Sebagian Gugatan Ciptaker Dikabulkan MK, Pemerintah-DPR Perlu Bikin UU Ketenagakerjaan Baru Paling Lambat 2 Tahun
loading...
A
A
A
JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) menilai Pemerintah dan DPR RI perlu membentuk Undang-Undang Ketenagakerjaan baru paling lama dua tahun. Pasalnya, sebagian materi atau substansi Undang-Undang (UU) Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan telah dikabulkan lantaran adanya putusan MK.
Permintaan itu termuat dalam memori putusan uji materi UU Ciptaker nomor perkara: 168/PUU-XXI/2023 tentang yang diajukan oleh Partai Buruh dan enam pemohon lainnya pada Kamis (31/10/2024).
Hakim konstitusi Enny Nurbaningsih mengatakan, UU Ketenagakerjaan telah diuji konstitualitasnya sebanyak 37 kali. Dari jumlah itu, sebanyak 36 gugatan telah diputus oleh MK dan ada 12 permohonan dikabulkan, baik seluruhnya maupun kabul sebagian.
"Artinya, sebelum sebagian materi/substansi UU 13/2003 diubah dengan UU 6/2023 tentang Ciptaker, sejumlah materi/substansi dalam UU 13/2003 telah dinyatakan oleh Mahkamah bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, baik untuk seluruh norma yang diuji maupun yang dinyatakan inkonstitusional atau konstitusional secara bersyarat," tutur Enny.
Terhadap fakta tersebut, Enny menilai, sebagian materi UU 13/2003 tidak utuh lagi. Apalagi, sambungnya, sebagian materi UU Ketenagakerjaan telah diubah dengan UU Ciptaker.
"Meskipun diubah dengan UU 6/2023, ternyata tidak semua materi/substansi UU 13/2003 diubah oleh pembentuk undang-undang. Artinya, saat ini, untuk materi/substansi yang diatur oleh undang-undang, hal ihwal yang berkenaan dengan ketenagakerjaan diatur dalam dua Undang-undang yaitu UU 13/2003 dan UU 6/2023," katanya.
Selain itu, sambungnya, sebagian materi atau substansi UU Ketenagakerjaan tetap merujuk kepada sejumlah putusan MK. Berdasarkan fakta tersebut dalam batas penalaran yang wajar, ia berkata, ada kemungkinan sejumlah materi/substansi di antara kedua UU itu tidak sinkron atau tidak harmonis.
Bahkan, katanya, ancaman tidak konsisten, tidak sinkron, dan tidak harmonis akan semakin sulit dihindarkan atau dicegah dengan telah dinyatakan sejumlah norma dalam UU Ketenagakerjaan bertentangan dengan UUD 1945 oleh MK. Apalagi, kata dia, sebagian norma di UU Ketenagakerjaan telah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945.
Kendati demikian, Enny menilai, terbuka kemungkinan terjadi perhimpitan antara norma yang dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dalam UU Ketenagakerjaan dengan norma yang dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dalam UU Ciptaker. Menurutnya, kemungkinan tersebut terjadi lantaran sejumlah norma dalam UU Ketenagakerjaan berkaitan dengan perubahan pada UU Ciptaker.
"Sekali pun yang dipersoalkan para pemohon dalam permohonan a quo adalah sebagian besar norma dalam klaster ketenagakerjaan dalam UU 6/2023, untuk memahami secara komprehensif semua norma yang diuji konstitusionalitasnya tersebut, Mahkamah pun membaca peraturan pelaksana UU 6/2023, termasuk pula membaca peraturan perundang-undangan yang dinilai relevan," kata Enny.
"Setelah membaca peraturan dimaksud, Mahkamah mendapatkan fakta yaitu: sejumlah peraturan pemerintah dibuat tanpa mendapat delegasi dari UU 6/2023. Tidak hanya itu, terdapat banyak materi dalam peraturan pemerintah yang jikalau diletakkan dalam konteks hierarki peraturan perundang-undangan merupakan materi yang seharusnya menjadi materi UU, bukan materi peraturan perundang-undangan yang lebih rendah dari UU," tuturnya.
Salah satunya, kata dia, materi terkait dengan pembatasan hak dan kewajiban warga negara dan kewajiban pekerja/buruh dan pemberi kerja/pengusaha. Padahal, sambungnya, pembatasan hanya dapat dilakukan dengan produk hukum berupa UU seperti yang diatur dalam Pasal 28J ayat 2 UUD 1945.
