Kongres Jadi Batu Uji PAN sebagai Partai Reformis atau Oligarki
A
A
A
JAKARTA - Analis Politik Sekaligus Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting, Pangi Syarwi Chaniago menilai, Kongres PAN yang akan diselenggarakan dalam waktu dekat ini menjadi ujian konsistensi bagi partai dan seluruh kadernya. PAN sebagai anak kandung reformasi punya beban moral untuk terus memperjuangkan nilai dan etika serta agenda reformasi. (Baca juga: Zulkifli Hasan Punya Peluang Besar Menang di Kongres PAN)
Menurut Pangi, elit partai terutama pendiri, dewan pembina dan mantan Ketua Umum PAN, Amien Rais menjadi figur sentral yang kini diuji untuk memastikan diri dan partainya untuk tidak terjebak ke dalam tradisi feodalisme dan menguatnya sistem oligarki kepartaian yang kini hampir melanda semua partai politik di Indonesia. (Baca juga: Jelang Kongres, Dinamika Politik PAN Mulai Menggeliat)
"Oligarki dan feodalisme adalah benalu demokrasi yang seharusnya dibuang jauh dari tubuh partai politik, sehingga penguatan demokrasi di internal partai politik adalah sebuah keniscayaan. Amien Rais sebagai tokoh senior harus memastikan penguatan demokrasi di internal partai berjalan baik," tutur Pangi kepada SINDOnews, Jumat (17/1/2020).
Pangi menilai, salah satu kata kuncinya adalah memastikan regenerasi atau suksesi kepemimpinan partai terus berjalan secara reguler, bukan saja memastikan partai berperan aktif melahirkan kader-kader terbaik, tetapi juga memastikan membuka jalan bagi kader terbaik untuk tampil memimpin dan menakhodai kapal PAN tanpa ada hambatan dari para senior yang ingin mempertahankan status quo.
Di sisi lain, lanjut dia, kader PAN harus juga jeli membaca situasi dan dinamika politik terkini, sistem politik dan sistem pemilu yang telah menjadi pemicu menguatnya personalisasi di setiap level kepemimpinan politik, termasuk partai politik.
"Sehingga keberadaan tokoh/figur sentral dalam sebuah partai akan sangat memengaruhi performa partai politik. Namun sebagian partai justru salah mengartikannya dengan melanggengkan kepemimpinan seorang tokoh dan menghambat terjadinya regenerasi di internal partai," papar dia.
Pangi menilai, PAN kini ada di persimpangan jalan, apakah tetap konsisten dengan nilai, agenda dan tradisi politik mazhab "partai reformis" atau ikut ikutan terjangkit "virus oligarki" yang sama, di mana Amien Rais adalah sosok yang punya beban moral dan tanggung jawab bagaimana memastikan PAN tetap pada trayek partai reformis.
"Di sisi lain kongres kali ini adalah pembuktian tesis apakah masih kuat pengaruh/cengkraman Amien Rais di partai berlambang matahari yang pernah didirikannya tersebut? Adanya upaya memperlemah bargaining position Amien Rais sebagai figur sentral dalam partai adalah kesalahan fatal, PAN tanpa Amien Rais akan kehilangan semangat juang dan dis-orientasi," ujar dia.
Menurut Pangi, upaya memosisikan diri berkonflik dengan Amien Rais oleh sebagian atau segelintir elite yang ingin berebut kursi ketua umum tentu sangat kontraproduktif dalam rangka upaya membesarkan partai. Maka jalan kompetisi yang demokratis tanpa saling meniadakan dan menyingkirkan adalah pilihan paling realistis.
Selain itu, partai politik harusnya menjadi partai yang modern, tidak lagi bergantung pada satu tokoh sentral atau figure. Diakuinya, ketergantungan pada figur ini hampir semua merata terjadi di parpol kita. Namun sayang, lepas dari perangkap rezim otoriter Soeharto, partai bukannya beranjak menjadi modern, malah menjadi elitis, dan figur sentris. Partai beramai-ramai bergeser menjadi partai feodal dan relasi patron klien, menjadi elitis dan membangun DNA oligarki kepartaian.
"Jualan partai pada pemilu bukan program atau ideologi partai namun gula-gula, figur populis, uang dan politik identitas. Partai juga belum tumbuh menjadi partai moderen berbasiskan nilai nilai demokratis," imbuh dia.
Baginya, oligarki mengancam. Partai mulai berani punggungi demokrasi, elit partai mulai meneriakkan slogan-slogan antidemokrasi, menganggapnya sebagai sistem politik yang mahal, tidak efesien dan mengidap bahaya politik identitas, yang mereka kecam harusnya oligarkinya bukan demokrasinya.
Hari ini tren partai menguat ke oligarki dan kartelisasi seperti PDIP, Nasdem, Gerindra, Demokrat dan sepertinya beberapa partai papan tengah juga akan ikut-ikutan, hampir tidak terjadi pertukaran elite secara reguler. Bahkan anaknya sudah disiapkan untuk menggantikannya, parpol dikelola tidak ubahnya seperti mengelola perusahaan keluarga.
"Menurut Juan Linz (1996), sebuah ciri khas partai demokrasi prasyarat mutlaknya adalah melakukan pergantian kekuasaan elite secara teratur, berpindah tangan dan terjadi pembatasan kekuasaan pada struktur kepemimpinan partai politik, menyiapkan kader pemimpin pada masa yang akan datang. Kegelisahan kita, fenomena ini hampir tidak terjadi dalam partai kita sekarang, realitas politik tidak terjadi pertukaran elite secara reguler, partai dimenangkan oligarki dan diambil keuntungan oleh oligarki partai, diasuh oleh demokrasi," katanya.
