Inersia Moneter: Perilaku dan Psikologi di Balik Kebijakan Bank Sentral
loading...
A
A
A
Ciplis Gema Qori’ah
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Jember
KEBIJAKAN moneter selalu menjadi pilar utama dalam menjaga stabilitas ekonomi suatu negara. Di tengah ketidakpastian ekonomi global, bank sentral memiliki tugas yang kompleks dalam merancang kebijakan yang tidak hanya menjaga inflasi tetap terkendali, tetapi juga mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Namun, di balik keputusan kebijakan ini, terdapat dinamika perilaku para pengambil kebijakan yang memainkan peran penting.
Inersia moneter, atau kecenderungan bank sentral untuk mempertahankan status quo kebijakan moneter meskipun kondisi ekonomi berubah, menjadi pilihan yan tak mungkin dipungkiri oleh bank sentral. Faktor-faktor psikologis, seperti loss aversion atau keengganan menerima kerugian, dapat menyebabkan bank sentral menunda perubahan kebijakan penting, terutama dalam transisi dari kebijakan ekspansif ke kebijakan yang lebih ketat. Dalam konteks ini, penting untuk memahami bagaimana perilaku individu yang duduk di komite kebijakan moneter dapat mempengaruhi keputusan yang diambil, serta dampaknya terhadap stabilitas ekonomi.
Perilaku Bank Sentral: Lebih dari Sekadar Data
Bank sentral, seperti Federal Reserve di Amerika Serikat, Bank Sentral Eropa, dan Bank Indonesia, sering kali dianggap sebagai lembaga yang beroperasi berdasarkan analisis data ekonomi yang objektif. Namun, manusia yang membuat keputusan di balik kebijakan tersebut juga dipengaruhi oleh faktor psikologis dan emosional. Salah satu bias yang paling relevan dalam konteks kebijakan moneter adalah loss aversion, di mana para pembuat kebijakan lebih fokus pada risiko kerugian daripada potensi keuntungan. Ini sering kali mengarah pada keputusan untuk mempertahankan kebijakan moneter yang ada, meskipun kondisi ekonomi mungkin sudah memerlukan perubahan.
Sebagai contoh, selama dan setelah krisis keuangan global 2008, banyak bank sentral, termasuk Federal Reserve, menerapkan kebijakan moneter yang sangat akomodatif, dengan suku bunga yang mendekati nol dan program pelonggaran kuantitatif (quantitative easing) untuk mendorong likuiditas dan mencegah resesi lebih lanjut. Namun, meskipun ekonomi mulai pulih, bank-bank sentral ini cenderung ragu untuk menaikkan suku bunga dan kembali ke kebijakan normal. Inersia ini sebagian disebabkan oleh ketidakpastian terkait dampak dari kebijakan tersebut, tetapi juga oleh bias perilaku, di mana pembuat kebijakan enggan mengambil risiko yang bisa merugikan stabilitas ekonomi.
Peran Doves, Hawks, dan Pigeons dalam Pengambilan Keputusan
Dalam konsep yang dijelaskan Masciandaro dan Favaretto tahun 2016, pembuat kebijakan moneter dikelompokkan menjadi tiga kategori utama: doves, hawks, dan pigeons. Doves cenderung mendukung kebijakan moneter yang ekspansif, seperti suku bunga rendah dan pelonggaran kuantitatif, untuk mendukung pertumbuhan ekonomi dan mencegah deflasi. Sebaliknya, hawks lebih mendukung kebijakan moneter yang ketat, dengan prioritas menjaga inflasi tetap rendah bahkan jika itu berarti mengorbankan pertumbuhan ekonomi. Sementara itu, pigeons berada di antara kedua kubu ini, sering kali mencari kompromi antara stabilitas harga dan pertumbuhan ekonomi.
