Sindiran Tere Liye: Pertamina Tak Pernah Salah, yang Salah Kalian
loading...
A
A
A
JAKARTA - Bagi kalangan pecinta novel, nama Tere Liye sudah tidak asing. Novel-novel karyanya digandrungi oleh kalangan anak muda di Tanah Air. Ada yang menarik di dinding Facebook Tere Liye pada Senin 24 Agustus 2020. Dia tidak berbicara tentang novel, tapi menyoroti tentang laporan keuangan Pertamina tanggal 30 Juni 2020.
Dia memberi judul tulisannya, Rugimu adalah Rugiku, Pertamina. Yang jadi pertanyaan, kenapa Tere Liye mengamati laporan keuangan Pertamina? "Dasar kurang ajar, beraninya nanya begitu, saya ini pemilik sah Pertamina (bersama 260 juta penduduk Indonesia lainnya). Pemilik kok nggak boleh lihat," tulis Tere di dinding Facebooknya.
Tulisan Tere dibuka dengan mempersoalkan penggunaan bahasa yang tertulis di Pertamina. Dia mempertanyakan penggunaan kata "dampak" yang biasa digunakan, diganti dengan efek.
Pria yang juga akuntan ini juga menyindir hasil laporan keuangan Pertamina tentang kerugian Rp11 triliun."Kalau diamat-amati, sebenarnya laporan keuangan ini masih oke banget. Kalian saja yang sirik, benci duluan. Loh kok bisa? Iya dong. Kan masih oke ruginya cuma 11 trilyun. Coba kalau ruginya jadi 100 trilyun? Bersyukur. Itu gara2 pimpinan mereka. Jangan kufur nikmat gitu lah. Eh?" tulisnya. ( )
Menurut dia, tidak butuh akuntan bermata elang untuk memahami kenapa Pertamina bisa merugi Rp11 triliun. "Masalahnya sederhana sekali..." tulis pria kelahiran Lahat, 1979 ini.
Berikut tulisan lengkap Tere Liye di dinding Facebooknya:
Rugimu adalah rugiku, Pertamina
Saya sedang mengamat-amati laporan keuangan Pertamina per tanggal 30 Juni 2020. Kenapa Tere Liye mengamat-amati? Dasar kurang ajar, beraninya nanya begitu, saya ini pemilik sah Pertamina (bersama 260 juta penduduk Indonesia lainnya). Pemilik kok nggak boleh lihat.
Pertama2, laporan yg dirilis di website Pertamina ini ternyata pakai istilah baru di baris tertentu, cukup pusing baca kalimatnya. Tahun lalu, masih pakai kata: LABA TAHUN BERJALAN SETELAH DAMPAK PENYESUAIAN LABA MERGING ENTITIES, per 30 Juni ini kata Dampak diubah menjadi Efek. -->(RUGI)/LABA TAHUN BERJALAN SETELAH EFEK PENYESUAIAN LABA MERGING ENTITIES. Tahun2 lalu 2018 juga pakai ‘Efek’.
Nggak penting sih, efek, dampak, sama saja. Toh wording-nya memang campur2, ada englishnya, ada indonesianya. Nggak akan ketukar dengan 'efek' pasar modal. Tapi minimal buat nunjukin ke kalian, Tere Liye itu tahu loh soal laporan keuangan. Sesepele ini saja dia 'tahu'. Kalian butuh akuntan bermata elang utk melihat hal seremeh ini. Eh, aduh kok jadi takabur.
Baik, mari kembali ke laporan keuangan.
Semester pertama 2020 ini, bottom line, Pertamina rugi 761 juta dollar (setara 11 trilyun rupiah, kurs 14,500), beda jomplang dengan semester pertama 2019 yang untung 746 juta dollar, (setara 10,8 trilyun).
Kalau diamat2i, sebenarnya laporan keuangan ini masih oke banget. Kalian saja yang sirik, benci duluan. Loh kok bisa? Iya dong. Kan masih oke ruginya cuma 11 trilyun. Coba kalau ruginya jadi 100 trilyun? Bersyukur. Itu gara2 pimpinan mereka. Jangan kufur nikmat gitu lah. Eh?
Tapi intinya begini, jika dilihat dari 'laba bruto' atau 'laba sebelum pajak penghasilan', angkanya masih mendinglah. Laba bruto di 1,6 milyar dollar. Laba/(rugi) sebelum pajak penghasilan (58) juta dollar. Yang bikin jadi banyak rugi di bottom line-nya, karena pajak penghasilan. Coba kalau Pertamina ditanggung pajak penghasilannya kayak anggota DPR, atau kayak pejabat2, haqqul yaqin, 31 Desember 2020, mesti untung laporannya nanti. Eh? Aduh, saya itu kalau disuruh bahas soal laporan keuangan, selalu saja kemana2. Biar terlihat cerdas gitu loh.
Tapi baiklah, kita serius sedikit.
