Penelitian Vaksin Covid-19 Diintai Intelijen

Sabtu, 02 Mei 2020 - 06:26 WIB
loading...
Penelitian Vaksin Covid-19 Diintai Intelijen
Foto/Koran SINDO
A A A
WASHINGTON - Banyaknya lembaga penelitian, perusahaan, dan laboratorium kelas dunia yang berlomba mengembangkan vaksin virus corona (Covid-19) telah menimbulkan persaingan tidak sehat. Bahkan, Amerika Serikat (AS) menyebut banyak intelijen asing memata-matai penelitian vaksin virus mematikan tersebut.

Direktur Kontraintelijen Nasional dan Pusat Keamanan Bill Evanina mengatakan, pemerintah AS telah memperingatkan risiko organisasi penelitian medis mengenai aksi spionase. Namun, dia tidak mengatakan apakah ada laporan pencurian data. Bukan hanya AS, sumber keamanan Inggris juga mengatakan mereka juga mewaspadai aksi spionase tersebut.

Para peneliti, perusahaan farmasi, dan pemerintah terlibat dalam pengembangan vaksin corona. Semua upaya dilakukan secara simultan untuk melindungi mereka oleh badan intelijen dalam negeri. Namun, mereka juga menjadi target lembaga intelijen asing. (Baca: Kembangkan Vaksin Corona, Bio Farma Gandeng China)

Evanina mengungkapkan, lembaganya memberikan bantuan dan panduan untuk melawan lembaga intelijen asing terhadap pengusaha dan akademisi. “Kita telah bekerja dengan industri dan pemerintah dengan erat untuk menjamin mereka melindungi seluruh penelitian dan data mereka,” katanya kepada BBC.

Pemerintah AS memang sedang berusaha membantu pembuatan vaksin dalam program yang dilaporkan bernama 'Operation Warp Speed'. Menariknya, negara mana pun yang menemukan formulasi vaksin pertama yang efektif dan aman, mungkin dapat memastikan warganya terlebih dahulu mendapat manfaat vaksin itu.

"Kami telah melakukan kontak dengan setiap organisasi medis yang melakukan penelitian untuk meminta mereka sangat, sangat waspada," ujar Evanina. "Di dunia sekarang ini, tidak ada yang lebih berharga atau layak dicuri dibandingkan penelitian biomedis apa pun yang akan membantu menemukan vaksin virus corona,” jelasnya.

Pada pertengahan April, seorang pejabat FBI (Biro Penyidik Federal AS) mengatakan ada "beberapa gangguan" ke lembaga yang melakukan penelitian terkait Covid-19 . Wakil Asisten Direktur FBI Tonya Ugoretz mengatakan data biomedis telah lama menjadi "target prioritas untuk spionase dunia maya". “Lembaga yang mengembangkan vaksin virus itu telah ditandai,” kata Ugoretz.

Hal senada diungkapkan Asisten Jaksa Agung AS untuk Keamanan Nasional, John Demers. Dia mengungkapkan akan "sangat absurd" untuk berpikir China tidak akan tertarik dengan penelitian seperti itu.

Kanada yang mengembangkan vaksin korona juga menjadi target. Pusat Keamanan Siber Kanada pada Maret memperingatkan bahwa pihak penyerang yang canggih dapat mencoba mencuri kekayaan intelektual organisasi yang terlibat dalam penelitian dan pengembangan terkait dengan Covid-19.

Mata-mata AS dan negara Barat lain juga mungkin tertarik pada apa yang sedang terjadi di China, termasuk perbedaan jumlah korban jiwa Covid-19 serta penelitiannya tentang vaksin dan perawatan pasien. Ada juga kekhawatiran yang sedang berlangsung tentang risiko serangan siber terhadap organisasi kesehatan, yang dapat mengganggu mereka menanggapi wabah tersebut.

Dua rumah sakit di Republik Ceko melaporkan mengalami serangan siber pada April. Hal ini direspons pemerintah AS. "Kami menyerukan kepada aktor yang bersangkutan untuk menahan diri melakukan aktivitas siber yang mengganggu sistem perawatan kesehatan Republik Ceko atau infrastruktur serupa di tempat lain," kata Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo.