Pengelompokan ini memberikan kerangka kerja untuk memahami bagaimana perdebatan internal di antara pembuat kebijakan dapat memengaruhi keputusan akhir. Namun, Masciandaro dan Favaretto (2016) menunjukkan bahwa ketika loss aversion hadir, hawks dan doves dapat mulai mengurangi ekstremitas pandangan mereka. Hawks menjadi lebih berhati-hati dalam mendorong kenaikan suku bunga, sementara doves menjadi lebih skeptis terhadap pelonggaran lebih lanjut. Ini mengarah pada peningkatan jumlah pigeons, yang cenderung mempertahankan kebijakan yang ada, sehingga memperkuat inersia moneter.
Implikasi dari Inersia Kebijakan Moneter
Inersia dalam kebijakan moneter bukan tanpa risiko. Salah satu dampak utamanya adalah ketidakmampuan bank sentral untuk merespons perubahan ekonomi dengan cepat dan efektif. Ketika bank sentral terlalu lama mempertahankan suku bunga rendah, misalnya, hal ini dapat menyebabkan inflasi yang tidak terkendali atau menciptakan gelembung aset, seperti yang terjadi pada pasar properti sebelum krisis keuangan 2008. Di sisi lain, jika bank sentral terlalu cepat dalam menaikkan suku bunga, mereka dapat memperlambat pemulihan ekonomi atau bahkan memicu resesi baru.
Namun, dari sudut pandang psikologis, loss aversion membuat bank sentral cenderung lebih memilih risiko inflasi yang sedikit lebih tinggi daripada risiko resesi. Ini mencerminkan preferensi untuk menghindari kerugian jangka pendek yang dapat memengaruhi reputasi dan karier para pembuat kebijakan. Dalam konteks ini, pengambilan keputusan kebijakan moneter tidak hanya didasarkan pada data ekonomi, tetapi juga pada faktor-faktor non-ekonomi yang berkaitan dengan perilaku manusia.
Tata Kelola Bank Sentral dan Implikasi Kebijakan
Dengan adanya inersia moneter yang dipengaruhi oleh bias perilaku, penting bagi tata kelola bank sentral untuk dirancang dengan mempertimbangkan kemungkinan bias ini. struktur komite kebijakan moneter dan aturan pengambilan keputusan harus mampu mengurangi dampak bias perilaku dan mendorong pengambilan keputusan yang lebih rasional. Salah satu pendekatan yang mungkin adalah dengan meningkatkan transparansi dalam proses pengambilan keputusan, sehingga tekanan publik dapat memaksa pembuat kebijakan untuk lebih responsif terhadap perubahan ekonomi.
Selain itu, penting untuk memastikan bahwa komite kebijakan moneter terdiri dari anggota dengan pandangan yang beragam. Jika terlalu banyak hawks atau terlalu banyak doves dalam sebuah komite, hal ini dapat menyebabkan bias yang berlebihan dalam kebijakan yang diambil. Sebaliknya, keberagaman perspektif dapat mendorong diskusi yang lebih mendalam dan seimbang, sehingga menghasilkan kebijakan yang lebih adaptif terhadap kondisi ekonomi yang berubah-ubah.
Kesimpulan: Meningkatkan Perhatian pada Faktor Perilaku
Kebijakan moneter tidak hanya tentang angka dan grafik. Keputusan yang diambil oleh bank sentral dipengaruhi oleh faktor-faktor perilaku yang sering kali tidak disadari, tetapi memiliki dampak signifikan terhadap perekonomian. Inersia moneter yang disebabkan oleh loss aversion menunjukkan bahwa pembuat kebijakan cenderung menghindari perubahan yang mungkin merugikan dalam jangka pendek, meskipun perubahan tersebut diperlukan untuk menjaga stabilitas ekonomi jangka panjang.
Oleh karena itu, memahami dan mengatasi bias perilaku dalam pengambilan keputusan kebijakan moneter adalah langkah penting untuk memastikan bahwa bank sentral dapat menjalankan perannya dengan lebih efektif. Dalam dunia yang semakin kompleks dan terhubung, di mana keputusan kebijakan moneter dapat memiliki dampak global, penting bagi para pembuat kebijakan untuk tidak hanya mengandalkan data ekonomi, tetapi juga untuk mempertimbangkan bagaimana faktor psikologis dapat memengaruhi keputusan mereka.