Kenapa Pertamina rugi 11 trilyun? Masalahnya sederhana sekali. Kalian semua penyebabnya. Seluruh rakyat Indonesia. Tidak butuh akuntan bermata elang utk paham masalahnya. Kok salah kalian?
Coba perhatikan baik2. Penjualan dalam negeri tahun lalu per Juni 20,9 milyar dollar. Tahun sekarang turun jadi 16,5 milyar, alias turun 4,4 milyar (setara 63 trilyun), alias turun 21%. Celakanya, saat penjualan dalam negeri turun drastis, beban pokoknya tidak sedrastis itu turunnya, karena begitulah, nasib memang, kok bisa-bisanya beban pokok tetap segitu padahal harga minyak dunia pernah tumbang tinggal recehan saja per barel.
Maka, mudah menyimpulkannya: saat penjualan dalam negeri turun, sementara beban pokoknya tidak turun sebanyak itu, otomatis, laba kotor juga turun, lantas bawah2nya ikut kena, bottom line, jadilah rugi.
Salah siapa? KALIAN.
Coba kalau kalian tetap beli bensin, solar saat pandemi, coba kalau kalian semua mau berterimakasih ke Pertamina. Beli itu bensin, solar banyak2. Kan tidak rugi. Kalian benar2 tega. Yang kalian lakukan ke Pertamina itu jahat. Lihat, Pertamina itu sudah ngasih harga Pertamax 9000 loh. Itu sudah murah banget. Di Malaysia, yang kualitasnya lebih baik, cuma 5.000. Eh? Maaf, salah ambil contoh, coba lihat di negara lain, aduh, sebentar... di negara mana ya, eehh, saya harus ambil contoh di mana? Lupakan. Pokoknya, Pertamax di Indonesia itu sudah super murah. Titik.
Maka, atas keegoisan rakyat yang konsumsi minyaknya turun selama pandemi, jadilah Pertamina rugi. Padahal Pertamina harus habis2an terus melakukan eksplorasi, beban eksplorasi ini besar sekali di laporan keuangan. Paling besar diantara beban2 lain. Eh? Maaf ding, salah lihat lagi.
Intinya, core of the core, catat baik2, Pertamina tidak pernah salah. Direksi, komisaris tidak pernah salah. Yang salah adalah kalian. Ngaku pemilik Pertamina, eh pas pandemi nggak mau beli bensin, solar. Kan boong saja. Mereka sudah melakukan banyak sekali usaha profesional, termasuk menurunkan beban pokok, dll, kalian sih yg tidak mendukung.
Begitu saja analisinya. Tabik.
*Tere Liye, penulis novel "Negeri Para Bedebah"
**mohon maaf kalau ada yg salah; namanya juga penulis fiksi, disuruh bahas laporan keuangan, dia ngerti apa sih, cuma sok tahu.
Dia memberi judul tulisannya, Rugimu adalah Rugiku, Pertamina. Yang jadi pertanyaan, kenapa Tere Liye mengamati laporan keuangan Pertamina? "Dasar kurang ajar, beraninya nanya begitu, saya ini pemilik sah Pertamina (bersama 260 juta penduduk Indonesia lainnya). Pemilik kok nggak boleh lihat," tulis Tere di dinding Facebooknya.
Tulisan Tere dibuka dengan mempersoalkan penggunaan bahasa yang tertulis di Pertamina. Dia mempertanyakan penggunaan kata "dampak" yang biasa digunakan, diganti dengan efek.
Pria yang juga akuntan ini juga menyindir hasil laporan keuangan Pertamina tentang kerugian Rp11 triliun."Kalau diamat-amati, sebenarnya laporan keuangan ini masih oke banget. Kalian saja yang sirik, benci duluan. Loh kok bisa? Iya dong. Kan masih oke ruginya cuma 11 trilyun. Coba kalau ruginya jadi 100 trilyun? Bersyukur. Itu gara2 pimpinan mereka. Jangan kufur nikmat gitu lah. Eh?" tulisnya. ( )
Menurut dia, tidak butuh akuntan bermata elang untuk memahami kenapa Pertamina bisa merugi Rp11 triliun. "Masalahnya sederhana sekali..." tulis pria kelahiran Lahat, 1979 ini.
Berikut tulisan lengkap Tere Liye di dinding Facebooknya:
Rugimu adalah rugiku, Pertamina
Saya sedang mengamat-amati laporan keuangan Pertamina per tanggal 30 Juni 2020. Kenapa Tere Liye mengamat-amati? Dasar kurang ajar, beraninya nanya begitu, saya ini pemilik sah Pertamina (bersama 260 juta penduduk Indonesia lainnya). Pemilik kok nggak boleh lihat.
Pertama2, laporan yg dirilis di website Pertamina ini ternyata pakai istilah baru di baris tertentu, cukup pusing baca kalimatnya. Tahun lalu, masih pakai kata: LABA TAHUN BERJALAN SETELAH DAMPAK PENYESUAIAN LABA MERGING ENTITIES, per 30 Juni ini kata Dampak diubah menjadi Efek. -->(RUGI)/LABA TAHUN BERJALAN SETELAH EFEK PENYESUAIAN LABA MERGING ENTITIES. Tahun2 lalu 2018 juga pakai ‘Efek’.