"Berdasarkan fakta di atas, perhimpitan norma yang diatur dalam UU 13/2003 dengan norma dalam UU 6/2023 sangat mungkin akan mengancam perlindungan hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil bagi warga megara in casu yang berpotensi merugikan pekerja/buruh dan pemberi kerja/pengusaha sebagaimana amanat Pasal 28D ayat 1 UUD 1945," ucapnya.
Dengan begitu, Enny menilai perumusan norma dalam UU Ketenagakerjaan akan sulit dipahami secara awam, termasuk oleh pekerja. Jika semua masalah tersebut dibiarkan berlarut-larut dan tidak segera dihentikan/diakhiri, kata Enny, tata kelola dan hukum ketenagakerjaan akan mudah terperosok dan kemudian terjebak dalam ancaman ketidakpastian hukum dan ketidakadilan yang berkepanjangan.
"Oleh karena itu, menurut Mahkamah, pembentuk Undang-undang segera membentuk Undang-undang Ketenagakerjaan yang baru dan memisahkan atau mengeluarkan dari yang diatur dalam UU 6/2023," ujarnya.
Dengan UU Ketenagakerjaan baru, Enny meyakini. masalah adanya ancaman ketidakharmonisan dan ketidaksinkronan materi/substansi Undang-undang Ketenagakerjaan dapat diurai, ditata ulang dan segera diselesaikan. Tidak hanya itu, ia menilai, UU Ketenagakerjaan baru akan lebih mudah dipahami.
"Dengan menggunakan dasar pemikiran tersebut, waktu paling lama dua tahun dinilai oleh Mahkamah cukup bagi pembentuk Undang-undang untuk membuat Undang-undang Ketenagakerjaan baru yang substansinya menampung materi UU 13/2003 dan UU 6/2023, serta sekaligus menampung substansi dan semangat sejumlah putusan Mahkamah yang berkenaan dengan ketenagakerjaan dengan melibatkan partisipasi aktif serikat pekerja/serikat buruh," katanya.
Sebelumnya, MK mengabulkan sebagian uji materi Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja terkait klaster Tenaga Kerja Asing (TKA). Uji materi nomor 168/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh Partai Buruh dkk ini mempersoalkan konstitusionalitas norma Pasal 42 Ayat (4) dalam Pasal 81 angka 4 UU Nomor 6 Tahun 2023.
Permintaan itu termuat dalam memori putusan uji materi UU Ciptaker nomor perkara: 168/PUU-XXI/2023 tentang yang diajukan oleh Partai Buruh dan enam pemohon lainnya pada Kamis (31/10/2024).
Hakim konstitusi Enny Nurbaningsih mengatakan, UU Ketenagakerjaan telah diuji konstitualitasnya sebanyak 37 kali. Dari jumlah itu, sebanyak 36 gugatan telah diputus oleh MK dan ada 12 permohonan dikabulkan, baik seluruhnya maupun kabul sebagian.
"Artinya, sebelum sebagian materi/substansi UU 13/2003 diubah dengan UU 6/2023 tentang Ciptaker, sejumlah materi/substansi dalam UU 13/2003 telah dinyatakan oleh Mahkamah bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, baik untuk seluruh norma yang diuji maupun yang dinyatakan inkonstitusional atau konstitusional secara bersyarat," tutur Enny.
Terhadap fakta tersebut, Enny menilai, sebagian materi UU 13/2003 tidak utuh lagi. Apalagi, sambungnya, sebagian materi UU Ketenagakerjaan telah diubah dengan UU Ciptaker.
"Meskipun diubah dengan UU 6/2023, ternyata tidak semua materi/substansi UU 13/2003 diubah oleh pembentuk undang-undang. Artinya, saat ini, untuk materi/substansi yang diatur oleh undang-undang, hal ihwal yang berkenaan dengan ketenagakerjaan diatur dalam dua Undang-undang yaitu UU 13/2003 dan UU 6/2023," katanya.
Selain itu, sambungnya, sebagian materi atau substansi UU Ketenagakerjaan tetap merujuk kepada sejumlah putusan MK. Berdasarkan fakta tersebut dalam batas penalaran yang wajar, ia berkata, ada kemungkinan sejumlah materi/substansi di antara kedua UU itu tidak sinkron atau tidak harmonis.
