Pengelolaan Human Capital dan Kesiapsiagaan Menghadapi Resesi
loading...
A
A
A
Muhamad Ali
Pemerhati Human Capital
PULUHAN negara sudah mengumumkan kondisi resesi. Negara-negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia, mengalami resesi yang cukup dalam. Demikian pula beberapa negara di Eropa, termasuk di kawasan Amerika Utara dan Amerika Selatan. Semuanya dipicu oleh pandemi Covid-19.
Resesi adalah indikator atau parameter teknikal ekonomi untuk melihat pertumbuhan ekonomi suatu negara pada suatu waktu. Apabila dalam periode yang berturutan pertumbuhan ekonominya tercatat negatif atau minus, maka negara itu secara teknis dinyatakan resesi.
Resesi sendiri sebenarnya merupakan pengertian teknis. Tetapi dampaknya bisa berlangsung secara psikologis bagi setiap pelaku usaha dan setiap orang. Resesi dianggap sebagai hantu yang menakutkan. Tentu saja memang menakutkan, tetapi bukan tidak ada celah atau ruang untuk melakukan tindakan tertentu sehingga perusahaan atau korporasi dapat keluar dari jebakan resesi, atau setidak-tidaknya dapat mengurangi dampak yang ditimbulkan dalam organisasi.
Manusia tetaplah kunci dalam organisasi dan dalam situasi apapun. Menghadapi resesi, kita dapat mengajukan pertanyaan-pertanyaan kunci untuk memvalidasi atau menguji kesiapan dan ketangguhan organisasi dalam menjalankan bisnis dan organisasi di tengah resesi. Pertanyaan pertama tentu saja adalah, “Apakah organisasi/korporasi sudah memiliki pemimpin yang tepat dengan orang-orang kepercayaan yang tepat, dan mereka berada dalam posisi yang tepat?”
Seringkali terjadi, resesi justru memunculkan pemimpin-pemimpin yang tidak kompeten atau manajer-manajer yang tidak mampu mengambil keputusan yang cepat dan akurat ketika resesi berada di depan mata. Dalam kasus yang lain, ada juga pemimpin atau manajer dalam organisasi yang sebenarnya memiliki kecakapan dan kemampuan untuk mengatasi resesi, tetapi berada tidak dalam posisi atau kedudukan yang tepat di dalam organisasi.
Pertanyaan kedua yang tak kalah penting adalah, “Apakah SDM yang kita miliki tetap berada dalam arah dan gerak yang sama dengan tujuan organisasi/korporasi?” Dalam situasi yang tidak normal, ketidakkompakan atau ketidaksinkronan pergerakan dari satu orang atau satu unit di dalam organisasi, bisa membelokkan arah organisasi menuju ke tujuan yang salah, karena kondisi eksternalnya begitu menantang dan berat. Oleh karena itu, penting untuk menetapkan bahwa SDM harus ada di dalam kendali dan koordinasi yang penuh di dalam situasi yang sedang tidak bersahabat.
Apabila dua pertanyaan tersebut sudah dapat dicarikan jalan keluarnya, maka pertanyaan berikutnya adalah, “Bagaimana kita mencari dan menemukan peluang atau kesempatan untuk meningkatkan pertumbuhan bisnis atau kinerja organisasi?” Manusia zaman ini pernah mengalami krisis yang berulang-ulang oleh karena sebab-sebab yang berbeda. Krisis yang berujung pada resesi kali ini juga disebabkan oleh faktor yang berbeda, berskala lebih masif, dan tidak pernah dialami sebelumnya oleh generasi yang masih hidup pada zaman ini. Krisis serupa pernah terjadi, tetapi itu hanya dapat dipelajari dari buku-buku atau kitab-kitab. Nah, dalam kondisi seperti itu, pelajaran terpenting dari setiap kejadian besar adalah, mampukah suatu organisasi/korporasi menyesuaikan diri dan beradaptasi secara lincah dengan situasi dan kondisi yang ada.
Di situlah kita sebenarnya dapat belajar dari sejarah, bahwa ada organisasi atau korporasi, yang mampu menyesuaikan proses bisnisnya, mengelola dan mengendalikan seluruh sumber dayanya –termasuk Human Capital tentu saja- untuk dapat turn around lebih cepat daripada organisasi atau perusahaan lainnya. Kecepatan untuk menyesuaikan proses bisnis dan mengembalikan arah gerak organisasi ke dalam situasi yang lebih stabil, akan memberi manfaat bagi orang-orang yang berada dalam kapal organisasi/perusahaan tersebut.
