Kesehatan Jiwa di Masa Pandemi, Banyak Orang Depresi dan Cemas

Selasa, 08 September 2020 - 14:53 WIB
loading...
Kesehatan Jiwa di Masa Pandemi, Banyak Orang Depresi dan Cemas
Imbas pandemi virus Corona yang melanda Indonesia telah menghantam multisektor. Selain ekonomi, wabah tersebut juga berdampak hebat pada sektor kesehatan. Foto/Ilustrasi/SINDOnews
A A A
JAKARTA - Imbas pandemi virus Corona (Covid-19) yang melanda Indonesia telah menghantam multisektor. Selain ekonomi, wabah tersebut juga berdampak hebat pada sektor kesehatan . Selama ini memang fokus persoalan lebih menitikberatkan pada kasus terinfeksi Covid-19 saja.

Namun ada persoalan genting lainnya yaitu masalah kesehatan jiwa. (Baca juga: 18 ABK Pulih, Total 964 WNI di Luar Negeri Sembuh dari Covid-19)

Lembaga riset kebijakan publik The Indonesian Institute (TII) mengungkapkan, berdasarkan data Swaperiksa yang dihimpun Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) dari April-Agustus 2020, sebanyak 3.443 orang yang melakukan swaperiksa ternyata mengeluhkan masalah psikologis.

(Baca juga: Prokontra Pembukaan Bioskop dan Kekhawatiran Penularan Covid-19)

Sekitar 47,9 persen di antaranya memperlihatkan gejala kecemasan, diikuti 36,1 persen menunjukkan gejala depresi dan 16 persen lainnya menyampaikan permasalahan trauma psikologis. Dari seluruh data responden dari 34 provinsi tersebut, 85 persen di antaranya ialah perempuan.

Ironisnya, pada laporan swaperiksa PDSKJI per Mei 2020, dari keseluruhan responden yang menunjukkan gejala depresi, 49 persen di antaranya berpikir tentang kematian atau melukai diri sendiri.

Demikian juga Tim Sinergi Mahadata Tanggap Covid-19 UI yang menyatakan bahwa permasalahan kesehatan jiwa memang sangat genting. Hal itu dilandasi argumen mengenai proporsi orang dengan gejala depresi yang telah menyentuh angka lebih dari 35 persen pada masa pandemi.

Mereka menegaskan angka tersebut lebih tinggi 5-6 kali jika dibandingkan dengan kejadian depresi di masyarakat secara umum jika dilihat dari Riset Kesehatan Dasar 2018. Selain itu, lebih besar 2-3 kali jika dibandingkan dengan angka kejadian depresi pada kejadian bencana non-pandemi lain.

"Tak bisa diabaikan bahwa pandemi juga mempertontonkan potret isolasi sosial, kecemasan terhadap kondisi finansial maupun ketakutan terhadap risiko penularan Covid-19 yang akhirnya mengakibatkan banyak orang mengalami gejala-gejala depresi dan kecemasan yang tinggi," kata Peneliti bidang Sosial TII Nopitri Wahyuni melalui keterangan tertulisnya yang diterima SINDOnews, Selasa (8/9/2020).

Stres merupakan hal normal dalam situasi krisis, Namun, lanjut Nopitri, akan menjadi persoalan ketika dihadapkan dengan beberapa konteks.

"Pada sebagian besar orang, seperti petugas kesehatan, individu dengan gangguan kejiwaan maupun kelompok masyarakat dengan status sosio-ekonomi rendah, akan lebih rentan terhadap risiko stress yang berimplikasi negatif," jelasnya.

Jika mempertimbangkan norma-norma gender yang masih mengakar di masyarakat, situasi pembatasan sosial banyak membuat perempuan banyak memikul beban ganda berupa pekerjaan perawatan dan beraktivitas secara ekonomi.

Pada akhirnya, seperti laporan Komnas Perempuan mengenai dinamika perubahan rumah tangga selama masa Covid-19, banyak perempuan mengalami kekerasan psikologis dan ekonomi dibandingkan bentuk kekerasan lainnya.

Menggunakan perspektif kesejahteraan sosial, situasi tersebut menggambarkan permasalahan multi-level. Tidak hanya di tingkat terkecil pada cakupan individu dan keluarga, begitu juga masalah di tingkat komunitas maupun dimensi lebih besar pada aspek kebijakan.

"Pandemi menguji bagaimana tiga level tersebut saling berkelindan untuk meningkatkan resiliensi sosial. Untuk merealisasikan hal tersebut, ekosistem penanganan tersebut pun harus menitikberatkan upaya-upaya yang mendorong tiga level tersebut agar saling menopang satu sama lain," pungkasnya.
(maf)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.2246 seconds (0.1#10.140)