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Jember
KEBIJAKAN moneter selalu menjadi pilar utama dalam menjaga stabilitas ekonomi suatu negara. Di tengah ketidakpastian ekonomi global, bank sentral memiliki tugas yang kompleks dalam merancang kebijakan yang tidak hanya menjaga inflasi tetap terkendali, tetapi juga mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Namun, di balik keputusan kebijakan ini, terdapat dinamika perilaku para pengambil kebijakan yang memainkan peran penting.
Inersia moneter, atau kecenderungan bank sentral untuk mempertahankan status quo kebijakan moneter meskipun kondisi ekonomi berubah, menjadi pilihan yan tak mungkin dipungkiri oleh bank sentral. Faktor-faktor psikologis, seperti loss aversion atau keengganan menerima kerugian, dapat menyebabkan bank sentral menunda perubahan kebijakan penting, terutama dalam transisi dari kebijakan ekspansif ke kebijakan yang lebih ketat. Dalam konteks ini, penting untuk memahami bagaimana perilaku individu yang duduk di komite kebijakan moneter dapat mempengaruhi keputusan yang diambil, serta dampaknya terhadap stabilitas ekonomi.
Perilaku Bank Sentral: Lebih dari Sekadar Data
Bank sentral, seperti Federal Reserve di Amerika Serikat, Bank Sentral Eropa, dan Bank Indonesia, sering kali dianggap sebagai lembaga yang beroperasi berdasarkan analisis data ekonomi yang objektif. Namun, manusia yang membuat keputusan di balik kebijakan tersebut juga dipengaruhi oleh faktor psikologis dan emosional. Salah satu bias yang paling relevan dalam konteks kebijakan moneter adalah loss aversion, di mana para pembuat kebijakan lebih fokus pada risiko kerugian daripada potensi keuntungan. Ini sering kali mengarah pada keputusan untuk mempertahankan kebijakan moneter yang ada, meskipun kondisi ekonomi mungkin sudah memerlukan perubahan.
Sebagai contoh, selama dan setelah krisis keuangan global 2008, banyak bank sentral, termasuk Federal Reserve, menerapkan kebijakan moneter yang sangat akomodatif, dengan suku bunga yang mendekati nol dan program pelonggaran kuantitatif (quantitative easing) untuk mendorong likuiditas dan mencegah resesi lebih lanjut. Namun, meskipun ekonomi mulai pulih, bank-bank sentral ini cenderung ragu untuk menaikkan suku bunga dan kembali ke kebijakan normal. Inersia ini sebagian disebabkan oleh ketidakpastian terkait dampak dari kebijakan tersebut, tetapi juga oleh bias perilaku, di mana pembuat kebijakan enggan mengambil risiko yang bisa merugikan stabilitas ekonomi.
Peran Doves, Hawks, dan Pigeons dalam Pengambilan Keputusan
Dalam konsep yang dijelaskan Masciandaro dan Favaretto tahun 2016, pembuat kebijakan moneter dikelompokkan menjadi tiga kategori utama: doves, hawks, dan pigeons. Doves cenderung mendukung kebijakan moneter yang ekspansif, seperti suku bunga rendah dan pelonggaran kuantitatif, untuk mendukung pertumbuhan ekonomi dan mencegah deflasi. Sebaliknya, hawks lebih mendukung kebijakan moneter yang ketat, dengan prioritas menjaga inflasi tetap rendah bahkan jika itu berarti mengorbankan pertumbuhan ekonomi. Sementara itu, pigeons berada di antara kedua kubu ini, sering kali mencari kompromi antara stabilitas harga dan pertumbuhan ekonomi.
