RUU Perampasan Aset Tak Masuk Prolegnas, Komitmen DPR Berantas Korupsi Dipertanyakan

Sabtu, 09 November 2024 - 22:43 WIB
loading...
RUU Perampasan Aset...
asdf
A A A
JAKARTA - Komitmen politik serta keseriusan DPR periode 2024-2029 menjadikan pemberantasan korupsi sebagai agenda prioritas kembali dipertanyakan. Hal ini lantaran tidak masuknya Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset dalam daftar usulan Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2025-2029.

Padahal, keberdaan UU Perampasan asset ini menjadi instrument yang sangat esensial dalam pemberantasan korupsi di Indonesia.

Pengamat Hukum dan pegiat antikorupsi Hardjuno Wiwoho melihat ketidakseriusan DPR membahas RUU ini makin terlihat tatkala muncul wacara perubahan diksi dalam RUU tersebut dari “perampasan” menjadi “pemulihan” aset. Pasalnya, perubahan diksi bisa menghilangkan roh utama dari RUU tersebut.

“Bagi saya, elemen esensial dari RUU ini adalah soal perampasan aset dan bukan hanya pada pemulihan aset tanpa memperhatikan asal-usul harta tersebut. Yang kita kejar, dari mana sumber-sumber aset itu,’ ujarnya di Jakarta, Sabtu (9/11/2024).



Hardjuno mengaku tidak mau terjebak dalam polemik soal nama atau judul RUU itu nantinya. Yang paling penting, UU ini adalah instrumen penting untuk memperkuat langkah negara dalam menyita aset yang diduga hasil kejahatan tanpa harus melalui proses pidana yang panjang.

“Jujur, saya tidak mau terjebak dalam polemik diksi itu. Yang terpenting bagi saya adalah RUU itu disahkan menjadi UU. Saya tantang DPR, ayo segera sahkan RUU itu menjadi UU dalam waktu dekat untuk memberikan efek jera bagi koruptor,” jelasnya.

Hardjuno berharap RUU ini menjadi alat efektif untuk menuntut transparansi dan akuntabilitas para penyelenggara negara. Karenanya, RUU Perampasan Aset ini segera disahkan tanpa lagi terjebak dalam polemik diksi semata. Menurut Hardjuno, ketakutan ini mungkin berasal dari kerumitan konsep Non-Conviction Based Asset Forfeiture (NCB) yang diusung dalam RUU tersebut.



Di negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Inggris, NCB telah diterapkan secara efektif untuk menyita aset yang diduga terkait dengan kejahatan tanpa menunggu vonis pidana.

Di Amerika Serikat, misalnya, pemerintah dapat menyita aset yang dicurigai dari hasil aktivitas kriminal melalui Civil Asset Forfeiture Reform Act, yang memungkinkan penyitaan aset secara perdata dalam kasus-kasus di mana bukti pidana sulit diperoleh.

Di Inggris, pemerintah bahkan dapat menyita properti yang diduga terkait kejahatan terorganisir melalui mekanisme serupa, yang sangat berguna dalam menghadapi kasus-kasus dengan bukti tidak langsung atau saksi yang enggan bersaksi.

Hardjuno menegaskan Indonesia harus belajar dari negara-negara tersebut, di mana mekanisme perampasan aset berbasis perdata terbukti sangat efektif dalam melawan korupsi dan kejahatan finansial yang rumit.

"Jika DPR memahami betul manfaat RUU ini, mereka seharusnya lebih progresif dan berani dalam memasukkan RUU Perampasan Aset ke dalam Prolegnas," tegasnya.

Dengan regulasi yang mendukung, negara dapat mengambil kembali kekayaan publik yang diselewengkan, bahkan dalam kasus-kasus yang kompleks seperti temuan uang Rp1 triliun di rumah mantan hakim Mahkamah Agung.

Hardjuno juga mengingatkan bahwa pembahasan RUU ini tidak hanya bertujuan untuk memperkuat pengembalian aset negara, tetapi juga untuk memperkuat supremasi hukum di Indonesia.

Hardjuno juga menyoroti pentingnya adanya standar pembuktian tinggi dalam penerapan NCB untuk melindungi hak-hak sipil sambil tetap memberikan wewenang kepada negara untuk menyita aset yang mencurigakan.

“Prinsip kehati-hatian dalam penerapan NCB, seperti yang dilakukan di Inggris, dapat diadopsi di Indonesia agar mekanisme ini sejalan dengan prinsip hak asasi manusia dan prinsip hukum yang adil,” katanya.

Di tengah kerugian negara akibat korupsi yang mencapai ratusan triliun rupiah, Hardjuno menekankan bahwa RUU Perampasan Aset dapat menjadi solusi untuk mempercepat pemulihan aset.

Berdasarkan data dari Indonesia Corruption Watch (ICW), kerugian negara akibat korupsi yang dipulihkan melalui mekanisme pidana saat ini hanya mencakup sebagian kecil dari total kerugian.

“Dengan adanya RUU ini, negara diharapkan dapat mengambil langkah yang lebih tegas dan efisien dalam menyita aset korupsi, yang secara langsung akan memperkuat anggaran publik untuk kepentingan masyarakat luas,” tandas Hardjuno.

Hardjuno menegaskan penundaan pembahasan RUU Perampasan Aset adalah suatu kehilangan peluang bagi Indonesia untuk memperkuat upaya pemberantasan korupsi.

"Kita butuh keberanian dan pemahaman yang lebih mendalam dari para wakil rakyat agar regulasi ini bisa segera terwujud. Dengan adanya RUU ini, Indonesia dapat membangun sistem hukum yang lebih tangguh dalam menghadapi korupsi, sekaligus memperkuat kepercayaan publik terhadap komitmen negara dalam menjaga kekayaan publik dari tindakan kriminal,” ucapnya.

(cip)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.0748 seconds (0.1#10.140)