai saat ini total kasus konfirmasi di Indonesia mencapai 225.030 kasus. DKI Jakarta menjadi daerah dengan penambahan jumlah kasus paling besar dalam kurun sepekan terakhir. Rumah sakit rujukan pun hampir tak mampu menampung pasien yang membutuhkan ruang perwatan intensif (ICU), sehingga Pemprov DKI Jakarta terpaksa mengubah Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) sebagai Rumah Sakit rujukan Covid-19.
Hal ini menyebabkan pasien umum tidak bisa memanfaatkan RSUD untuk berobat, termasuk pasien umum yang menggunakan fasilitas BPJS Kesehatan.
Masifnya penularan virus korona disinyalir karena masih rendahnya kepatuhan masyarakat terahadap protokol kesehatan. Hal ini lantaran sanksi yang ditetapkan oleh pemerintah daerah dalam pelaksanaannya terlihat tidak tegas. Ambil contoh di DKI Jakarta, masyarakat yang melanggar protokol kesehatan hanya diberikan sanksi kerja sosial dengan membersihkan fasilitas umum. Tak ada sanksi lebih tegas lagi sehingga masyarakat tidak jera dan tetap mengabaikan protokol kesehatan.
Pusat-pusat perdagangan, kafe, restoran belakangan melonggarkan protokol kesehatan makan ditempat. Bahkan, banyak ditemui kafe maupun tempat penjual makanan yang pramusajinya tidak menggunakan masker sebagai salah satu protokol kesehatan pencegahan penularan korona.
Kebijakan Pemprov DKI Jakarta yang menerapkan kembali Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sejatinya merupakan langkah tepat untuk kembali menata kedisplinan masyarakat. Banyak pihak yang memberikan dukungan terhadap kebijakan tersebut. Termasuk kalangan dunia usaha, meskipun tidak dilakukan secara vulgar. Kalangan dunia usaha menilai, kunci meningkatkan pertumbuhan ekonomi, adalah penanganan pandemi Covid-19 yang tepat. Selama belum bisa dituntaskan, perekonomian nasional dibayangi kondisi yang menghambat.
Meskipun pemerintah telah memberikan fasilitas hotel untuk isolasi mandiri bagi masyarakat yang terpapar korona tanpa gejala, namun yang paling dibutuhkan adalah ketersediaan ruang perawatan bagi masyarakat yang terpapar korona dengan gejala. Karena fasilitas hotel sangat berbeda dengan fasilitas rumah sakit.
Apa yang dilakukan oleh Pemprov DKI Jakarta dengan kembali menerapkan PSBB harus dimaknai sebagai ikhtiar untuk menekan jumlah masyarakat yang terpapar virus mematikan tersebut. Sayangnya ikhtiar tersebut dicederai dengan narasi-narasi politis yang tendensius. Tidak saja dilakukan oleh para buzzer, selebritas melalui platform media sosial tetapi juga oleh kepala daerah. Bahkan media massa pun justru ada yang “menentang” langkah mulia tersebut dengan mendengungkan diksi yang sama sekali tidak pernah terucap oleh Gubernur DKI Jakarta yakni diksi PSBB Total yang kemudian menimbulkan gejolak di masyarakat.
Yang harus dilakukan saat ini yakni menghadapi pandemi ini dengan gotong royong dan saling mendukung. Bukan lagi pada persoalan berebut simpati di masyarakat dengan narasi-narasi yang justru menjerumuskan masyarakat ke dalam bencana lebih dalam lagi.
Sejak pandemi Covid melanda Tanah Air pada Maret 2020 silam, masyarakat sudah dijejali dengan informasi-informasi tidak akurat semisal, yang terpapar korona bisa sembuh sendiri tanpa dirawat, atau asalkan imunitas baik, maka virus korona tidak akan berkembang di dalam tubuh seseorang.
Narasi yang salah kaprah tersebut sudah terlanjur ditelan mentah-mentah oleh masyarakat, sehingga masyarakat merasa asalkan imunitas baik maka terbebas dari korona. Padahal imunitas adalah sesuatu yang absurd dan tidak ada alat ukur terhadap imunitas seseorang. Ambil contoh para pemain sepak bola dunia yang terpapar corona, juga atlet di dalam negeri yang juga terpapar korona, padahal para atlet dinilai sebagai sosok yang memiliki imunitas di atas rata-rata masyarakat biasa.
Istilah new normal menjadi salah satu petaka di masyarakat. Istilah tersebut justru dimaknai masyarakat bahwa virus korona sudah berhasil “ditaklukkan”. Belum lagi pemberitaan mengenai keberhasilan pihak-pihak tertentu memproduksi obat korona membuat masyarakat semakin lengah. Padahal, hingga saat ini, belum ada satu negara pun di bumi ini yang sudah mampu memproduksi obat atau vaksin korona.
Dampak gelombang kedua Covid-19 berpotensi lebih parah, ketimbang saat virus ini pertama kali mewabah apabila masyarakat masih abai terhadap protokol kesehatan dan pemerintah masih saja berkutat pada persoalan kepentingan pertumbuhan ekonomi.
Badan kesehatan dunia (WHO) menegaskan, Tidak ada indikasi bahwa virus ini akan melemah. Sangat disayangkan bahwa sebagian masyarakat mulai bepergian ke taman, pantai, dan tempat keramaian lainnya karena menganggap bahwa virus ini sudah hilang.
Gotong royong antarlembaga pemerintah baik di pusat hingga daerah dan kesadaran masyarakat akan pentingnya mematuhi protokol kesehatan mutlak diperlukan untuk “mengalahkan” virus asal Wuhan, China itu.
Dalam 24 jam terakhir atau dari Selasa 15 September hingga Rabu 16 September pukul 12.00 WIB, kasus positif korona di Indonesia bertambah sebanyak 3.963 kasus.
