Membumikan IKN Sepenuh Hati
loading...
A
A
A
Situasi ini sepertinya juga sudah ditangkap oleh Jokowi sendiri. Menyadari banyak pihak berbalik arah maupun masih ragu, Jokowi berulang kali mengecek IKN sambil memboyong puluhan orang berpengaruh. Mulai dari menteri, pimpinan media, pengusaha, artis, influencer hingga politisi. Dalam perspektif komunikasi publik, Jokowi tentu tidak sekadar menjadikan mereka sebagai simbol untuk validasi atas kebijakannya. Lebih dari itu, kehadiran para pesohor itu diharapkan menciptakan kognitif baru bahwa IKN benar-benar urgen dan harus beroperasi.
Berpijak fakta di atas, membumikan IKN agar masuk ke benak dan relung hati rakyat jelas bukan pekerjaan mudah. Ini tentu berpulang dari lahirnya kebijakan IKN sendiri yang belum memiliki representasi kuat di mata rakyat. Seperti diketahui, isu IKN kian mengemuka di era kepemimpinan Jokowi periode kedua. Tak butuh lama, Jokowi berhasil mengonsolidasikan rencananya itu dengan taktis di DPR.
Kendati sempat ada penolakan dari sejumlah fraksi, namun semua mudah teratasi. Regulasi pun dikebut demi mengejar target realisasi. Pada April 2019, Jokowi memutuskan bahwa IKN keluar dari Pulau Jawa, bukan di Jonggol, Jawa Barat seperti yang muncul era Presiden Soeharto atau Palangkaraya, Kalimantan Tengah di masa Presiden Soekarno. IKN bahkan dimasukkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024.
Namun, dukungan untuk Jokowi ini sejatinya belum sepenuhnya bulat. Rakyat sebagai pemilik negeri ini seolah tak disapa sepenuh hati untuk mengetahui sejauhmana urgensi IKN harus berdiri. DPR pun belum cukup sebagai simbol deliberasi atau untuk mewakili isi kebatinan publik. Kesenjangan inilah yang membuat publik seperti dikatakan Leon Festinger, psikolog sosial AS, mengalami disonansi kognitif. Publik tak mendapatkan alasan kuat. Yang terjadi, kebenaran akan isu IKN datang dari berbagai perspektif, bukan langsung dari sumber inti. Masih ada celah besar antara idealitas publik dengan realitas.
Persoalan mendasar lain yang membuat IKN ini sulit membumi adalah pengerjaan proyek ini terlalu cepat. Artinya, antara kesiapan kognitif, psikologis dan mental publik tidak berbanding lurus dengan kesiapan pembangunan fisik. Maka yang terjadi, langkah Jokowi ini ibarat orang tua yang ngotot membangunkan rumah bagi anaknya, namun kurang bergayung sambut lantaran sang anak tak pernah diajak rembukan secara matang. Anak puk menjadi tak antusias untuk menempati karena tidak ada panggilan hati sama sekali.
Jika fenomena ini benar terjadi, dikhawatirkan IKN ke depan hanyalah sebatas bangunan-bangunan fisik yang minim interaksi dan kepedulian dengan penghuninya. Masalahnya ada pengabaian politik (political ignorance) atas hak kebutuhan publik, termasuk hak masyarakat adat setempat.Bahkan lebih miris lagi, jika hal ini tak diantisipasi dini, IKN akan menjadi proyek mangkrak dan merugi. Anggaran triliunan rupiah yang digelontorkan secepat kilat di tempat ini pun tak memberikan manfaat berarti.
Bangsa ini telah memiliki sederet pengalaman pahit dengan banyaknya proyek nasional yang mangkrak akibat tingginya ambisi dan mimpi lantaran tak diimbangi dengan keseriusan serta partisipasi publik. Megaproyek Hambalang di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Jakarta Monorail era Megawati Soekarnoputri menjadi contoh nyata di antaranya. Jangan sampai, kerugian besar bangsa ini terulang. Lebih-lebih akibat kebijakan yang dibuat kurang matang dan penyimpangan.
Upacara HUT ke-79 RI di IKN adalah sangat bersejarah, monumental dan sekaligus titik awal (starting point) untuk keberlanjutan proyek ini hingga benar-benar tuntas. Di balik megahnya bangunan-bangunan, IKN jelas mengandung tujuan yang mendalam. Ada pemerataan, ketersambungan, keadilan, kesejahteraan dan misi mulia lainnya sebagaimana yang dimimpikan Presiden Soekarno pada 17 Juli 1957 lalu. Maka, upacara untuk memeringati Kemerdekaan RI jangan sampai sebatas seremoni atau memuarakan kekaguman. Jangan sampai habis acara yang gemebyar itu, IKN kembali sepi dan tak diketahui kapan akan bergeliat lagi.
Di depan mata, ada pekerjaan besar semua elemen bangsa untuk mengokohkan kesadaran, membulatkan tekad dalam mewujudkan Nusantara menjadi ibu kota negara yang milik bersama. Delapan prinsip yang menjadi pijakan utama konsep 'Smart City' pembangunan IKN bukanlah kalimat-kalimat imajinatif semata. Prinsip seperti desain sesuai kondisi alam, Bhinneka Tunggal Ika, terhubung aktif dan mudah diakses, rendah emisi karbon, sirkuler dan tangguh, aman dan terjangkau, kenyamanan dan efisiensi melalui teknologi, dan peluang ekonomi untuk semua adalah membutuhkan kerja-kerja nyata, partisipatif dan kolaboratif.
