DPR: Anjuran Menko PMK Soal Orang Kaya Nikahi si Miskin Kurang Etis

Jum'at, 21 Februari 2020 - 07:01 WIB
DPR: Anjuran Menko PMK Soal Orang Kaya Nikahi si Miskin Kurang Etis
DPR: Anjuran Menko PMK Soal Orang Kaya Nikahi si Miskin Kurang Etis
A A A
JAKARTA - Pernyataan Menteri Koordinator (Menko) Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Muhadjir Effendi terkait anjuran agar orang kaya menikah dengan orang miskin sebagai upaya mengentas kemiskinan, dinilai tidak tepat diucapkan seorang menko yang membidangi persoalan kemiskinan.

Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI Marwan Dasopang mengatakan, pernyataan tersebut memang sudah diklarifikasi sebagai sebuah candaan atau joke. Namun menurutnya, sebagai seorang menko, tidak etis Muhadjir melontarkan guyonan seperti itu.
”Muhadjir Effendi ini kan menko PMK. Dia nggak boleh guyonan seperti itu. Apalagi ini menyangkut strategi pembangunan kemanusiaan, menyangkut program, menyangkut strategi yang dilakukan oleh pemerintah,” katanya saat dihubungi KORAN SINDO di Jakarta kemarin.

Menurut politikus PKB ini, dalam Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 disebutkan bahwa fakir miskin dan anak-anak telantar dipelihara oleh negara, bukan berarti dengan cara menganjurkan orang kaya menikahi orang miskin. ”Pekerjaan pemerintah itu menjadikan mereka tidak miskin dengan melakukan pemberdayaan secara ekonomi, pemberdayaan secara intelektual. Jadi patut disayangkan, seorang pejabat apalagi menteri koordinator bidang PMK, membuat guyonan terhadap persoalan ini,” katanya.

Dikatakan Marwan, pemerintah bersama dengan DPR sebenarnya sudah menyetujui penyelesaian orang-orang miskin dengan memberikan Program Keluarga Harapan (PKH) 10 juta keluarga, ditambah lagi 15 juta keluarga penerima bantuan nontunai, Kartu Indonesia Sehat, dan Kartu Indonesia Pintar.

“Itu kan bagian dari upaya-upaya pemerintah memegang amanat UUD. Apakah pemerintah sudah lelah? Apakah pemerintah sudah tidak ada jalan lagi sehingga muncul pernyataan seperti itu, ya patut disayangkan,” katanya.

Diakuinya, selama ini program pengentasan kemiskinan belum berjalan maksimal karena masih ada berbagai celah, misalnya salah sasaran dan kurang mengenali potensi. “Kita sudah berada di lapangan dari 10 juta PKH itu ada yang bisa diselesaikan dengan bantuan permodalan 10 juta, selesai tahun depan. Mereka itu diberdayakan, jangan suruh kawin sama orang kaya. Saya khawatir begini kalau tak ada reaksi dari masyarakat, jangan-jangan ini dijadikan aturan atau anjuran dari Menko PMK. Ini agak kacau juga. Nggak bisa main-main,” katanya.

Pakar komunikasi politik Universitas Pelita Harapan Jakarta Emrus Sihombing mengatakan tidak elok seorang menko yang membawahi mengenai kesejahteraan masyarakat, mengeluarkan guyonan seperti itu. Apalagi, soal jodoh adalah masalah cinta dan juga ketetapan Tuhan. (Baca: Tekan Kemiskinan, Pemerintah Ajak Orang Kaya Tak Pilih-Pilih Cari Jodoh)

“Pandangan itu menurut saya ngawur. Kalau menteri lain yang bukan dalam bidangnya mengeluarkan pernyataan seperti itu dalam konteks bercanda mungkin nggak masalah; tapi kalau itu menyangkut bidangnya, ini sama dengan tidak menghargai bidangnya,” katanya.

Emrus pun menyarankan agar Muhadjir sebagai menko belajar lagi mengenai komunikasi publik. ”Meskipun sudah profesor di bidang tertentu, tidak ada salahnya beliau belajar tentang komunikasi di ruang publik, apa yang pantas disampaikan di ruang publik dan mana yang tidak pantas,” katanya.

Sementara itu, Menko PMK Muhadjir Effendi memberikan penjelasan terkait usulannya agar orang kaya menikah dengan orang miskin. Dia mengatakan bahwa hal tersebut hanya anjuran. “Fatwa kan artinya anjuran, saran, silakan saja. Saya minta ada semacam gerakan moral bagaimana memutus mata rantai kemiskinan. Itu antara lain bagaimana supaya yang kaya tidak harus memilih-milih ketika mencari jodoh atau menantu harus sesama kaya. Jadi, gerakan moral saja, fatwa itu anjuran,” katanya di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, kemarin.

Dia membantah jika usulannya tersebut bersifat wajib dan mengikat. Dia menegaskan bahwa hal itu hanya anjuran. “Enggak, enggak (wajib). Mana ada anjuran itu mengikat begitu. Cuma jangan dipelesetkan jadi wajib,” tegasnya. (Abdul Rochim)
(ysw)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.9851 seconds (0.1#10.140)