Pemerintah Gagal Menahan Laju Pandemi Akibat Salah Strategi
loading...
A
A
A
JAKARTA - Anggota Komisi IX DPR , Netty Prasetiyani Aher prihatin dengan kondisi pandemi COVID-19 di Tanah Air yang memburuk ini. Betapa tidak, kasus positif COVID-19 di Indonesia kini telah menembus 200.000.
Data terakhir Rabu 9 September 2020, jumlah kasus positif COVID-19 di Indonesia sebanyak 203.342. "Pemerintah gagal menahan laju pandemi akibat salah strategi. Sejak awal pemerintah lebih memprioritaskan pemulihan ekonomi daripada menangani akar pandemi, yaitu sektor kesehatan. Akibat kegagalan tersebut, imbas pandemi sudah kemana-mana dan sulit terkendali," ujar Netty dalam keterangan tertulisnya kepada SINDOnews, Kamis (10/9/2020). (Baca juga: Jokowi Mestinya Batalkan Omnibus Law Kalau Konsisten Prioritaskan Covid-19)
Politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini mengatakan angka kasus makin tinggi, klaster penularan baru pun bermunculan, kemudian ekonomi makin terpuruk. "Rakyat bingung tidak tahu harus berbuat apa. Saat ini sudah 59 negara yang menutup akses bagi kedatangan WNI, Indonesia menjadi negara yang ditakuti," kata Netty.
Adapun 59 negara yang menutup pintu untuk WNI di antaranya Jerman, Swis, Singapura, Korea Selatan, Amerika Serikat, Turki karena khawatir menjadi transmiter COVID-19. Kata Netty, pemerintah harus segera mengambil sikap dan menata ulang format kebijakannya.
"Jangan menganakemaskan ekonomi tapi meninggalkan kesehatan. Jangan lagi ada pengabaian terhadap pendapat sains yang positif. Sebab pandemi COVID-19 adalah bencana kesehatan, sudah seharusnya kembali pada kebijakan yang berbasis kesehatan," tegasnya.
Dia menuturkan saat ini perkantoran, keluarga dan bahkan proses Pilkada Serentak 2020 telah menjadi klaster penularan COVID-19. "Jika ini tidak ditangani secara serius dengan kebijakan yang tepat dan ketat, maka akan muncul klaster-klaster lainnya. Jangan sampai Indonesia menjadi negara yang paling ditakuti dan kemudian diisolasi karena COVID-19," tandasnya.
Adapun mengenai penghapusan kewajiban melakukan rapid test untuk pelaku perjalanan oleh Kemenkes, menurut Netty, kebijakan yang berubah-ubah seperti itu membuat rakyat bingung. "Jika rapid test tidak lagi diwajibkan karena dianggap kurang akurat, lalu bagaimana cara mendeteksi bahwa pelaku perjalanan antar kota atau antar provinsi itu aman dan bebas dari COVID-19? Sudahkah dipikirkan cara lain? Jika dianggap cukup dengan pengecekan suhu tubuh di pintu masuk kota, bagaimana dengan orang yang terinfeksi namun tidak ada gejala?" tanya Netty. (Baca juga: Tensi Pilpres AS Meninggi, Biden Tuding Trump Berbohong Soal Covid-19)
Menurutnya, seharusnya testing terhadap masyarakat terus menerus dilakukan secara masif dan dengan alat yang akurat. "Jika yang dianggap akurat itu adalah swab PCR, maka buatlah itu sebagai strategi testing yang menjadi tanggung jawab pemerintah, bukan dibebankan pada rakyat. Lakukan secara berkala terutama di tempat-tempat yang potensial menjadi klaster. Dan di luar testing, buatlah masyarakat disiplin mencegah penularan dengan melakukan 3M, memakai masker, mencuci tangan dan menjaga jarak. 3M harus menjadi budaya, bukan cuma slogan dan imbauan saja," pungkasnya.
Data terakhir Rabu 9 September 2020, jumlah kasus positif COVID-19 di Indonesia sebanyak 203.342. "Pemerintah gagal menahan laju pandemi akibat salah strategi. Sejak awal pemerintah lebih memprioritaskan pemulihan ekonomi daripada menangani akar pandemi, yaitu sektor kesehatan. Akibat kegagalan tersebut, imbas pandemi sudah kemana-mana dan sulit terkendali," ujar Netty dalam keterangan tertulisnya kepada SINDOnews, Kamis (10/9/2020). (Baca juga: Jokowi Mestinya Batalkan Omnibus Law Kalau Konsisten Prioritaskan Covid-19)
Politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini mengatakan angka kasus makin tinggi, klaster penularan baru pun bermunculan, kemudian ekonomi makin terpuruk. "Rakyat bingung tidak tahu harus berbuat apa. Saat ini sudah 59 negara yang menutup akses bagi kedatangan WNI, Indonesia menjadi negara yang ditakuti," kata Netty.
Adapun 59 negara yang menutup pintu untuk WNI di antaranya Jerman, Swis, Singapura, Korea Selatan, Amerika Serikat, Turki karena khawatir menjadi transmiter COVID-19. Kata Netty, pemerintah harus segera mengambil sikap dan menata ulang format kebijakannya.
"Jangan menganakemaskan ekonomi tapi meninggalkan kesehatan. Jangan lagi ada pengabaian terhadap pendapat sains yang positif. Sebab pandemi COVID-19 adalah bencana kesehatan, sudah seharusnya kembali pada kebijakan yang berbasis kesehatan," tegasnya.
Dia menuturkan saat ini perkantoran, keluarga dan bahkan proses Pilkada Serentak 2020 telah menjadi klaster penularan COVID-19. "Jika ini tidak ditangani secara serius dengan kebijakan yang tepat dan ketat, maka akan muncul klaster-klaster lainnya. Jangan sampai Indonesia menjadi negara yang paling ditakuti dan kemudian diisolasi karena COVID-19," tandasnya.
Adapun mengenai penghapusan kewajiban melakukan rapid test untuk pelaku perjalanan oleh Kemenkes, menurut Netty, kebijakan yang berubah-ubah seperti itu membuat rakyat bingung. "Jika rapid test tidak lagi diwajibkan karena dianggap kurang akurat, lalu bagaimana cara mendeteksi bahwa pelaku perjalanan antar kota atau antar provinsi itu aman dan bebas dari COVID-19? Sudahkah dipikirkan cara lain? Jika dianggap cukup dengan pengecekan suhu tubuh di pintu masuk kota, bagaimana dengan orang yang terinfeksi namun tidak ada gejala?" tanya Netty. (Baca juga: Tensi Pilpres AS Meninggi, Biden Tuding Trump Berbohong Soal Covid-19)
Menurutnya, seharusnya testing terhadap masyarakat terus menerus dilakukan secara masif dan dengan alat yang akurat. "Jika yang dianggap akurat itu adalah swab PCR, maka buatlah itu sebagai strategi testing yang menjadi tanggung jawab pemerintah, bukan dibebankan pada rakyat. Lakukan secara berkala terutama di tempat-tempat yang potensial menjadi klaster. Dan di luar testing, buatlah masyarakat disiplin mencegah penularan dengan melakukan 3M, memakai masker, mencuci tangan dan menjaga jarak. 3M harus menjadi budaya, bukan cuma slogan dan imbauan saja," pungkasnya.
(kri)