Prokontra Pembukaan Sekolah saat Pandemi Masih Melanda
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah telah memberikan lampu hijau bagi sekolah yang berada di zona kuning dan hijau Covid-19 untuk membuka proses belajar secara tatap muka. Opini masyarakat pun terbelah.
Sebanyak 50% responden mengaku tidak setuju dengan jika sekolah yang sudah berada di zona kuning maupun hijau harus dibuka, sementara sebagian responden lainnya memberikan pertanyaan dukungan.
Semua hasil ini terangkum dalam survei online SINDOnews yang digelar pada 19-26 Agustus 2020 lalu. Para responden yang masuk dalam golongan “pro” pembukaan sekolah saat pandemi mengaku sepakat karena mereka banyak menghadapi kendala selama menempuh pendidikan dengan sistem online.
Di antaranya jaringan internet yang tidak stabil, kesulitan orang tua membeli kuota internet serta perangkat lain yang kurang mendukung seperti laptop dan gadget.Segala kendala ini pada akhirnya memunculkan tuntutan dari orang tua dan siswa agar dapat segera dilakukan proses belajar secara tatap muka.
Terlebih juga belajar secara tatap muka dirasa lebih efektif dalam membentuk pemahaman siswa ketimbang belajar secara online.“Banyak siswa yang merasa lebih mengerti apabila sekolah secara langsung tatap muka daripada menggunakan daring,” ujar Monik, orang tua siswa.(
)
Efektivitas proses belajar dalam membentuk pemahaman juga bersumber dari ketidakmampuan orang tua, baik secara wawasan maupun keahlian teknologi untuk mendampingi anak-anak mereka selama belajar online. Semua ini diakui pada akhirnya sangat menghambat proses pembelajaran di rumah.“Saya bingung kalau sudah harus pakai aplikasi macam-macam, ribet,” ujar Ike, seorang ibu dari dua anak yang masih duduk di bangku SD.
Pandangan berbeda diungkapkan oleh 50% responden lainnya. Mereka tidak setuju atas pembukaan sekolah di tengah pandemi meskipun sudah berstatus hijau dan kuning. Hal ini didasarkan dengan melihat risiko penularan yang masih sangat tinggi.( )
Bagi Ahadiyanto, seorang karyawan di Jakarta, jumlah kasus Covid-19 terus meningkat, sementara anak-anak menjadi kelompok yang rentan terhadap Covid-19.
“Anak-anak rentan sekali terhadap penularan penyakit ini karena mereka sering abai terhadap proteksi diri khususnya penggunaan alat pelindung seperti masker. Sering lupa cuci tangan juga kalau sudah main,” ujarnya.
Meski demikian, kalaupun sekolah terpaksa dibuka, maka 93% responden setuju untuk menerapkan sistem masuk sekolah secara bergilir. Wisnu, salah satu responden asal Bekasi menyebut sistem gilir bisa dilakukan dengan cara membatasi jumlah siswa yang masuk dengan membagi jadwal dalam beberapa sesi. Dengan demikian jarak fisik tetap terjaga.
Selain itu sekolah juga tidak perlu memaksakan untuk tetap menerapkan jam belajar ideal seperti pada waku kondisi normal. Sebanyak 90% responden setuju untuk menerapkan kebijakan mengurangi jam sekolah.
Terpenting adalah pihak sekolah harus bisa memastikan agar protokol kesehatan bisa berjalan secara ketat. Terlebih mengatur serta memberi pengertian kepada anak-anak untuk mematuhi protokol kesehatan pastinya akan lebih sulit dibandingkan jika aktivitas itu diterapkan pada orang dewasa.
Pola komunikasi yang tepat serta pengawasan yang ketat menjadi kunci utama mengatasi persoalan ini.
Sebanyak 50% responden mengaku tidak setuju dengan jika sekolah yang sudah berada di zona kuning maupun hijau harus dibuka, sementara sebagian responden lainnya memberikan pertanyaan dukungan.
Semua hasil ini terangkum dalam survei online SINDOnews yang digelar pada 19-26 Agustus 2020 lalu. Para responden yang masuk dalam golongan “pro” pembukaan sekolah saat pandemi mengaku sepakat karena mereka banyak menghadapi kendala selama menempuh pendidikan dengan sistem online.
Di antaranya jaringan internet yang tidak stabil, kesulitan orang tua membeli kuota internet serta perangkat lain yang kurang mendukung seperti laptop dan gadget.Segala kendala ini pada akhirnya memunculkan tuntutan dari orang tua dan siswa agar dapat segera dilakukan proses belajar secara tatap muka.
Terlebih juga belajar secara tatap muka dirasa lebih efektif dalam membentuk pemahaman siswa ketimbang belajar secara online.“Banyak siswa yang merasa lebih mengerti apabila sekolah secara langsung tatap muka daripada menggunakan daring,” ujar Monik, orang tua siswa.(
Baca Juga
Efektivitas proses belajar dalam membentuk pemahaman juga bersumber dari ketidakmampuan orang tua, baik secara wawasan maupun keahlian teknologi untuk mendampingi anak-anak mereka selama belajar online. Semua ini diakui pada akhirnya sangat menghambat proses pembelajaran di rumah.“Saya bingung kalau sudah harus pakai aplikasi macam-macam, ribet,” ujar Ike, seorang ibu dari dua anak yang masih duduk di bangku SD.
Pandangan berbeda diungkapkan oleh 50% responden lainnya. Mereka tidak setuju atas pembukaan sekolah di tengah pandemi meskipun sudah berstatus hijau dan kuning. Hal ini didasarkan dengan melihat risiko penularan yang masih sangat tinggi.( )
Bagi Ahadiyanto, seorang karyawan di Jakarta, jumlah kasus Covid-19 terus meningkat, sementara anak-anak menjadi kelompok yang rentan terhadap Covid-19.
“Anak-anak rentan sekali terhadap penularan penyakit ini karena mereka sering abai terhadap proteksi diri khususnya penggunaan alat pelindung seperti masker. Sering lupa cuci tangan juga kalau sudah main,” ujarnya.
Meski demikian, kalaupun sekolah terpaksa dibuka, maka 93% responden setuju untuk menerapkan sistem masuk sekolah secara bergilir. Wisnu, salah satu responden asal Bekasi menyebut sistem gilir bisa dilakukan dengan cara membatasi jumlah siswa yang masuk dengan membagi jadwal dalam beberapa sesi. Dengan demikian jarak fisik tetap terjaga.
Selain itu sekolah juga tidak perlu memaksakan untuk tetap menerapkan jam belajar ideal seperti pada waku kondisi normal. Sebanyak 90% responden setuju untuk menerapkan kebijakan mengurangi jam sekolah.
Terpenting adalah pihak sekolah harus bisa memastikan agar protokol kesehatan bisa berjalan secara ketat. Terlebih mengatur serta memberi pengertian kepada anak-anak untuk mematuhi protokol kesehatan pastinya akan lebih sulit dibandingkan jika aktivitas itu diterapkan pada orang dewasa.
Pola komunikasi yang tepat serta pengawasan yang ketat menjadi kunci utama mengatasi persoalan ini.
(dam)