Tangkap 18 Orang, LBH Jakarta: Polisi Lakukan Tindakan Sewenang-Wenang
A
A
A
JAKARTA - Pengacara LBH Jakarta, Arif Maulana mengritik tindakan Polda Metro Jaya yang melakukan penangkapan terhadap 18 orang karena diduga tidak mematuhi imbauan kepolisian dan dianggap melanggar pembatasan sosial berskala besar (PSBB) merujuk pada pasal 93 UU No. 6 Tahun 2018 tentang kekarantinaan kesehatan dan/atau Pasal 218 KUHP pada Jumat malam.
Menurut Arif, penangkapan tersebut adalah tindakan sewenang-wenang dan tidak berdasarkan hukum, mengingat penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan dengan PSBB sampai hari ini belum berlaku, oleh karenanya kepolisian belum memiliki kewenangan menerapkan sanksi pidana dengan merujuk ketentuan Pasal 93 tersebut. (Baca juga: DPR Minta Polri Tak Intimidatif Jalankan Surat Telegram Kapolri)
"Sedangkan, penerapan Pasal 218 KUHP harus merujuk kepada orang yang berkerumun untuk tujuan mengacau (volksoploop) jadi bukan orang berkerumun yang tentram dan damai," ujar Arif dalam pers rilisnya, Senin (6/4/2020).
Jadi sebetulnya, jelas Arif, sampai detik ini tidak ada kebijakan yang berubah dari pemerintah untuk menangani COVID-19 selain sebatas imbauan atau maklumat Kapolri Indonesia untuk melakukan social (pyhsical) distancing. "Harus dipahami bahwa imbauan atau maklumat tidak memiliki kekuatan hukum yang bisa menjadi dasar sanksi pemidanaan," imbuhnya.
Arif menyatakan, pemerintah melalui Presiden memang sudah menetapkan Indonesia darurat kesehatan dengan menerbitkan Keppres No. 19 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Corona Virus Disease (COVID 19 ) dan PP No. 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar pada 31/3/2020.
Namun menurutnya, diterbitkannya Keppres atau PP tersebut oleh Pemerintah tidak otomatis atau serta merta menjadikan kebijakan PSBB yang diumumkan Presiden Jokowi berlaku.
Menurut dia sesuai dengan PP tersebut harus ada penetapan Menteri Kesehatan terkait PSBB terlebih dahulu untuk menjadi dasar hukum dan pengesahan kebijakan PSBB sebagai bentuk kekarantinaan kesehatan.
Di sisi lain, kebijakan inipun harus memenuhi persyaratan tertentu Pasal 3 dan berangkat dari usulan Kepala Daerah baik itu Gubernur, Wali Kota dan Bupati atau usulan Ketua Pelaksana Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-L9) yang disetujui oleh Menteri Kesehatan melalui sebuah penetapan.
"Sementara itu Menteri Kesehatan baru menerbitkan pedoman penetapan PSBB melalui Permenkes No. 9 Tahun 2020 tentang Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid 19) pada (3/4/2020)," papar dia.
Dengan demikian, kata Arif, terang bahwa tindakan kepolisian yang melakukan tindakan hukum pidana terhadap masyarakat adalah tindakan yang tidak berdasar. Terhadap masyarakat yang dirugikan akibat tindakan sewenang-wenang Kepolisian sebagaimana hal diatas berhak menempuh upaya hukum.
Selain itu, pihaknya juga mendesak kepada Pemerintah maupun jajaran aparat penegak hukum untuk berhati-hati dan tidak menggunakan pasal karet pidana kekarantinaan kesehatan yang berpotensi mengkriminalisasi warga di tengah-tengah situasi wabah pandemi COVID-19. "Hal ini dikarenakan aturan pasal pidana tersebut dari segi rumusan norma hukumnya bermasalah, bersifat karet, dan berpotensi sewenang-wenang," tandasnya.
Menurut Arif, penangkapan tersebut adalah tindakan sewenang-wenang dan tidak berdasarkan hukum, mengingat penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan dengan PSBB sampai hari ini belum berlaku, oleh karenanya kepolisian belum memiliki kewenangan menerapkan sanksi pidana dengan merujuk ketentuan Pasal 93 tersebut. (Baca juga: DPR Minta Polri Tak Intimidatif Jalankan Surat Telegram Kapolri)
"Sedangkan, penerapan Pasal 218 KUHP harus merujuk kepada orang yang berkerumun untuk tujuan mengacau (volksoploop) jadi bukan orang berkerumun yang tentram dan damai," ujar Arif dalam pers rilisnya, Senin (6/4/2020).
Jadi sebetulnya, jelas Arif, sampai detik ini tidak ada kebijakan yang berubah dari pemerintah untuk menangani COVID-19 selain sebatas imbauan atau maklumat Kapolri Indonesia untuk melakukan social (pyhsical) distancing. "Harus dipahami bahwa imbauan atau maklumat tidak memiliki kekuatan hukum yang bisa menjadi dasar sanksi pemidanaan," imbuhnya.
Arif menyatakan, pemerintah melalui Presiden memang sudah menetapkan Indonesia darurat kesehatan dengan menerbitkan Keppres No. 19 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Corona Virus Disease (COVID 19 ) dan PP No. 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar pada 31/3/2020.
Namun menurutnya, diterbitkannya Keppres atau PP tersebut oleh Pemerintah tidak otomatis atau serta merta menjadikan kebijakan PSBB yang diumumkan Presiden Jokowi berlaku.
Menurut dia sesuai dengan PP tersebut harus ada penetapan Menteri Kesehatan terkait PSBB terlebih dahulu untuk menjadi dasar hukum dan pengesahan kebijakan PSBB sebagai bentuk kekarantinaan kesehatan.
Di sisi lain, kebijakan inipun harus memenuhi persyaratan tertentu Pasal 3 dan berangkat dari usulan Kepala Daerah baik itu Gubernur, Wali Kota dan Bupati atau usulan Ketua Pelaksana Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-L9) yang disetujui oleh Menteri Kesehatan melalui sebuah penetapan.
"Sementara itu Menteri Kesehatan baru menerbitkan pedoman penetapan PSBB melalui Permenkes No. 9 Tahun 2020 tentang Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid 19) pada (3/4/2020)," papar dia.
Dengan demikian, kata Arif, terang bahwa tindakan kepolisian yang melakukan tindakan hukum pidana terhadap masyarakat adalah tindakan yang tidak berdasar. Terhadap masyarakat yang dirugikan akibat tindakan sewenang-wenang Kepolisian sebagaimana hal diatas berhak menempuh upaya hukum.
Selain itu, pihaknya juga mendesak kepada Pemerintah maupun jajaran aparat penegak hukum untuk berhati-hati dan tidak menggunakan pasal karet pidana kekarantinaan kesehatan yang berpotensi mengkriminalisasi warga di tengah-tengah situasi wabah pandemi COVID-19. "Hal ini dikarenakan aturan pasal pidana tersebut dari segi rumusan norma hukumnya bermasalah, bersifat karet, dan berpotensi sewenang-wenang," tandasnya.
(cip)