Hikmahanto Juwana: Adopsi FCTC, Rancangan Permenkes Sarat Intervensi Asing
loading...
A
A
A
JAKARTA - Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Rancangan Permenkes) terkait penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek dinilai menyalahi Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI). Pasalnya, ketentuan tersebut telah dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis (UU Merek).
Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia sekaligus Rektor Universitas Jenderal Achmad Yani Hikmahanto Juwana, mempertanyakan poin dalam Rancangan Permenkes tersebut. Sebab, pemuatan identitas merek merupakan hak pemilik usaha untuk menjadi pembeda dengan kompetitor. Wacana penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek juga dinilai sarat akan intervensi asing.
"Karena kan tentu pelaku usaha ingin bersaing dengan pelaku usaha lain dengan memunculkan apa sih perbedaan dari mereknya dengan pesaing," ujar Hikmahanto, Jumat (8/11/2024).
Menurut dia, tekanan terhadap industri hasil tembakau, dalam hal ini termasuk penyeragaman bungkus rokok, tidak dipungkiri merupakan intervensi asing melalui Framework Convention on Tobacco Control (FCTC). Bahkan, menurut peneliti hukum itu, dalam salah satu pasal FCTC menuding jika tampilan di bungkus rokok memberi sumbangsih atas kenaikan jumlah perokok.
Padahal tudingan itu dinilai tidak benar dan harus dipertanyakan kembali. Hikmahanto melihat pengaturan penyeragaman bungkus rokok yang membuat kehilangan identitas merek ini sebagai agenda pemaksaan asing.
Hikmahanto menyatakan Rancangan Permenkes untuk mengatur kemasan rokok tanpa identitas merek menjadi paradoks di Indonesia. Ketika Australia pertama kali menjalankan kebijakan serupa pada 2012, Indonesia menjadi salah satu negara yang melawannya.
Tapi, kini justru Indonesia berupaya menerapkan kebijakan kontradiktif dengan melakukan langkah serupa. Padahal tindakan tersebut telah memberikan gangguan yang terasa oleh tenaga kerja hingga produk ekspor Indonesia, khususnya produk hasil tembakau.
"Kita juga pernah melawan kebijakan-kebijakan negara untuk mengenakan plain packaging itu. Tetapi sekarang mau menerapkan di Indonesia," ujar Hikmahanto.
Hikmahanto melihat, agenda-agenda yang dibawa Kemenkes melalui PP 28/2024 maupun Rancangan Permenkes berkiblat pada FCTC, sebab pemerintah secara seksama telah mempelajarinya dan memilih untuk tidak meratifikasinya. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia seakan tidak berdaulat dalam menentukan arah kebijakan.
"Kita tidak dan jangan pernah tunduk dengan FCTC. Tapi mereka memaksa lewat Kemenkes supaya ketentuan-ketentuan yang ada dalam FCTC itu diadopsi. Jadi bukan diratifikasi, diadopsi ke dalam hukum Indonesia," ujarnya.
Tindakan diam-diam mengadopsi ketentuan FCTC ke dalam kebijakan dinilai tidak sesuai dengan pandangan Presiden Indonesia Prabowo Subianto. Hikmahanto mengatakan, dalam berbagai kesempatan, Prabowo telah menegaskan melawan berbagai macam bentuk intervensi dari luar negeri dan berkomitmen menjadikan Indonesia lepas dari segala intervensi asing.
"Jadi jangan kita mau percaya dengan apa yang disampaikan dari luar negeri. Pak Prabowo menegakkan hal itu. Kita negara besar. Kita harus tegak mempertahankan kedaulatan. Apa yang terbaik untuk Indonesia, itulah kebijakan yang harus diambil," tegas Hikmahanto.
Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia sekaligus Rektor Universitas Jenderal Achmad Yani Hikmahanto Juwana, mempertanyakan poin dalam Rancangan Permenkes tersebut. Sebab, pemuatan identitas merek merupakan hak pemilik usaha untuk menjadi pembeda dengan kompetitor. Wacana penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek juga dinilai sarat akan intervensi asing.
"Karena kan tentu pelaku usaha ingin bersaing dengan pelaku usaha lain dengan memunculkan apa sih perbedaan dari mereknya dengan pesaing," ujar Hikmahanto, Jumat (8/11/2024).
Menurut dia, tekanan terhadap industri hasil tembakau, dalam hal ini termasuk penyeragaman bungkus rokok, tidak dipungkiri merupakan intervensi asing melalui Framework Convention on Tobacco Control (FCTC). Bahkan, menurut peneliti hukum itu, dalam salah satu pasal FCTC menuding jika tampilan di bungkus rokok memberi sumbangsih atas kenaikan jumlah perokok.
Padahal tudingan itu dinilai tidak benar dan harus dipertanyakan kembali. Hikmahanto melihat pengaturan penyeragaman bungkus rokok yang membuat kehilangan identitas merek ini sebagai agenda pemaksaan asing.
Hikmahanto menyatakan Rancangan Permenkes untuk mengatur kemasan rokok tanpa identitas merek menjadi paradoks di Indonesia. Ketika Australia pertama kali menjalankan kebijakan serupa pada 2012, Indonesia menjadi salah satu negara yang melawannya.
Tapi, kini justru Indonesia berupaya menerapkan kebijakan kontradiktif dengan melakukan langkah serupa. Padahal tindakan tersebut telah memberikan gangguan yang terasa oleh tenaga kerja hingga produk ekspor Indonesia, khususnya produk hasil tembakau.
"Kita juga pernah melawan kebijakan-kebijakan negara untuk mengenakan plain packaging itu. Tetapi sekarang mau menerapkan di Indonesia," ujar Hikmahanto.
Hikmahanto melihat, agenda-agenda yang dibawa Kemenkes melalui PP 28/2024 maupun Rancangan Permenkes berkiblat pada FCTC, sebab pemerintah secara seksama telah mempelajarinya dan memilih untuk tidak meratifikasinya. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia seakan tidak berdaulat dalam menentukan arah kebijakan.
"Kita tidak dan jangan pernah tunduk dengan FCTC. Tapi mereka memaksa lewat Kemenkes supaya ketentuan-ketentuan yang ada dalam FCTC itu diadopsi. Jadi bukan diratifikasi, diadopsi ke dalam hukum Indonesia," ujarnya.
Tindakan diam-diam mengadopsi ketentuan FCTC ke dalam kebijakan dinilai tidak sesuai dengan pandangan Presiden Indonesia Prabowo Subianto. Hikmahanto mengatakan, dalam berbagai kesempatan, Prabowo telah menegaskan melawan berbagai macam bentuk intervensi dari luar negeri dan berkomitmen menjadikan Indonesia lepas dari segala intervensi asing.
"Jadi jangan kita mau percaya dengan apa yang disampaikan dari luar negeri. Pak Prabowo menegakkan hal itu. Kita negara besar. Kita harus tegak mempertahankan kedaulatan. Apa yang terbaik untuk Indonesia, itulah kebijakan yang harus diambil," tegas Hikmahanto.
(cip)