Nggak penting sih, efek, dampak, sama saja. Toh wording-nya memang campur2, ada englishnya, ada indonesianya. Nggak akan ketukar dengan 'efek' pasar modal. Tapi minimal buat nunjukin ke kalian, Tere Liye itu tahu loh soal laporan keuangan. Sesepele ini saja dia 'tahu'. Kalian butuh akuntan bermata elang utk melihat hal seremeh ini. Eh, aduh kok jadi takabur.
Baik, mari kembali ke laporan keuangan.
Semester pertama 2020 ini, bottom line, Pertamina rugi 761 juta dollar (setara 11 trilyun rupiah, kurs 14,500), beda jomplang dengan semester pertama 2019 yang untung 746 juta dollar, (setara 10,8 trilyun).
Kalau diamat2i, sebenarnya laporan keuangan ini masih oke banget. Kalian saja yang sirik, benci duluan. Loh kok bisa? Iya dong. Kan masih oke ruginya cuma 11 trilyun. Coba kalau ruginya jadi 100 trilyun? Bersyukur. Itu gara2 pimpinan mereka. Jangan kufur nikmat gitu lah. Eh?
Tapi intinya begini, jika dilihat dari 'laba bruto' atau 'laba sebelum pajak penghasilan', angkanya masih mendinglah. Laba bruto di 1,6 milyar dollar. Laba/(rugi) sebelum pajak penghasilan (58) juta dollar. Yang bikin jadi banyak rugi di bottom line-nya, karena pajak penghasilan. Coba kalau Pertamina ditanggung pajak penghasilannya kayak anggota DPR, atau kayak pejabat2, haqqul yaqin, 31 Desember 2020, mesti untung laporannya nanti. Eh? Aduh, saya itu kalau disuruh bahas soal laporan keuangan, selalu saja kemana2. Biar terlihat cerdas gitu loh.
Tapi baiklah, kita serius sedikit.
Kenapa Pertamina rugi 11 trilyun? Masalahnya sederhana sekali. Kalian semua penyebabnya. Seluruh rakyat Indonesia. Tidak butuh akuntan bermata elang utk paham masalahnya. Kok salah kalian?
Coba perhatikan baik2. Penjualan dalam negeri tahun lalu per Juni 20,9 milyar dollar. Tahun sekarang turun jadi 16,5 milyar, alias turun 4,4 milyar (setara 63 trilyun), alias turun 21%. Celakanya, saat penjualan dalam negeri turun drastis, beban pokoknya tidak sedrastis itu turunnya, karena begitulah, nasib memang, kok bisa-bisanya beban pokok tetap segitu padahal harga minyak dunia pernah tumbang tinggal recehan saja per barel.
Maka, mudah menyimpulkannya: saat penjualan dalam negeri turun, sementara beban pokoknya tidak turun sebanyak itu, otomatis, laba kotor juga turun, lantas bawah2nya ikut kena, bottom line, jadilah rugi.
Salah siapa? KALIAN.
Coba kalau kalian tetap beli bensin, solar saat pandemi, coba kalau kalian semua mau berterimakasih ke Pertamina. Beli itu bensin, solar banyak2. Kan tidak rugi. Kalian benar2 tega. Yang kalian lakukan ke Pertamina itu jahat. Lihat, Pertamina itu sudah ngasih harga Pertamax 9000 loh. Itu sudah murah banget. Di Malaysia, yang kualitasnya lebih baik, cuma 5.000. Eh? Maaf, salah ambil contoh, coba lihat di negara lain, aduh, sebentar... di negara mana ya, eehh, saya harus ambil contoh di mana? Lupakan. Pokoknya, Pertamax di Indonesia itu sudah super murah. Titik.
Maka, atas keegoisan rakyat yang konsumsi minyaknya turun selama pandemi, jadilah Pertamina rugi. Padahal Pertamina harus habis2an terus melakukan eksplorasi, beban eksplorasi ini besar sekali di laporan keuangan. Paling besar diantara beban2 lain. Eh? Maaf ding, salah lihat lagi.
Intinya, core of the core, catat baik2, Pertamina tidak pernah salah. Direksi, komisaris tidak pernah salah. Yang salah adalah kalian. Ngaku pemilik Pertamina, eh pas pandemi nggak mau beli bensin, solar. Kan boong saja. Mereka sudah melakukan banyak sekali usaha profesional, termasuk menurunkan beban pokok, dll, kalian sih yg tidak mendukung.
Begitu saja analisinya. Tabik.
*Tere Liye, penulis novel "Negeri Para Bedebah"
**mohon maaf kalau ada yg salah; namanya juga penulis fiksi, disuruh bahas laporan keuangan, dia ngerti apa sih, cuma sok tahu.
(dam)