Parpol Lokal Papua Bisa Redam Kekerasan, Contohnya GAM di Aceh
loading...
A
A
A
JAKARTA - Pembentukan partai politik (parpol) lokal di wilayah yang memiliki catatan kekerasan dan konflik panjang, seperti Papua, masih pro dan kontra. Di Indonesia, baru di Provinsi Aceh yang diperbolehkan adanya parpol lokal dan ikut dalam pemilihan umum (pemilu).
Partai Papua Bersatu (PPB) sudah mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) agar diizinkan ikut dalam pemilu. Pengamat politik Universitas Gadjah Mada (UGM) Mada Sukmajati mengatakan pembentukan parpol di sebuah negara atau wilayah dengan latar belakang konflik biasanya untuk melembagakan kekerasan menjadi gerakan politik.
“Dari kekerasan fisik menjadi adu gagasan atau kebijakan di lembaga politik. Pembentukan parpol untuk mengintegrasikan aktor-aktor di lapangan ke sistem politik sehingga bisa menampung aspirasi dan tuntutan para aktor,” ujarnya dalam diskusi daring “Menimbang Pembentukan Partai Politik Lokal di Papua”, Selasa (25/8/2020).
(Baca: Parpol Lokal Papua Bisa Menjawab Persoalan Biaya Politik yang Mahal)
Dengan masuknya para aktor lapangan itu ke sistem politik diharapkan kekerasan fisik yang bisa terjadi dapat diredam. Keberadaan parpol lokal itu akan membuat efisien dan efektif pengelolaan konflik. Efisien itu dari sisi biaya, waktu, dan tenaga.
Sementara itu, efektif dilihat dari perubahan medan konflik ke kontestasi politik atas berbagai kebijakan publik. “Tujuan pembentukan parpol lokal ada sisi positifnya,” ucapnya. Mada menerangkan pemerintah pusat biasanya khawatir parpol lokal malah akan mendorong dan menguatkan tuntutan untuk merdeka.
Namun, pembentukan parpol lokal di Papua, katanya, bergantung pada kesiapan kelompok-kelompok perlawanan di Papua untuk bertransformasi. Dia memaparkan pemerintah pusat dan Papua harus belajar dari Aceh yang memiliki parpol lokal.
Para mantan elite Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sekarang turun ke gelanggang politik melalui parpol lokal. “Aceh berhasil, sudah tidak ada lagi gerakan di lapangan. Berapa parpol lokal bisa eksis dan berpartisipasi dalam sistem politik Indonesia,” tuturnya.
(Baca: Wamena Papua Kembali Mencekam, 10 Rumah Dibakar dan 4 Warga Terluka)
Meskipun demikian, Mada mewanti-wanti tujuan utama dari keinginan pembentukan parpol lokal di Papua itu harus jelas. Ada kemungkinan yang bisa terjadi. Pertama, parpol digunakan untuk mendorong kesejahteraan masyarakat Papua. Kedua, hanya cara elite untuk mendapatkan kue kekuasaan.
“Lalu tidak ada peningkatan kesejahteraan. Jangan sampai, semakin banyak parpol lokal malah tidak berimplikasi pada kesejahteraan (masyarakat Papua),” paparnya.
Keberhasilan parpol lokal untuk mencapai tujuannya, seperti kesejahteraan dan keadilan, sangat ditentukan kemampuan politik dari aktor-aktor yang masuk ke panggung politik. Mada menerangkan karakter parang di lapangan dan parlemen jauh berbeda.
“Orang mengorganisasi pasukan dan bertarung di level gagasan (berbeda). Orang menggunakan senjata dan pena itu beda. Kedua, sejauh mana faktor kepemimpinan parpol mampu merepresentasikan kelompok-kelompok yang ada di Papua,” pungkasnya.
Partai Papua Bersatu (PPB) sudah mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) agar diizinkan ikut dalam pemilu. Pengamat politik Universitas Gadjah Mada (UGM) Mada Sukmajati mengatakan pembentukan parpol di sebuah negara atau wilayah dengan latar belakang konflik biasanya untuk melembagakan kekerasan menjadi gerakan politik.
“Dari kekerasan fisik menjadi adu gagasan atau kebijakan di lembaga politik. Pembentukan parpol untuk mengintegrasikan aktor-aktor di lapangan ke sistem politik sehingga bisa menampung aspirasi dan tuntutan para aktor,” ujarnya dalam diskusi daring “Menimbang Pembentukan Partai Politik Lokal di Papua”, Selasa (25/8/2020).
(Baca: Parpol Lokal Papua Bisa Menjawab Persoalan Biaya Politik yang Mahal)
Dengan masuknya para aktor lapangan itu ke sistem politik diharapkan kekerasan fisik yang bisa terjadi dapat diredam. Keberadaan parpol lokal itu akan membuat efisien dan efektif pengelolaan konflik. Efisien itu dari sisi biaya, waktu, dan tenaga.
Sementara itu, efektif dilihat dari perubahan medan konflik ke kontestasi politik atas berbagai kebijakan publik. “Tujuan pembentukan parpol lokal ada sisi positifnya,” ucapnya. Mada menerangkan pemerintah pusat biasanya khawatir parpol lokal malah akan mendorong dan menguatkan tuntutan untuk merdeka.
Namun, pembentukan parpol lokal di Papua, katanya, bergantung pada kesiapan kelompok-kelompok perlawanan di Papua untuk bertransformasi. Dia memaparkan pemerintah pusat dan Papua harus belajar dari Aceh yang memiliki parpol lokal.
Para mantan elite Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sekarang turun ke gelanggang politik melalui parpol lokal. “Aceh berhasil, sudah tidak ada lagi gerakan di lapangan. Berapa parpol lokal bisa eksis dan berpartisipasi dalam sistem politik Indonesia,” tuturnya.
(Baca: Wamena Papua Kembali Mencekam, 10 Rumah Dibakar dan 4 Warga Terluka)
Meskipun demikian, Mada mewanti-wanti tujuan utama dari keinginan pembentukan parpol lokal di Papua itu harus jelas. Ada kemungkinan yang bisa terjadi. Pertama, parpol digunakan untuk mendorong kesejahteraan masyarakat Papua. Kedua, hanya cara elite untuk mendapatkan kue kekuasaan.
“Lalu tidak ada peningkatan kesejahteraan. Jangan sampai, semakin banyak parpol lokal malah tidak berimplikasi pada kesejahteraan (masyarakat Papua),” paparnya.
Keberhasilan parpol lokal untuk mencapai tujuannya, seperti kesejahteraan dan keadilan, sangat ditentukan kemampuan politik dari aktor-aktor yang masuk ke panggung politik. Mada menerangkan karakter parang di lapangan dan parlemen jauh berbeda.
“Orang mengorganisasi pasukan dan bertarung di level gagasan (berbeda). Orang menggunakan senjata dan pena itu beda. Kedua, sejauh mana faktor kepemimpinan parpol mampu merepresentasikan kelompok-kelompok yang ada di Papua,” pungkasnya.
(muh)