Pengelompokan ini memberikan kerangka kerja untuk memahami bagaimana perdebatan internal di antara pembuat kebijakan dapat memengaruhi keputusan akhir. Namun, Masciandaro dan Favaretto (2016) menunjukkan bahwa ketika loss aversion hadir, hawks dan doves dapat mulai mengurangi ekstremitas pandangan mereka. Hawks menjadi lebih berhati-hati dalam mendorong kenaikan suku bunga, sementara doves menjadi lebih skeptis terhadap pelonggaran lebih lanjut. Ini mengarah pada peningkatan jumlah pigeons, yang cenderung mempertahankan kebijakan yang ada, sehingga memperkuat inersia moneter.
Implikasi dari Inersia Kebijakan Moneter
Inersia dalam kebijakan moneter bukan tanpa risiko. Salah satu dampak utamanya adalah ketidakmampuan bank sentral untuk merespons perubahan ekonomi dengan cepat dan efektif. Ketika bank sentral terlalu lama mempertahankan suku bunga rendah, misalnya, hal ini dapat menyebabkan inflasi yang tidak terkendali atau menciptakan gelembung aset, seperti yang terjadi pada pasar properti sebelum krisis keuangan 2008. Di sisi lain, jika bank sentral terlalu cepat dalam menaikkan suku bunga, mereka dapat memperlambat pemulihan ekonomi atau bahkan memicu resesi baru.
Namun, dari sudut pandang psikologis, loss aversion membuat bank sentral cenderung lebih memilih risiko inflasi yang sedikit lebih tinggi daripada risiko resesi. Ini mencerminkan preferensi untuk menghindari kerugian jangka pendek yang dapat memengaruhi reputasi dan karier para pembuat kebijakan. Dalam konteks ini, pengambilan keputusan kebijakan moneter tidak hanya didasarkan pada data ekonomi, tetapi juga pada faktor-faktor non-ekonomi yang berkaitan dengan perilaku manusia.
Tata Kelola Bank Sentral dan Implikasi Kebijakan
Dengan adanya inersia moneter yang dipengaruhi oleh bias perilaku, penting bagi tata kelola bank sentral untuk dirancang dengan mempertimbangkan kemungkinan bias ini. struktur komite kebijakan moneter dan aturan pengambilan keputusan harus mampu mengurangi dampak bias perilaku dan mendorong pengambilan keputusan yang lebih rasional. Salah satu pendekatan yang mungkin adalah dengan meningkatkan transparansi dalam proses pengambilan keputusan, sehingga tekanan publik dapat memaksa pembuat kebijakan untuk lebih responsif terhadap perubahan ekonomi.
Selain itu, penting untuk memastikan bahwa komite kebijakan moneter terdiri dari anggota dengan pandangan yang beragam. Jika terlalu banyak hawks atau terlalu banyak doves dalam sebuah komite, hal ini dapat menyebabkan bias yang berlebihan dalam kebijakan yang diambil. Sebaliknya, keberagaman perspektif dapat mendorong diskusi yang lebih mendalam dan seimbang, sehingga menghasilkan kebijakan yang lebih adaptif terhadap kondisi ekonomi yang berubah-ubah.
Kesimpulan: Meningkatkan Perhatian pada Faktor Perilaku
Kebijakan moneter tidak hanya tentang angka dan grafik. Keputusan yang diambil oleh bank sentral dipengaruhi oleh faktor-faktor perilaku yang sering kali tidak disadari, tetapi memiliki dampak signifikan terhadap perekonomian. Inersia moneter yang disebabkan oleh loss aversion menunjukkan bahwa pembuat kebijakan cenderung menghindari perubahan yang mungkin merugikan dalam jangka pendek, meskipun perubahan tersebut diperlukan untuk menjaga stabilitas ekonomi jangka panjang.
Oleh karena itu, memahami dan mengatasi bias perilaku dalam pengambilan keputusan kebijakan moneter adalah langkah penting untuk memastikan bahwa bank sentral dapat menjalankan perannya dengan lebih efektif. Dalam dunia yang semakin kompleks dan terhubung, di mana keputusan kebijakan moneter dapat memiliki dampak global, penting bagi para pembuat kebijakan untuk tidak hanya mengandalkan data ekonomi, tetapi juga untuk mempertimbangkan bagaimana faktor psikologis dapat memengaruhi keputusan mereka.
(zik)