Resesi sudah pasti akan mengakibatkan terjadinya gelombang PHK pada tingkat yang paling ekstrem. Jika setiap persen pertumbuhan 1% akan menciptakan sekitar 250-300 ribu lapangan kerja, maka penurunan ekonomi sudah pasti akan berimplikasi pada hilangnya pekerjaan tersebut, minimal pada angka yang sama. Saya memperkirakan angka hilangnya lapangan kerja jauh lebih besar pada setiap penurunan persentase pertumbuhan, dibandingkan dengan munculnya lapangan kerja yang dihasilkan oleh pertumbuhan ekonomi. Mengapa? Karena hilangnya lapangan pekerjaan berisiko sistemik, terutama pada penciptaan lapangan kerja di sektor-sektor pendukung.
Saya tetap melihat resesi dari sudut pandang optimis, karena dalam kondisi apapun, akan selalu ada peluang usaha atau peluang perbaikan kinerja yang bisa muncul. Baik itu baru sama sekali maupun penyempurnaan dari usaha atau kinerja sebelumnya. Di sisi inilah dibutuhkan kejelian untuk menangkap sektor-sektor yang tetap tumbuh, dan itulah yang perlu didorong untuk tumbuh lebih maksimal, sehingga dapat menjadi lokomotif yang menggerakkan ekonomi dan menyerap tenaga kerja yang lebih besar.
Dalam konteks tersebut, maka paradigma lama dalam bisnis modern di mana semua pihak harus menjadi pemenang, win-win paradigm, akan sangat membantu setiap organisasi dan korporasi keluar dari kubangan resesi, segera pada kesempatan pertama ketika titik terang itu kelihatan di depan mata semua orang. Dalam proses internal, manajemen dan pegawai/karyawan, tidak boleh menggunakan kaca mata menang kalah, mauku harus dituruti, permintaanku harus dipenuhi, hak-hakku harus ditunaikan. Paradigma demikian akan menimbulkan riak yang justru akan membuat setiap pihak makin sulit melihat titik terang, dan organisasi akan terseret dalam arus pusaran yang makin kencang, alih-alih keluar dari krisis dan resesi yang sudah berumur lebih dari setengah tahun.
Secara eksternal, pendekatan win-win juga menjadi kunci, karena persaingan yang bersifat menang-kalah justru akan menjadikan yang menang jadi arang, yang kalah jadi abu. Krisis ini multidimensi, dan resesi ini belum pernah ada yang mengalaminya, dan belum ada satu penawar yang mujarab untuk semua masalah yang ditimbulkan.
Pemerhati Human Capital
PULUHAN negara sudah mengumumkan kondisi resesi. Negara-negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia, mengalami resesi yang cukup dalam. Demikian pula beberapa negara di Eropa, termasuk di kawasan Amerika Utara dan Amerika Selatan. Semuanya dipicu oleh pandemi Covid-19.
Resesi adalah indikator atau parameter teknikal ekonomi untuk melihat pertumbuhan ekonomi suatu negara pada suatu waktu. Apabila dalam periode yang berturutan pertumbuhan ekonominya tercatat negatif atau minus, maka negara itu secara teknis dinyatakan resesi.
Resesi sendiri sebenarnya merupakan pengertian teknis. Tetapi dampaknya bisa berlangsung secara psikologis bagi setiap pelaku usaha dan setiap orang. Resesi dianggap sebagai hantu yang menakutkan. Tentu saja memang menakutkan, tetapi bukan tidak ada celah atau ruang untuk melakukan tindakan tertentu sehingga perusahaan atau korporasi dapat keluar dari jebakan resesi, atau setidak-tidaknya dapat mengurangi dampak yang ditimbulkan dalam organisasi.
Manusia tetaplah kunci dalam organisasi dan dalam situasi apapun. Menghadapi resesi, kita dapat mengajukan pertanyaan-pertanyaan kunci untuk memvalidasi atau menguji kesiapan dan ketangguhan organisasi dalam menjalankan bisnis dan organisasi di tengah resesi. Pertanyaan pertama tentu saja adalah, “Apakah organisasi/korporasi sudah memiliki pemimpin yang tepat dengan orang-orang kepercayaan yang tepat, dan mereka berada dalam posisi yang tepat?”
Seringkali terjadi, resesi justru memunculkan pemimpin-pemimpin yang tidak kompeten atau manajer-manajer yang tidak mampu mengambil keputusan yang cepat dan akurat ketika resesi berada di depan mata. Dalam kasus yang lain, ada juga pemimpin atau manajer dalam organisasi yang sebenarnya memiliki kecakapan dan kemampuan untuk mengatasi resesi, tetapi berada tidak dalam posisi atau kedudukan yang tepat di dalam organisasi.