Menurut Pangi, elit partai terutama pendiri, dewan pembina dan mantan Ketua Umum PAN, Amien Rais menjadi figur sentral yang kini diuji untuk memastikan diri dan partainya untuk tidak terjebak ke dalam tradisi feodalisme dan menguatnya sistem oligarki kepartaian yang kini hampir melanda semua partai politik di Indonesia. (Baca juga: Jelang Kongres, Dinamika Politik PAN Mulai Menggeliat)
"Oligarki dan feodalisme adalah benalu demokrasi yang seharusnya dibuang jauh dari tubuh partai politik, sehingga penguatan demokrasi di internal partai politik adalah sebuah keniscayaan. Amien Rais sebagai tokoh senior harus memastikan penguatan demokrasi di internal partai berjalan baik," tutur Pangi kepada SINDOnews, Jumat (17/1/2020).
Pangi menilai, salah satu kata kuncinya adalah memastikan regenerasi atau suksesi kepemimpinan partai terus berjalan secara reguler, bukan saja memastikan partai berperan aktif melahirkan kader-kader terbaik, tetapi juga memastikan membuka jalan bagi kader terbaik untuk tampil memimpin dan menakhodai kapal PAN tanpa ada hambatan dari para senior yang ingin mempertahankan status quo.
Di sisi lain, lanjut dia, kader PAN harus juga jeli membaca situasi dan dinamika politik terkini, sistem politik dan sistem pemilu yang telah menjadi pemicu menguatnya personalisasi di setiap level kepemimpinan politik, termasuk partai politik.
"Sehingga keberadaan tokoh/figur sentral dalam sebuah partai akan sangat memengaruhi performa partai politik. Namun sebagian partai justru salah mengartikannya dengan melanggengkan kepemimpinan seorang tokoh dan menghambat terjadinya regenerasi di internal partai," papar dia.
Pangi menilai, PAN kini ada di persimpangan jalan, apakah tetap konsisten dengan nilai, agenda dan tradisi politik mazhab "partai reformis" atau ikut ikutan terjangkit "virus oligarki" yang sama, di mana Amien Rais adalah sosok yang punya beban moral dan tanggung jawab bagaimana memastikan PAN tetap pada trayek partai reformis.
"Di sisi lain kongres kali ini adalah pembuktian tesis apakah masih kuat pengaruh/cengkraman Amien Rais di partai berlambang matahari yang pernah didirikannya tersebut? Adanya upaya memperlemah bargaining position Amien Rais sebagai figur sentral dalam partai adalah kesalahan fatal, PAN tanpa Amien Rais akan kehilangan semangat juang dan dis-orientasi," ujar dia.
Menurut Pangi, upaya memosisikan diri berkonflik dengan Amien Rais oleh sebagian atau segelintir elite yang ingin berebut kursi ketua umum tentu sangat kontraproduktif dalam rangka upaya membesarkan partai. Maka jalan kompetisi yang demokratis tanpa saling meniadakan dan menyingkirkan adalah pilihan paling realistis.
Selain itu, partai politik harusnya menjadi partai yang modern, tidak lagi bergantung pada satu tokoh sentral atau figure. Diakuinya, ketergantungan pada figur ini hampir semua merata terjadi di parpol kita. Namun sayang, lepas dari perangkap rezim otoriter Soeharto, partai bukannya beranjak menjadi modern, malah menjadi elitis, dan figur sentris. Partai beramai-ramai bergeser menjadi partai feodal dan relasi patron klien, menjadi elitis dan membangun DNA oligarki kepartaian.
"Jualan partai pada pemilu bukan program atau ideologi partai namun gula-gula, figur populis, uang dan politik identitas. Partai juga belum tumbuh menjadi partai moderen berbasiskan nilai nilai demokratis," imbuh dia.
Baginya, oligarki mengancam. Partai mulai berani punggungi demokrasi, elit partai mulai meneriakkan slogan-slogan antidemokrasi, menganggapnya sebagai sistem politik yang mahal, tidak efesien dan mengidap bahaya politik identitas, yang mereka kecam harusnya oligarkinya bukan demokrasinya.
Hari ini tren partai menguat ke oligarki dan kartelisasi seperti PDIP, Nasdem, Gerindra, Demokrat dan sepertinya beberapa partai papan tengah juga akan ikut-ikutan, hampir tidak terjadi pertukaran elite secara reguler. Bahkan anaknya sudah disiapkan untuk menggantikannya, parpol dikelola tidak ubahnya seperti mengelola perusahaan keluarga.
"Menurut Juan Linz (1996), sebuah ciri khas partai demokrasi prasyarat mutlaknya adalah melakukan pergantian kekuasaan elite secara teratur, berpindah tangan dan terjadi pembatasan kekuasaan pada struktur kepemimpinan partai politik, menyiapkan kader pemimpin pada masa yang akan datang. Kegelisahan kita, fenomena ini hampir tidak terjadi dalam partai kita sekarang, realitas politik tidak terjadi pertukaran elite secara reguler, partai dimenangkan oligarki dan diambil keuntungan oleh oligarki partai, diasuh oleh demokrasi," katanya.
(cip)