Diproduksi Massal Juli Mendatang

Banyak perusahaan farmasi global yang sudah menjamin ketersediaan vaksin corona pada akhir 2020. Proses produksi vaksin diprediksi akan dimulai pada Juli mendatang. Mereka pun bersiap membangun dan memperkuat pabrik vaksin untuk produksi vaksin virus corona secara massal. Langkah itu setelah banyak perusahaan farmasi menyatakan uji klinis vaksin menunjukkan kemungkinan hasil yang mencerahkan.

Moderna Inc dan perusahaan farmasi Swiss Lonza Group AG juga sudah mengakselerasikan persiapan produksi vaksin corona. Itu dilakukan setelah mereka melaksanakan uji klinis vaksin yang diberi nama mRNA-1273. Mereka sepakat memproduksi satu miliar dosis vaksin korona dan siap transfer teknologi pada Juni mendatang. Produksi vaksin korona diprediksi pada Juli mendatang di pabrik Lonza AS.

“Semua pihak berharap perlunya produksi tambahan selain di Lonza, tetapi jika mRNA-1273 bisa digunakan di seluruh dunia,” kata Moderna Inc dan Lonza. Awal April lalu, Moderna mendapatkan dana senilai USD483 juta dari pemerintah AS untuk mengakselerasi pengembangan vaksin Covid-19.

Sementara itu, Pfizer bertujuan memproduksi 10-20 juta dosis vaksin korona yang dikembangkan dengan lembaga riset BioNtech dari Jerman akhir 2020. Mereka telah melaksanakan uji klinis pada manusia di Jerman dan akan melaksanakan uji klinis di AS. Pfizer berharap jutaan dosis vaksin itu bisa diproduksi dalam beberapa bulan. (Baca juga: CEO Sanofi Kritik Eropa Lamban Kembangkan Vaksin Corona)

Pfizer, BioNtech, bersama dengan lembaga lainnya berlomba mengembangkan vaksin virus corona. Hingga belum ada vaksin dan pengobatan yang disepakati, maka perlombaan tersebut menunjukkan kemampuan riset dan pengembangannya. Lebih dari 70 kandidat vaksin virus corona sedang diteliti, termasuk Moderna, Johnson & Johnson, dan Novavax. Banyak negara dan perusahaan mempertaruhkan miliaran dolar AS untuk vaksin yang bisa saja tidak berhasil.

CEO perusahaan farmasi AstraZeneca Pascal Soriot juga mengungkapkan, vaksin virus korona bisa tersedia terbatas pada akhir tahun. Perusahaan farmasi raksasa tersebut sepakat memproduksi dan mendistribusikan vaksin virus corona yang dikembangkan Universitas Oxford.

Universitas Oxford telah menguji coba vaksin pada manusia pekan lalu. Soriot mengungkapkan, tim Universitas Oxford bekerja dengan sangat cepat dan tepat dengan teknologi modern. “Pada Juni atau Juli, AstraZeneca percaya diri bahwa vaksin itu akan tersedia,” katanya. Saat vaksin sudah valid, proses produksi massal juga akan dilaksanakan saat itu.

AstraZeneca yang bermitra dengan Jenner Institute, Universitas Oxford, mengungkapkan data pengujian vaksin baru tersedia pertengahan Juni. Persetujuan dari otoritas kesehatan dilaksanakan pada kuartal keempat 2020 dan bisa digunakan terbatas pada akhir tahun ini.

“Harapan kita, kita bisa mengakselerasikan globalisasi vaksin untuk memerangi virus dan melindungi masyarakat dari pandemi mematikan ini,” kata Soriot dilansir BBC. Jika vaksin tersebut dinyatakan efektif, AstraZeneca akan memproduksi 10 juta dosis vaksin pada akhir tahun.

Profesor Sir John Bell dari Universitas Oxford mengatakan sangat penting kesepakatan untuk mendistribusikan vaksin di Inggris dan global. “Tantangan terberat adalah mendapatkan persetujuan regulator,” paparnya.