Dengan kerja dan representasi bersama, IKN diharapkan memunculkan objektifikasi yang lebih bermakna dan mengakar kuat di benak publik. IKN pun bukan lagi kental soal ambisi pribadi atau kepentingan elite, namun berubah menjadi milik bersama. Karena di dalamnya ada tujuan kolektif yang realisasinya butuh kerja-kerja partisipatif dan sepenuh hati.
Berpijak fakta di atas, membumikan IKN agar masuk ke benak dan relung hati rakyat jelas bukan pekerjaan mudah. Ini tentu berpulang dari lahirnya kebijakan IKN sendiri yang belum memiliki representasi kuat di mata rakyat. Seperti diketahui, isu IKN kian mengemuka di era kepemimpinan Jokowi periode kedua. Tak butuh lama, Jokowi berhasil mengonsolidasikan rencananya itu dengan taktis di DPR.
Kendati sempat ada penolakan dari sejumlah fraksi, namun semua mudah teratasi. Regulasi pun dikebut demi mengejar target realisasi. Pada April 2019, Jokowi memutuskan bahwa IKN keluar dari Pulau Jawa, bukan di Jonggol, Jawa Barat seperti yang muncul era Presiden Soeharto atau Palangkaraya, Kalimantan Tengah di masa Presiden Soekarno. IKN bahkan dimasukkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024.
Namun, dukungan untuk Jokowi ini sejatinya belum sepenuhnya bulat. Rakyat sebagai pemilik negeri ini seolah tak disapa sepenuh hati untuk mengetahui sejauhmana urgensi IKN harus berdiri. DPR pun belum cukup sebagai simbol deliberasi atau untuk mewakili isi kebatinan publik. Kesenjangan inilah yang membuat publik seperti dikatakan Leon Festinger, psikolog sosial AS, mengalami disonansi kognitif. Publik tak mendapatkan alasan kuat. Yang terjadi, kebenaran akan isu IKN datang dari berbagai perspektif, bukan langsung dari sumber inti. Masih ada celah besar antara idealitas publik dengan realitas.
Persoalan mendasar lain yang membuat IKN ini sulit membumi adalah pengerjaan proyek ini terlalu cepat. Artinya, antara kesiapan kognitif, psikologis dan mental publik tidak berbanding lurus dengan kesiapan pembangunan fisik. Maka yang terjadi, langkah Jokowi ini ibarat orang tua yang ngotot membangunkan rumah bagi anaknya, namun kurang bergayung sambut lantaran sang anak tak pernah diajak rembukan secara matang. Anak puk menjadi tak antusias untuk menempati karena tidak ada panggilan hati sama sekali.
Jika fenomena ini benar terjadi, dikhawatirkan IKN ke depan hanyalah sebatas bangunan-bangunan fisik yang minim interaksi dan kepedulian dengan penghuninya. Masalahnya ada pengabaian politik (political ignorance) atas hak kebutuhan publik, termasuk hak masyarakat adat setempat.Bahkan lebih miris lagi, jika hal ini tak diantisipasi dini, IKN akan menjadi proyek mangkrak dan merugi. Anggaran triliunan rupiah yang digelontorkan secepat kilat di tempat ini pun tak memberikan manfaat berarti.
Bangsa ini telah memiliki sederet pengalaman pahit dengan banyaknya proyek nasional yang mangkrak akibat tingginya ambisi dan mimpi lantaran tak diimbangi dengan keseriusan serta partisipasi publik. Megaproyek Hambalang di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Jakarta Monorail era Megawati Soekarnoputri menjadi contoh nyata di antaranya. Jangan sampai, kerugian besar bangsa ini terulang. Lebih-lebih akibat kebijakan yang dibuat kurang matang dan penyimpangan.
Upacara HUT ke-79 RI di IKN adalah sangat bersejarah, monumental dan sekaligus titik awal (starting point) untuk keberlanjutan proyek ini hingga benar-benar tuntas. Di balik megahnya bangunan-bangunan, IKN jelas mengandung tujuan yang mendalam. Ada pemerataan, ketersambungan, keadilan, kesejahteraan dan misi mulia lainnya sebagaimana yang dimimpikan Presiden Soekarno pada 17 Juli 1957 lalu. Maka, upacara untuk memeringati Kemerdekaan RI jangan sampai sebatas seremoni atau memuarakan kekaguman. Jangan sampai habis acara yang gemebyar itu, IKN kembali sepi dan tak diketahui kapan akan bergeliat lagi.
Di depan mata, ada pekerjaan besar semua elemen bangsa untuk mengokohkan kesadaran, membulatkan tekad dalam mewujudkan Nusantara menjadi ibu kota negara yang milik bersama. Delapan prinsip yang menjadi pijakan utama konsep 'Smart City' pembangunan IKN bukanlah kalimat-kalimat imajinatif semata. Prinsip seperti desain sesuai kondisi alam, Bhinneka Tunggal Ika, terhubung aktif dan mudah diakses, rendah emisi karbon, sirkuler dan tangguh, aman dan terjangkau, kenyamanan dan efisiensi melalui teknologi, dan peluang ekonomi untuk semua adalah membutuhkan kerja-kerja nyata, partisipatif dan kolaboratif.
Dengan kerja dan representasi bersama, IKN diharapkan memunculkan objektifikasi yang lebih bermakna dan mengakar kuat di benak publik. IKN pun bukan lagi kental soal ambisi pribadi atau kepentingan elite, namun berubah menjadi milik bersama. Karena di dalamnya ada tujuan kolektif yang realisasinya butuh kerja-kerja partisipatif dan sepenuh hati.