Rakyat Kini Menunggu Bukti Nyata dari Janji Besar Prabowo
loading...
A
A
A
Bahkan, jumlah ini pun belum sepenuhnya tersedia dalam bentuk uang nyata. Artinya, rencana ini lebih bersifat prediktif ketimbang realistis. Tak hanya itu, dia mengungkapkan bahwa laporan dari IMF menunjukkan skeptisisme terhadap target ini, mengingat Indonesia masih menghadapi masalah struktural di sektor keuangan.
Salah satu tantangan utama adalah keterbatasan uang kartal yang dimiliki negara. “Data Bank Indonesia menunjukkan bahwa uang kartal yang beredar hanya sekitar Rp954,5 triliun. Angka ini jauh dari cukup untuk menggerakkan ekonomi sebesar Indonesia, alih-alih mendukung target pertumbuhan 8 persen," imbuhnya.
Belajar dari Amerika Serikat, Pieter Zulkifli menuturkan negara adidaya tersebut pernah menghadapi krisis keuangan besar pada 2008-2009. Untuk mengatasi masalah tersebut, mereka mencetak uang dalam jumlah besar, mencapai USD2000 miliar atau sekitar 30.000 triliun rupiah. Namun, langkah ini didukung oleh faktor produktif dan proyek-proyek besar di bawah pengaruh kekuatan ekonominya.
"Sayangnya, Indonesia tidak memiliki posisi serupa. Ketergantungan pada mata uang asing seperti dolar AS dan Euro membuat rupiah terjepit. Sebagian besar transaksi ekspor-impor menggunakan mata uang asing, yang secara langsung mengurangi sirkulasi rupiah di pasar domestik. Hal ini juga berdampak pada kemampuan pemerintah membayar utang luar negeri," jelasnya.
Mantan Ketua Komisi III DPR itu menuturkan, PPN 12 persen beban berat bagi rakyat. Bahkan, kenaikan PPN akan menjadikan Indonesia salah satu negara dengan tarif PPN tertinggi di ASEAN, sejajar dengan Filipina. Dia mengamini bila kebijakan ini memang bertujuan meningkatkan pendapatan negara, akan tetapi efek sampingnya langsung dirasakan rakyat, terutama kelompok berpenghasilan rendah.
Harga barang dan jasa diperkirakan melonjak, sementara daya beli masyarakat semakin menurun. "Saat daya beli melemah, sulit membayangkan target penghapusan kemiskinan dapat tercapai. Dalam situasi seperti ini, kebijakan fiskal yang tidak pro-rakyat justru memperburuk ketimpangan ekonomi. Dengan konsumsi domestik sebagai pilar utama pertumbuhan ekonomi, peningkatan beban pajak berisiko meruntuhkan fondasi tersebut," katanya.
Pieter Zulkifli pun mengingatkan Presiden Prabowo agar memiliki keberanian, inovasi, dan kebijakan yang berpihak pada rakyat untuk merealisasikan janjinya terkait penegakan hukum dan peningkatan kualitas SDM. Pemerintah perlu fokus pada upaya peningkatan produktivitas domestik, pengurangan ketergantungan pada mata uang asing, dan pengelolaan ekspor-impor yang lebih baik.
"Transparansi dalam pengelolaan APBN juga harus menjadi prioritas. Anggaran sebesar Rp3.600 triliun untuk tahun 2025 harus benar-benar terealisasi, bukan sekadar angka di atas kertas. Kebijakan perpajakan yang adil dan pro-rakyat menjadi langkah penting berikutnya," ungkapnya.
Selain itu, Pieter Zulkifli menegaskan bahwa penegakan hukum harus ditegakkan secara konsisten. Pelanggaran seperti pungutan liar (pungli) dan pemerasan oleh oknum penegak hukum harus diberantas. Untuk itu, dia mendorong agar RUU Perampasan Aset segera disahkan. Apalagi, berdasarkan data Indonesia Corruption Watch (ICW), kerugian negara akibat korupsi mencapai Rp279,2 triliun dalam delapan tahun terakhir, tetapi pemulihan hanya Rp37,2 triliun.
Salah satu tantangan utama adalah keterbatasan uang kartal yang dimiliki negara. “Data Bank Indonesia menunjukkan bahwa uang kartal yang beredar hanya sekitar Rp954,5 triliun. Angka ini jauh dari cukup untuk menggerakkan ekonomi sebesar Indonesia, alih-alih mendukung target pertumbuhan 8 persen," imbuhnya.
Belajar dari Amerika Serikat, Pieter Zulkifli menuturkan negara adidaya tersebut pernah menghadapi krisis keuangan besar pada 2008-2009. Untuk mengatasi masalah tersebut, mereka mencetak uang dalam jumlah besar, mencapai USD2000 miliar atau sekitar 30.000 triliun rupiah. Namun, langkah ini didukung oleh faktor produktif dan proyek-proyek besar di bawah pengaruh kekuatan ekonominya.
"Sayangnya, Indonesia tidak memiliki posisi serupa. Ketergantungan pada mata uang asing seperti dolar AS dan Euro membuat rupiah terjepit. Sebagian besar transaksi ekspor-impor menggunakan mata uang asing, yang secara langsung mengurangi sirkulasi rupiah di pasar domestik. Hal ini juga berdampak pada kemampuan pemerintah membayar utang luar negeri," jelasnya.
Mantan Ketua Komisi III DPR itu menuturkan, PPN 12 persen beban berat bagi rakyat. Bahkan, kenaikan PPN akan menjadikan Indonesia salah satu negara dengan tarif PPN tertinggi di ASEAN, sejajar dengan Filipina. Dia mengamini bila kebijakan ini memang bertujuan meningkatkan pendapatan negara, akan tetapi efek sampingnya langsung dirasakan rakyat, terutama kelompok berpenghasilan rendah.
Harga barang dan jasa diperkirakan melonjak, sementara daya beli masyarakat semakin menurun. "Saat daya beli melemah, sulit membayangkan target penghapusan kemiskinan dapat tercapai. Dalam situasi seperti ini, kebijakan fiskal yang tidak pro-rakyat justru memperburuk ketimpangan ekonomi. Dengan konsumsi domestik sebagai pilar utama pertumbuhan ekonomi, peningkatan beban pajak berisiko meruntuhkan fondasi tersebut," katanya.
Pieter Zulkifli pun mengingatkan Presiden Prabowo agar memiliki keberanian, inovasi, dan kebijakan yang berpihak pada rakyat untuk merealisasikan janjinya terkait penegakan hukum dan peningkatan kualitas SDM. Pemerintah perlu fokus pada upaya peningkatan produktivitas domestik, pengurangan ketergantungan pada mata uang asing, dan pengelolaan ekspor-impor yang lebih baik.
"Transparansi dalam pengelolaan APBN juga harus menjadi prioritas. Anggaran sebesar Rp3.600 triliun untuk tahun 2025 harus benar-benar terealisasi, bukan sekadar angka di atas kertas. Kebijakan perpajakan yang adil dan pro-rakyat menjadi langkah penting berikutnya," ungkapnya.
Selain itu, Pieter Zulkifli menegaskan bahwa penegakan hukum harus ditegakkan secara konsisten. Pelanggaran seperti pungutan liar (pungli) dan pemerasan oleh oknum penegak hukum harus diberantas. Untuk itu, dia mendorong agar RUU Perampasan Aset segera disahkan. Apalagi, berdasarkan data Indonesia Corruption Watch (ICW), kerugian negara akibat korupsi mencapai Rp279,2 triliun dalam delapan tahun terakhir, tetapi pemulihan hanya Rp37,2 triliun.
(rca)