Pertanyaan kedua yang tak kalah penting adalah, “Apakah SDM yang kita miliki tetap berada dalam arah dan gerak yang sama dengan tujuan organisasi/korporasi?” Dalam situasi yang tidak normal, ketidakkompakan atau ketidaksinkronan pergerakan dari satu orang atau satu unit di dalam organisasi, bisa membelokkan arah organisasi menuju ke tujuan yang salah, karena kondisi eksternalnya begitu menantang dan berat. Oleh karena itu, penting untuk menetapkan bahwa SDM harus ada di dalam kendali dan koordinasi yang penuh di dalam situasi yang sedang tidak bersahabat.
Apabila dua pertanyaan tersebut sudah dapat dicarikan jalan keluarnya, maka pertanyaan berikutnya adalah, “Bagaimana kita mencari dan menemukan peluang atau kesempatan untuk meningkatkan pertumbuhan bisnis atau kinerja organisasi?” Manusia zaman ini pernah mengalami krisis yang berulang-ulang oleh karena sebab-sebab yang berbeda. Krisis yang berujung pada resesi kali ini juga disebabkan oleh faktor yang berbeda, berskala lebih masif, dan tidak pernah dialami sebelumnya oleh generasi yang masih hidup pada zaman ini. Krisis serupa pernah terjadi, tetapi itu hanya dapat dipelajari dari buku-buku atau kitab-kitab. Nah, dalam kondisi seperti itu, pelajaran terpenting dari setiap kejadian besar adalah, mampukah suatu organisasi/korporasi menyesuaikan diri dan beradaptasi secara lincah dengan situasi dan kondisi yang ada.
Di situlah kita sebenarnya dapat belajar dari sejarah, bahwa ada organisasi atau korporasi, yang mampu menyesuaikan proses bisnisnya, mengelola dan mengendalikan seluruh sumber dayanya –termasuk Human Capital tentu saja- untuk dapat turn around lebih cepat daripada organisasi atau perusahaan lainnya. Kecepatan untuk menyesuaikan proses bisnis dan mengembalikan arah gerak organisasi ke dalam situasi yang lebih stabil, akan memberi manfaat bagi orang-orang yang berada dalam kapal organisasi/perusahaan tersebut.
Resesi sudah pasti akan mengakibatkan terjadinya gelombang PHK pada tingkat yang paling ekstrem. Jika setiap persen pertumbuhan 1% akan menciptakan sekitar 250-300 ribu lapangan kerja, maka penurunan ekonomi sudah pasti akan berimplikasi pada hilangnya pekerjaan tersebut, minimal pada angka yang sama. Saya memperkirakan angka hilangnya lapangan kerja jauh lebih besar pada setiap penurunan persentase pertumbuhan, dibandingkan dengan munculnya lapangan kerja yang dihasilkan oleh pertumbuhan ekonomi. Mengapa? Karena hilangnya lapangan pekerjaan berisiko sistemik, terutama pada penciptaan lapangan kerja di sektor-sektor pendukung.
Saya tetap melihat resesi dari sudut pandang optimis, karena dalam kondisi apapun, akan selalu ada peluang usaha atau peluang perbaikan kinerja yang bisa muncul. Baik itu baru sama sekali maupun penyempurnaan dari usaha atau kinerja sebelumnya. Di sisi inilah dibutuhkan kejelian untuk menangkap sektor-sektor yang tetap tumbuh, dan itulah yang perlu didorong untuk tumbuh lebih maksimal, sehingga dapat menjadi lokomotif yang menggerakkan ekonomi dan menyerap tenaga kerja yang lebih besar.
Dalam konteks tersebut, maka paradigma lama dalam bisnis modern di mana semua pihak harus menjadi pemenang, win-win paradigm, akan sangat membantu setiap organisasi dan korporasi keluar dari kubangan resesi, segera pada kesempatan pertama ketika titik terang itu kelihatan di depan mata semua orang. Dalam proses internal, manajemen dan pegawai/karyawan, tidak boleh menggunakan kaca mata menang kalah, mauku harus dituruti, permintaanku harus dipenuhi, hak-hakku harus ditunaikan. Paradigma demikian akan menimbulkan riak yang justru akan membuat setiap pihak makin sulit melihat titik terang, dan organisasi akan terseret dalam arus pusaran yang makin kencang, alih-alih keluar dari krisis dan resesi yang sudah berumur lebih dari setengah tahun.
Secara eksternal, pendekatan win-win juga menjadi kunci, karena persaingan yang bersifat menang-kalah justru akan menjadikan yang menang jadi arang, yang kalah jadi abu. Krisis ini multidimensi, dan resesi ini belum pernah ada yang mengalaminya, dan belum ada satu penawar yang mujarab untuk semua masalah yang ditimbulkan.
(ras)