Intelektual Milenial Harus Perkuat Jati Diri keindonesiaan

Jum'at, 13 September 2019 - 15:44 WIB
Intelektual Milenial Harus Perkuat Jati Diri keindonesiaan
Intelektual Milenial Harus Perkuat Jati Diri keindonesiaan
A A A
JAKARTA - Kalangan akademisi diingatkan untuk ikut mewaspadai masuknya paham radikal di lingkungan kampus. Jangan sampai paham tersebut merasuk ke kalangan intelektual.

Instruktur Pendidikan Kader Penggerak Nahdatul Ulama (PKPNU) Nasional, Adnan Anwar menjelaskan untuk melawan radikalisme, kaum intelektual milenial harus bisa membentengi dengan memperkuat jati diri keindonesiaannya.

“Kita harus berkaca pada sejarah negara kita yang plural yang telah didirikan oleh para pendahulu kita ini dengan keadaan beragam. Bahkan Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia sudah terbukti menjadi menjadi common ideology yang sampai saat ini bisa menyatukan bangsa kita yang beragam ini, baik beragam suku, beragam wilayah, beragama etnis dan agama,” ujar Adnan di Jakarta, Rabu 11 September 2019.

Bahkan Pancasila ini, kata dia, juga sudah menjadi kajian di seluruh dunia, baik di Amerika, Eropa dan bahkan di negara-negara Arab yang menyatakan Pancasila ini bisa menjadi ideologi alternatif dunia.

Karena, salah satu kekuatan Indonesia itu ada di Pancasila ini. Kebanggaan terhadap nasionalisme bangsa ini harus dimunculkan kepada para generasi intektual milenial.

“Para pemimpin negara, pemimpin ormas ataupun pemimpin perguruan tinggi harus rajin membangkitkan kebangaan nasional kepada jajaran di bawahnya bahwa kita (Indonesia) ini jauh lebih baik dibandingkan dengan negara yang lain. Itulah salah satu cara untuk menghindari intoleransi dan takfiri,” ujar tokoh muda NU ini.

Adnan menjelaskan agar intelektual milenial tidak mudah terinfiltrasi paham radikalis, mereka harus mengikuti berbagai macam kegiatan yang positif dan sifatnya membangun karakter atau personal building.

“Kalau mereka tidak punya banyak aktivitas atau menyendiri, bukan tidak mungkin mereka akan mudah terpengaruh propaganda dari orang yang mengajarkan ide-ide tentang intoleransi itu. Jadi perlu diperbanyak media untuk beraktivitas atau berekspresi di lingkungan kampus itu,” tutur mantan Wakil Sekjen Pengurus Besar NU itu.

Menurut Adnan, jika para intelektual milenial ini sampai terinfiltrasi paham radikalisme maka negara ini bisa saja hancur karena pemikiran mereka yang desktruktif terhadap negara.

“Untuk itu pemerintah jangan ragu-ragu. Sudah benar itu beberapa kasus kampus yang memecat mahasiswa itu tentunya sudah sangat tepat sekali. Kalau bibit-bibit virus seperti ini dibiarkan, tentunya akan sangat membahayakan masa depan negara kita sehingga negara kita tidak bisa mencapai satu abad yang pertama guna menghadapi abad yang berikutnya atau abad kedua. Jadi harus berani ngotot, pemerintah tidak usah ragu-ragu untuk memberantas hal-hal yang bertentangan dengan ideologi bangsa,” tuturnya.

Untuk itu, lanjut dia, Adnan menyarankan agar perguruan tinggi melindungi mahasiswanya dari infiltrasi paham radikal dan takfiri.

Hal ini dikatakan Adnan bisa dilakukan dengan kerja sama dengan lembaga terkait seperti Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) atau Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) untuk penguatan ideologi kebangsaan.

Lalu, sambung dia, enggandeng pesantren moderat untuk pemahaman agamanya seperti misalnya pesantren Lirboyo di Kediri, pesantren Tebuireng di Jombang atau pesantren-pesantren moderat lainnya.

“Hal ini sebagai upaya untuk memutus mata rantai kelompok Rohis yang berasal dari tingkat SMA. Itu harus diputus dulu, karena radikalsiasi ini dimulai dari tingkat SMA. Itu harus dipustus dan mentoring harus dibubarkan, karena hal itu sudah ditunggangi oleh kelompok takfiri. Hal itu sudah terjadi sejak tahun 1980-an mentoring itu digunakan oleh mereka untuk rekrutmen,” tutur peneliti di Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) itu.

Karenanya, menurut dia, langkah yang dilakukan oleh Kepala BNPT selama ini untuk memberikan pembekalan wawasan kebangsaan kepada mahasiswa baru di kampus-kampus di Indonesia dianggap sudah tepat. Karena dari pengamatannya selama ini, kampus-kampus besar negeri yang ada di Jawa ini adalah justru menjadi sumber Takfiri.

“Kampus-kampus besar itu harus dibereskan, jangan dikasih ruang dan waktu. Kalau tidak bisa ya diganti saja itu rektor dan dekannya kalau tidak bisa menangani hal-hal yang seperti itu. Saya kira sudah sangat luar biasa yang dilakukan oleh Kepala BNPT untuk memberikan pembekalan ke kampus-kampus itu,” kata Alumni Universitas Airlangga Surabaya itu.

Menurut Adnan, pihaknya pun selama ini juga sudah masuk ke kampus-kampus untuk memutus gerakan yang bernuansa intoleransi dan takfiri ini agar tidak membesar. Hal ini sekaligus sebagai upaya untuk melindungi para kaum intelektual milenial agar tidak mudah terinfiltrasi paham-paham radikal tersebut.

“Kita juga bekerja sama dengan kader-kader NU yang ada di dalam kampus itu. Masjid-masjid kampus itu kita monitor agar tidak dijadikan sebagai sarang inkubasi radikalisme Indonesia. Tentunya harus dibantu dengan pemerintah juga,” ujarnya.
(dam)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.8527 seconds (0.1#10.140)