Vaksin untuk Semua

Sebelumnya, para pemimpin dunia bersepakat untuk mempercepat pengadaan obat dan vaksin virus korona (Covid-19) akhir April lalu. Saat bersamaan, WHO (Badan Kesehatan Dunia) meminta vaksin dan obat Covid-19 harus diakses semua negara di dunia. Namun, AS tidak ikut ambil bagian dalam inisiatif yang diluncurkan WHO tersebut.

Presiden Prancis Emmanuel Macron, Kanselir Jerman Angela Merkel, dan Presiden Afrika Selatan Cyril Ramaphosa merupakan pemimpin dunia yang bergabung dengan apa yang disebut WHO sebagai “kolaborasi bersama” untuk memerangi pandemi corona. Kesepakatan itu bertujuan mempercepat pengembangan obat Covid-19 yang aman dan efektif, serta vaksin untuk mencegah virus tersebut.

“Kita menghadapi ancaman nyata di mana kita hanya bisa mengalahkan dengan pendekatan bersama,” kata Direktur WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus, dilansir Reuters. “Pengalaman mengatakan kepada kita bahwa ketika obat dan vaksin tersebut tersedia, mereka akan bisa diakses semuanya,” katanya.

Hal itu belajar dari kasus pandemi flu burung H1N1 pada 2009 yang distribusi vaksinnya tidak merata karena hanya negara kaya yang mampu membeli. “Kita harus menjamin seorang bisa mendapatkannya,” kata Peter Sands, kepala Global Fund untuk Memerangi AIDS, Tuberkolosis, dan Malaria. “Belajar pengalaman dari AIDS, terlalu banyak orang meninggal sebelum obatnya bisa diakses secara luas,” paparnya.

Adapun PT Bio Forma,yang merupakan indukBUMN farmasi, menyatakan sedang mengkaji vaksin untuk penyembuhan virus corona(Covid-19). Direktur UtamaBio Farma Honesti Basyirmenargetkan Indonesiasudah bisa menemukanvaksin virus corona di akhir2020. Dia berharap pada 2021Bio Farma sudah bisamemproduksi massal vaksinanti-Covid-19. (Baca juga: Pemerintah Diminta Counter Peredaran Obat dan Vaksin Ilegal di Internet)

”Targetnya akhir 2020 ini bibit vaksin itu sudah ditemukan. Jadi ini bisa dipakai di tahun 2021," kata Honesti dalam rapat virtual bersama Komisi VI DPR diJakarta, Selasa (21/4/2020)

Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menegaskan bahwa diplomasi Indonesia menyasar pada kerja sama internasional untuk mewujudkan vaksin dan obat-obatan Covid-19, yang terjangkau bagi rakyat semua negara.

Merujuk pada data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), saat ini lebih dari 120 vaksin Covid-19 sedang dikembangkan di seluruh dunia, dan enam di antaranya dalam proses uji klinis. Namun, Menlu mengungkapkan bahwa rezim paten internasional sering kali tidak sesuai dengan keperluan umat manusia di seluruh dunia, terutama di negara berkembang dan least developed countries (LDCs).

“Karena itu, diplomasi Indonesia aktif memperkuat multilateralisme dengan tujuan utama mewujudkan akses yang berkeadilan bagi negara-negara berkembang dan LDCs terhadap vaksin dan obat-obatan dengan harga terjangkau,” kata Retno dalam konferensi pers virtual dari Jakarta, Rabu (29/4).

Untuk itu, Indonesia akan terus mendorong pemanfaatan semua fleksibilitas yang ada dalam rezim vaksin internasional, yang diatur dalam Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) maupun Organisasi Hak Kekayaan Intelektual (WIPO), dan menjajaki langkah-langkah inovatif lainnya guna mengatasi tantangan tersebut.

Pesan mengenai pentingnya akses terhadap vaksin dan obat-obatan Covid-19 bagi semua negara terus disuarakan Menlu Retno dalam berbagai pertemuan internasional, termasuk dalam Ministerial Coordination Group on Covid-19 (MCGC) yang diikuti menlu dari 11 negara yakni Kanada, Jerman, Prancis, Inggris, Australia, Indonesia, Singapura, Afrika Selatan, Brasil, Turki, dan Peru. (Andika H Mustaqim/Rina Anggraeni/Ant)
(ysw)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1489 seconds (0.1#10.140)