Gugat Privatisasi, Serikat Pekerja Pertamina Ajukan Uji Materi UU BUMN
loading...
A
A
A
JAKARTA - Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB) mengajukan gugatan uji materi Pasal 77 huruf c dan huruf d UU Nomor 19/2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Gugatan secara khusus ditujukan pada privatisasi PT Pertamina (Persero) dan anak usahanya.
Dalam materi gugatan, FSPPB yang diwakili kuasa hukumnya Janses E Sihaloho menyatakan PT Pertamina merupakan perusahaan persero yang memiliki kegiatan usaha di bidang penyelenggara usaha energi. Pertamina telah memiliki anak-anak usaha yang menunjang kegiatannya. Sesuai Pasal 77 huruf c dan huruf d UU 19/2003, maka Pertamina termasuk perusahaan yang dilarang untuk diprivatisasi.
(Baca: Tiga Faktor Ini yang Bikin Pertamina Merugi Rp11 Triliun)
Pasal 77 huruf c UU 19/2003 berbunyi, "Persero yang tidak dapat diprivatisasi adalah: Persero yang bergerak di sektor tertentu yang oleh pemerintah diberikan tugas khusus untuk melaksanakan kegiatan tertentu yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat."
Sementara Pasal 77 huruf d berbunyi, "Persero yang tidak dapat diprivatisasi adalah: Persero yang bergerak di bidang usaha sumber daya alam yang secara tegas berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dilarang untuk diprivatisasi."
Menurut FSPPB, akibat tidak diaturnya anak perusahaan persero/perusahaan milik persero pada Pasal 77 huruf c dan d UU BUMN menyebabkan celah untuk dilakukannya privatisasi atau pelepasan seluruh saham anak perusahaan kepada perorangan atau swasta. Hal ini dinilai merugikan hak konstitusional para pekerja.
”Sehingga Pemohon dirugikan hak konstitusionalnya," ujar kuasa hukum pemohon Janses E Sihaloho di hadapan hakim konstitusi, di Gedung MK, Selasa (1/9/2020).
(Baca: Uji Materiil UU Pekerja Migran, Komnas Perempuan Sebut Syarat Perizinan P3MI Harga Mati)
Janses menegaskan, ada 14 alasan uji materiil tersebut diajukan. Di antaranya filosofi Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN yang mengatur larangan privatisasi Persero. Hal ini bertujuan menjaga agar “hak menguasai negara/HMN” tidak hilang dalam pengelolaan (beheersdaad) cabang-cabang produksi yang penting bagi negara serta menguasai hajat hidup orang banyak.
Selain itu, berdasarkan Peraturan Menteri BUMN Nomor PER-03/MBU/2012 tentang Pedoman Pengangkatan Anggota Direksi dan Anggota Dewan Komisaris Anak Perusahaan Badan Usaha Milik Negara, Anak Perusahaan dari Perusahaan Persero bukanlah suatu Perusahaan Persero. Anak perusahaan itu merupakan perseroan terbatas biasa yang tidak tunduk pada UU BUMN namun tunduk pada Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 5 ayat (4) dan ayat (5) Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi, Pertamina seharusnya tidak boleh melepaskan saham kepada publik/swasta/perorangan. Pasalnya, apabila sahamnya tidak 100% milik negara, Pertamina tidak bisa lagi mendapatkan wilayah kerja terbuka tertentu.
(Baca: Proyeksi Keuangan Pertamina di Akhir Tahun 2020)
Alasan lain, bisnis inti Pertamina kini telah dikelola terpisah oleh badan usaha berbeda. Dengan kata lain, bisnis inti tersebut kini menjadi anak perusahaan. Pembentukan sub holding anak perusahaan persero maupun unbundling itulah celah hukum untuk melakukan privatisasi terhadap anak-anak perusahaan Pertamina.
”Dengan terbentuknya sub holding dan/atau unbundling, maka terbukalah peluang dari anak-anak perusahaan/perusahaan milik Persero untuk melantai di bursa, sebagaimana yang telah terjadi dengan PT Perusahaan Gas Negara (PGN),” urai Janses.
Karena itu, FSPPB meminta MK menyatakan Pasal 77 huruf c dan huruf d UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN bertentangan dengan UUD 1945. Pasal itu tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang larangan privatisasi hanya diberlakukan secara limitatif terhadap persero dan tidak diberlakukan terhadap perusahaan milik persero/anak perusahaan persero.