Sehingga sampai saat ini total kasus konfirmasi di Indonesia mencapai 225.030 kasus. DKI Jakarta menjadi daerah dengan penambahan jumlah kasus paling besar dalam kurun sepekan terakhir. Rumah sakit rujukan pun hampir tak mampu menampung pasien yang membutuhkan ruang perwatan intensif (ICU), sehingga Pemprov DKI Jakarta terpaksa mengubah Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) sebagai Rumah Sakit rujukan Covid-19.
Hal ini menyebabkan pasien umum tidak bisa memanfaatkan RSUD untuk berobat, termasuk pasien umum yang menggunakan fasilitas BPJS Kesehatan.
Masifnya penularan virus korona disinyalir karena masih rendahnya kepatuhan masyarakat terahadap protokol kesehatan. Hal ini lantaran sanksi yang ditetapkan oleh pemerintah daerah dalam pelaksanaannya terlihat tidak tegas. Ambil contoh di DKI Jakarta, masyarakat yang melanggar protokol kesehatan hanya diberikan sanksi kerja sosial dengan membersihkan fasilitas umum. Tak ada sanksi lebih tegas lagi sehingga masyarakat tidak jera dan tetap mengabaikan protokol kesehatan.
Pusat-pusat perdagangan, kafe, restoran belakangan melonggarkan protokol kesehatan makan ditempat. Bahkan, banyak ditemui kafe maupun tempat penjual makanan yang pramusajinya tidak menggunakan masker sebagai salah satu protokol kesehatan pencegahan penularan korona.
Kebijakan Pemprov DKI Jakarta yang menerapkan kembali Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sejatinya merupakan langkah tepat untuk kembali menata kedisplinan masyarakat. Banyak pihak yang memberikan dukungan terhadap kebijakan tersebut. Termasuk kalangan dunia usaha, meskipun tidak dilakukan secara vulgar. Kalangan dunia usaha menilai, kunci meningkatkan pertumbuhan ekonomi, adalah penanganan pandemi Covid-19 yang tepat. Selama belum bisa dituntaskan, perekonomian nasional dibayangi kondisi yang menghambat.
Meskipun pemerintah telah memberikan fasilitas hotel untuk isolasi mandiri bagi masyarakat yang terpapar korona tanpa gejala, namun yang paling dibutuhkan adalah ketersediaan ruang perawatan bagi masyarakat yang terpapar korona dengan gejala. Karena fasilitas hotel sangat berbeda dengan fasilitas rumah sakit.
Apa yang dilakukan oleh Pemprov DKI Jakarta dengan kembali menerapkan PSBB harus dimaknai sebagai ikhtiar untuk menekan jumlah masyarakat yang terpapar virus mematikan tersebut. Sayangnya ikhtiar tersebut dicederai dengan narasi-narasi politis yang tendensius. Tidak saja dilakukan oleh para buzzer, selebritas melalui platform media sosial tetapi juga oleh kepala daerah. Bahkan media massa pun justru ada yang “menentang” langkah mulia tersebut dengan mendengungkan diksi yang sama sekali tidak pernah terucap oleh Gubernur DKI Jakarta yakni diksi PSBB Total yang kemudian menimbulkan gejolak di masyarakat.
Yang harus dilakukan saat ini yakni menghadapi pandemi ini dengan gotong royong dan saling mendukung. Bukan lagi pada persoalan berebut simpati di masyarakat dengan narasi-narasi yang justru menjerumuskan masyarakat ke dalam bencana lebih dalam lagi.
Sejak pandemi Covid melanda Tanah Air pada Maret 2020 silam, masyarakat sudah dijejali dengan informasi-informasi tidak akurat semisal, yang terpapar korona bisa sembuh sendiri tanpa dirawat, atau asalkan imunitas baik, maka virus korona tidak akan berkembang di dalam tubuh seseorang.
Narasi yang salah kaprah tersebut sudah terlanjur ditelan mentah-mentah oleh masyarakat, sehingga masyarakat merasa asalkan imunitas baik maka terbebas dari korona. Padahal imunitas adalah sesuatu yang absurd dan tidak ada alat ukur terhadap imunitas seseorang. Ambil contoh para pemain sepak bola dunia yang terpapar corona, juga atlet di dalam negeri yang juga terpapar korona, padahal para atlet dinilai sebagai sosok yang memiliki imunitas di atas rata-rata masyarakat biasa.
Istilah new normal menjadi salah satu petaka di masyarakat. Istilah tersebut justru dimaknai masyarakat bahwa virus korona sudah berhasil “ditaklukkan”. Belum lagi pemberitaan mengenai keberhasilan pihak-pihak tertentu memproduksi obat korona membuat masyarakat semakin lengah. Padahal, hingga saat ini, belum ada satu negara pun di bumi ini yang sudah mampu memproduksi obat atau vaksin korona.
Dampak gelombang kedua Covid-19 berpotensi lebih parah, ketimbang saat virus ini pertama kali mewabah apabila masyarakat masih abai terhadap protokol kesehatan dan pemerintah masih saja berkutat pada persoalan kepentingan pertumbuhan ekonomi.
Badan kesehatan dunia (WHO) menegaskan, Tidak ada indikasi bahwa virus ini akan melemah. Sangat disayangkan bahwa sebagian masyarakat mulai bepergian ke taman, pantai, dan tempat keramaian lainnya karena menganggap bahwa virus ini sudah hilang.
Gotong royong antarlembaga pemerintah baik di pusat hingga daerah dan kesadaran masyarakat akan pentingnya mematuhi protokol kesehatan mutlak diperlukan untuk “mengalahkan” virus asal Wuhan, China itu.
(ras)