Bangun Peradaban dan Persaudaraan Kebangsaan lewat Semangat Hijrah

Jum'at, 06 September 2019 - 20:31 WIB
Bangun Peradaban dan...
Bangun Peradaban dan Persaudaraan Kebangsaan lewat Semangat Hijrah
A A A
JAKARTA - Peristiwa Hijrah selama ini dipilih sebagai titik tolak penentuan kalender dalam Islam. Momentum ini merupakan sejarah yang mengawali lahirnya komunitas Madinah sebagai pondasi peradaban Islam yang dapat menguatkan ikatan Anshor (pribumi) dan Muhajirin (pendatang) serta dapat menjamin kebebasan masyarakat lintas agama dan suku.

Dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Hijrah dikontekstualisasikan untuk membangun persaudaraan kebangsaan, bukan meruntuhkan persaudaraan dengan menyemarakkan parade simbol identitas dan primordial yang dapat memecah belah persatuan bangsa.

Ketua Umum Yayasan Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP), Siti Musdah Mulia mengatakan, masyarakat utamanya umat muslim harus dapat menjadikan hijrah sebagai momentum membangun peradaban dengan persaudaraan keislaman dan persaudaraan kebangsaan, bukan malah memecah belah persatuan bangsa.

Umat muslim dikatakan Musdah harus memahami terlebih dahulu mengenai makna hijrah itu sendiri. “Nabi Muhammad melakukan hijrah dari Mekkah ke Madinah dengan satu harapan ingin mengubah peradaban manusia, peradaban umat Islam. Kalau ingin mengubah peradaban, adalah dengan membangun sesuatu lebih baik, lebih positif, lebih produktif dan lebih konstruktif. Bukan membangun untuk menghancurkan yang lain,” ujar Musdah Mulia di Jakarta, Kamis 5 September 2019.

Musdah menjelaskan, Nabi Muhammad saat itu pindah ke Madinah bukan hanya membangun peradaban umat Islam, tetapi juga membangun peradaban semua umat manusia. Di Madinah, Nabi memperkenalkan hidup saling bertoleransi untuk bisa menerima yang lain. Karena di Madinah tidak seperti di Mekkah yang cuma ada satu suku, tidak banyak agama.

“Nah di Madinah itu benar-benar terlihat banyak kelompok dan heterogen, karena ada berbeda suku, berbeda agama. Di sana ada agama Yahudi, ada Nasrani dan bahkan Paganisme serta agama lainnya. Tetapi Nabi Muhammad bisa merangkul kelompok agama yang berbeda itu. Karena Nabi menerapkan prinsip toleransi di dalam kepemimpinanya,” kata Ketua Lembaga Kajian Agama dan Jender (LKAJ) ini.

Hal itu menurut Musdah sangat penting dalam membangun masyarakat untuk bisa saling menghargai satu sama lain. “Kemudian kita lihat di Madinah itu ada Piagam Madinah . Jadi saya pikir inilah yang harus dicontoh oleh kita sebagai umat Islam,” katanya.

Namun yang menjadi masalah. Sebelum hijrah, orang merasa penuh dengan kesalahan, dosa dan bahkan merasa dirinya bersalah. Namun giliran sudah berhijrah, ada orang yang merasa orang lain penuh dosa sehingga orang tersebut harus "mentobat-tobatkan" orang lain.

“Itu kan keliru sekali. Tidak seperti itu kondisinya, bukan menyalah-nyalahkan orang lain. Hijrah itu adalah sebuah tahapan di dalam kehidupan dimana kita meninggalkan masa lalu kita dari kondisi yang sebelumnya tidak toleran menjadi toleran. Dari kondisi yang tidak memiliki nilai-nilai peradaban, lalu bisa membangun kondisi dimana nilai-nilai keadaban itu diterapkan.. Tidak perlu hijrah pindah tempat seperti Nabi,” tuturnya.

Inti hijrah, menurut dia, perpindahan dari masyarakat yang kurang beradab menjadi masyarakat lebih beradab dengan mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan universal. Karena pada akhirnya manusia beragama itu untuk kemanusiaan, bukan kepada Tuhan. Karena yang penting agama itu membawa manfaat bagi sesama seperti dikatakan dalam hadist Khoirunnas anfa'uhum linnas yang artinya Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lain.

Bahkan dalam ajaran agama Islam yang rahmatan lil alamin juga terkandung dalam Surat Al-Anbiya Ayat 107 dikatakan Wa mā arsalnāka illā raḥmatal lil-'ālamīn, yang artinya Kami mengutus kamu (Muhammad), untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh semesta alam.

“Jadi bukan hanya buat umat Islam atau sekadar untuk manusia, tapi untuk semua makhluk di jagad raya ini. Jadi kita ini benar-benar punya manfaat. Ini yang menurut saya harus dicermati kembali oleh kita sebagai orang yang mengaku sebagai pengikut Nabi dan sebagai umat Islam untuk memaknai kembali intisari dari hijrah itu,” ucap profesor riset bidang lektur keagamaan ini

Oleh karena itu Musdah meminta masyarakat muslim di Tanah Air harus mencontoh peradaban Madinah di masa lalu agar bisa menjalin persaudaraan keagamaan dan kebangsaan di Indonesia. Dengan demikian dalam konteks kebangsaan, hijrah adalah bagaimana kita menjadikan Indonesia ini sebagai perekat yang mampu membangun rasa persaudaraan.

“Karena yang diajarkan dalam Islam itu bukan hanya ukhuwah Islamiyah, tetapi juga ukhuwah wathaniyah, saudara se-Tanah Air dan juga ukhuwah basyariah, saudara sesama manusia. Islam itu ajarannya luas dan lugas yang benar-benar mengedepankan sisi-sisi kemanusiaan yang tinggi. Jadi penghargaan dan apresiasi itu bukan hanya terhadap sesama muslim, tetapi juga kepada sesama manusia. Itu yang penting dan perlu kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari kita sebagai umat beragama,” tuturnya.

Dia mengajak para tokoh masyarakat, tokoh agama dan tokoh politik untuk bisa mengajak umat dan masyarakat untuk berhijrah ke dalam kehidupan yang lebih baik. Ini agar sesama manusia bisa saling menghargai tanpa adanya ujaran kebencian yang bisa menimbulkan perpecahan.

“Itu sangat penting. Bahkan saya membuat buku pedoman dakwah buat para mubaligh bahwa dalam berdakwah itu intinya adalah mengajak orang kepada kebaikan dengan cara-cara yang santun. Kalau misalnya dalam suatu komunitas harus berdebat, berdebatnya pun juga dengan cara-cara yang tidak menyerang dan tidak menimbulkan rasa benci kepada orang yang berbeda. Nah ini harus dilakukan oleh para para ulama, tokoh masyarakat dan tokoh politik sebagai panutan masyarakat,” ujarnya.
(dam)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0915 seconds (0.1#10.140)