Bahkan, katanya, ancaman tidak konsisten, tidak sinkron, dan tidak harmonis akan semakin sulit dihindarkan atau dicegah dengan telah dinyatakan sejumlah norma dalam UU Ketenagakerjaan bertentangan dengan UUD 1945 oleh MK. Apalagi, kata dia, sebagian norma di UU Ketenagakerjaan telah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945.
Kendati demikian, Enny menilai, terbuka kemungkinan terjadi perhimpitan antara norma yang dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dalam UU Ketenagakerjaan dengan norma yang dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dalam UU Ciptaker. Menurutnya, kemungkinan tersebut terjadi lantaran sejumlah norma dalam UU Ketenagakerjaan berkaitan dengan perubahan pada UU Ciptaker.
"Sekali pun yang dipersoalkan para pemohon dalam permohonan a quo adalah sebagian besar norma dalam klaster ketenagakerjaan dalam UU 6/2023, untuk memahami secara komprehensif semua norma yang diuji konstitusionalitasnya tersebut, Mahkamah pun membaca peraturan pelaksana UU 6/2023, termasuk pula membaca peraturan perundang-undangan yang dinilai relevan," kata Enny.
"Setelah membaca peraturan dimaksud, Mahkamah mendapatkan fakta yaitu: sejumlah peraturan pemerintah dibuat tanpa mendapat delegasi dari UU 6/2023. Tidak hanya itu, terdapat banyak materi dalam peraturan pemerintah yang jikalau diletakkan dalam konteks hierarki peraturan perundang-undangan merupakan materi yang seharusnya menjadi materi UU, bukan materi peraturan perundang-undangan yang lebih rendah dari UU," tuturnya.
Salah satunya, kata dia, materi terkait dengan pembatasan hak dan kewajiban warga negara dan kewajiban pekerja/buruh dan pemberi kerja/pengusaha. Padahal, sambungnya, pembatasan hanya dapat dilakukan dengan produk hukum berupa UU seperti yang diatur dalam Pasal 28J ayat 2 UUD 1945.
"Berdasarkan fakta di atas, perhimpitan norma yang diatur dalam UU 13/2003 dengan norma dalam UU 6/2023 sangat mungkin akan mengancam perlindungan hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil bagi warga megara in casu yang berpotensi merugikan pekerja/buruh dan pemberi kerja/pengusaha sebagaimana amanat Pasal 28D ayat 1 UUD 1945," ucapnya.
Dengan begitu, Enny menilai perumusan norma dalam UU Ketenagakerjaan akan sulit dipahami secara awam, termasuk oleh pekerja. Jika semua masalah tersebut dibiarkan berlarut-larut dan tidak segera dihentikan/diakhiri, kata Enny, tata kelola dan hukum ketenagakerjaan akan mudah terperosok dan kemudian terjebak dalam ancaman ketidakpastian hukum dan ketidakadilan yang berkepanjangan.
"Oleh karena itu, menurut Mahkamah, pembentuk Undang-undang segera membentuk Undang-undang Ketenagakerjaan yang baru dan memisahkan atau mengeluarkan dari yang diatur dalam UU 6/2023," ujarnya.
Dengan UU Ketenagakerjaan baru, Enny meyakini. masalah adanya ancaman ketidakharmonisan dan ketidaksinkronan materi/substansi Undang-undang Ketenagakerjaan dapat diurai, ditata ulang dan segera diselesaikan. Tidak hanya itu, ia menilai, UU Ketenagakerjaan baru akan lebih mudah dipahami.
"Dengan menggunakan dasar pemikiran tersebut, waktu paling lama dua tahun dinilai oleh Mahkamah cukup bagi pembentuk Undang-undang untuk membuat Undang-undang Ketenagakerjaan baru yang substansinya menampung materi UU 13/2003 dan UU 6/2023, serta sekaligus menampung substansi dan semangat sejumlah putusan Mahkamah yang berkenaan dengan ketenagakerjaan dengan melibatkan partisipasi aktif serikat pekerja/serikat buruh," katanya.
Sebelumnya, MK mengabulkan sebagian uji materi Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja terkait klaster Tenaga Kerja Asing (TKA). Uji materi nomor 168/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh Partai Buruh dkk ini mempersoalkan konstitusionalitas norma Pasal 42 Ayat (4) dalam Pasal 81 angka 4 UU Nomor 6 Tahun 2023.
(abd)