Lihat Juga: Jambore Nasional Tim Elang Relawan BRI, Perkuat Kapasitas dan Ketangguhan Menghadapi Bencana
Dalam materi gugatan, FSPPB yang diwakili kuasa hukumnya Janses E Sihaloho menyatakan PT Pertamina merupakan perusahaan persero yang memiliki kegiatan usaha di bidang penyelenggara usaha energi. Pertamina telah memiliki anak-anak usaha yang menunjang kegiatannya. Sesuai Pasal 77 huruf c dan huruf d UU 19/2003, maka Pertamina termasuk perusahaan yang dilarang untuk diprivatisasi.
(Baca: Tiga Faktor Ini yang Bikin Pertamina Merugi Rp11 Triliun)
Pasal 77 huruf c UU 19/2003 berbunyi, "Persero yang tidak dapat diprivatisasi adalah: Persero yang bergerak di sektor tertentu yang oleh pemerintah diberikan tugas khusus untuk melaksanakan kegiatan tertentu yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat."
Sementara Pasal 77 huruf d berbunyi, "Persero yang tidak dapat diprivatisasi adalah: Persero yang bergerak di bidang usaha sumber daya alam yang secara tegas berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dilarang untuk diprivatisasi."
Menurut FSPPB, akibat tidak diaturnya anak perusahaan persero/perusahaan milik persero pada Pasal 77 huruf c dan d UU BUMN menyebabkan celah untuk dilakukannya privatisasi atau pelepasan seluruh saham anak perusahaan kepada perorangan atau swasta. Hal ini dinilai merugikan hak konstitusional para pekerja.
”Sehingga Pemohon dirugikan hak konstitusionalnya," ujar kuasa hukum pemohon Janses E Sihaloho di hadapan hakim konstitusi, di Gedung MK, Selasa (1/9/2020).
(Baca: Uji Materiil UU Pekerja Migran, Komnas Perempuan Sebut Syarat Perizinan P3MI Harga Mati)
Janses menegaskan, ada 14 alasan uji materiil tersebut diajukan. Di antaranya filosofi Pasal 77 huruf c dan huruf d UU BUMN yang mengatur larangan privatisasi Persero. Hal ini bertujuan menjaga agar “hak menguasai negara/HMN” tidak hilang dalam pengelolaan (beheersdaad) cabang-cabang produksi yang penting bagi negara serta menguasai hajat hidup orang banyak.
Selain itu, berdasarkan Peraturan Menteri BUMN Nomor PER-03/MBU/2012 tentang Pedoman Pengangkatan Anggota Direksi dan Anggota Dewan Komisaris Anak Perusahaan Badan Usaha Milik Negara, Anak Perusahaan dari Perusahaan Persero bukanlah suatu Perusahaan Persero. Anak perusahaan itu merupakan perseroan terbatas biasa yang tidak tunduk pada UU BUMN namun tunduk pada Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 5 ayat (4) dan ayat (5) Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi, Pertamina seharusnya tidak boleh melepaskan saham kepada publik/swasta/perorangan. Pasalnya, apabila sahamnya tidak 100% milik negara, Pertamina tidak bisa lagi mendapatkan wilayah kerja terbuka tertentu.
(Baca: Proyeksi Keuangan Pertamina di Akhir Tahun 2020)
Alasan lain, bisnis inti Pertamina kini telah dikelola terpisah oleh badan usaha berbeda. Dengan kata lain, bisnis inti tersebut kini menjadi anak perusahaan. Pembentukan sub holding anak perusahaan persero maupun unbundling itulah celah hukum untuk melakukan privatisasi terhadap anak-anak perusahaan Pertamina.
”Dengan terbentuknya sub holding dan/atau unbundling, maka terbukalah peluang dari anak-anak perusahaan/perusahaan milik Persero untuk melantai di bursa, sebagaimana yang telah terjadi dengan PT Perusahaan Gas Negara (PGN),” urai Janses.
Karena itu, FSPPB meminta MK menyatakan Pasal 77 huruf c dan huruf d UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN bertentangan dengan UUD 1945. Pasal itu tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang larangan privatisasi hanya diberlakukan secara limitatif terhadap persero dan tidak diberlakukan terhadap perusahaan milik persero/anak perusahaan persero.
Lihat Juga: Jambore Nasional Tim Elang Relawan BRI, Perkuat Kapasitas dan Ketangguhan Menghadapi Bencana
(muh)