Lemahnya Literasi Media dan Kasus OCCRP
loading...
A
A
A
Dalam kasus OCCRP, narasi awal tentang Jokowi terus diperkuat di kalangan yang kritis terhadap pemerintah, sementara bantahan dari OCCRP tidak mendapat perhatian yang sama. Dari sisi jurnalistik, lemahnya penerapan prinsip verifikasi juga menjadi faktor utama. Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam buku mereka The Elements of Journalism menekankan bahwa verifikasi merupakan inti dari praktik jurnalistik yang bertanggung jawab.
Prinsip ini mengharuskan media untuk memeriksa fakta secara mendalam sebelum menyampaikan informasi kepada publik. Namun, dalam kasus ini, banyak media mengutamakan kecepatan penyampaian berita daripada akurasi.
Pemberitaan yang mengutip klaim awal tanpa investigasi mendalam menciptakan bias informasi yang signifikan, mengabaikan tanggung jawab media untuk memberikan informasi yang benar dan berimbang. Fenomena ini tidak hanya mencerminkan tantangan dalam industri media, tetapi juga menyoroti rendahnya literasi media di kalangan masyarakat.
Renee Hobbs mendefinisikan literasi media sebagai kemampuan untuk mengakses, menganalisis, mengevaluasi, dan menciptakan pesan dalam berbagai format. Literasi media yang baik mencakup keterampilan mengenali kredibilitas sumber informasi, memahami konteks pemberitaan, dan membandingkan berbagai perspektif.
Sayangnya, dalam kasus OCCRP, rendahnya literasi media membuat sebagian masyarakat mudah terpengaruh oleh informasi yang tidak terverifikasi, terutama jika narasi tersebut selaras dengan bias yang telah ada. Dari sisi teknologi, algoritma media sosial turut berperan dalam memperkuat polarisasi informasi.
Platform seperti Facebook, Twitter, dan Instagram secara otomatis menyesuaikan konten berdasarkan riwayat interaksi pengguna. Pola ini, yang sering disebut sebagai algorithmic personalization, membatasi akses masyarakat terhadap informasi alternatif, menciptakan ruang informasi tertutup yang memperkuat bias awal.
Dalam konteks kasus OCCRP, algoritma ini memastikan bahwa individu yang telah memiliki pandangan kritis terhadap pemerintah terus menerima informasi yang memperkuat bias mereka, terlepas dari kebenaran narasi tersebut. Namun, tanggung jawab untuk menangani masalah ini tidak hanya berada di tangan masyarakat, tetapi juga pada media dan platform digital.
Media perlu menegakkan kembali prinsip jurnalistik seperti verifikasi dan transparansi sumber informasi. Dalam konteks pemberitaan sensitif, proses check and recheck wajib dilakukan untuk memastikan akurasi. Media juga perlu lebih kritis dalam memilih narasumber dan menganalisis data sebelum memublikasikan laporan.
Di sisi lain, platform digital perlu mengembangkan mekanisme yang lebih baik untuk memverifikasi dan memberikan label pada informasi yang beredar, seperti fitur peringatan untuk konten yang belum terkonfirmasi atau bekerja sama dengan organisasi pemeriksa fakta.
Kolaborasi antara berbagai pihak juga diperlukan untuk meningkatkan literasi media di masyarakat. Pemerintah, akademisi, dan organisasi masyarakat sipil dapat bekerja sama untuk meningkatkan literasi media melalui program edukasi publik.
Prinsip ini mengharuskan media untuk memeriksa fakta secara mendalam sebelum menyampaikan informasi kepada publik. Namun, dalam kasus ini, banyak media mengutamakan kecepatan penyampaian berita daripada akurasi.
Pemberitaan yang mengutip klaim awal tanpa investigasi mendalam menciptakan bias informasi yang signifikan, mengabaikan tanggung jawab media untuk memberikan informasi yang benar dan berimbang. Fenomena ini tidak hanya mencerminkan tantangan dalam industri media, tetapi juga menyoroti rendahnya literasi media di kalangan masyarakat.
Renee Hobbs mendefinisikan literasi media sebagai kemampuan untuk mengakses, menganalisis, mengevaluasi, dan menciptakan pesan dalam berbagai format. Literasi media yang baik mencakup keterampilan mengenali kredibilitas sumber informasi, memahami konteks pemberitaan, dan membandingkan berbagai perspektif.
Sayangnya, dalam kasus OCCRP, rendahnya literasi media membuat sebagian masyarakat mudah terpengaruh oleh informasi yang tidak terverifikasi, terutama jika narasi tersebut selaras dengan bias yang telah ada. Dari sisi teknologi, algoritma media sosial turut berperan dalam memperkuat polarisasi informasi.
Platform seperti Facebook, Twitter, dan Instagram secara otomatis menyesuaikan konten berdasarkan riwayat interaksi pengguna. Pola ini, yang sering disebut sebagai algorithmic personalization, membatasi akses masyarakat terhadap informasi alternatif, menciptakan ruang informasi tertutup yang memperkuat bias awal.
Dalam konteks kasus OCCRP, algoritma ini memastikan bahwa individu yang telah memiliki pandangan kritis terhadap pemerintah terus menerima informasi yang memperkuat bias mereka, terlepas dari kebenaran narasi tersebut. Namun, tanggung jawab untuk menangani masalah ini tidak hanya berada di tangan masyarakat, tetapi juga pada media dan platform digital.
Media perlu menegakkan kembali prinsip jurnalistik seperti verifikasi dan transparansi sumber informasi. Dalam konteks pemberitaan sensitif, proses check and recheck wajib dilakukan untuk memastikan akurasi. Media juga perlu lebih kritis dalam memilih narasumber dan menganalisis data sebelum memublikasikan laporan.
Di sisi lain, platform digital perlu mengembangkan mekanisme yang lebih baik untuk memverifikasi dan memberikan label pada informasi yang beredar, seperti fitur peringatan untuk konten yang belum terkonfirmasi atau bekerja sama dengan organisasi pemeriksa fakta.
Kolaborasi antara berbagai pihak juga diperlukan untuk meningkatkan literasi media di masyarakat. Pemerintah, akademisi, dan organisasi masyarakat sipil dapat bekerja sama untuk meningkatkan literasi media melalui program edukasi publik.