Pindah Ibu Kota, Indonesia Akan Catat Sejarah Baru

Sabtu, 24 Agustus 2019 - 14:02 WIB
Pindah Ibu Kota, Indonesia Akan Catat Sejarah Baru
Pindah Ibu Kota, Indonesia Akan Catat Sejarah Baru
A A A
JAKARTA - Rencana pemindahan Ibu Kota dari Jakarta ke Kalimantan menuai pro dan kontra. Ada sejumlah pihak yang mendukung gagasan Presiden Joko Widodo tersebut.

Namun, ada pula anggapan bahwa pemindahan Ibu Kota keluar Jakarta "mengebiri" sejarah atas penetapan Jakarta sebagai Ibu Kota.

Sejarahwan LIPI Asvi Warman Adam menilai, jika nantinya Ibu Kota jadi dipindah maka Indonesia akan mencatatkan tinta emas dalam sejarah Indonesia.

"Indonesia akan mencatat sejarah baru dengan membuat Ibu Kota yang baru. Ibu Kota yang bukan warisan kolonial, Ibu Kota yang kita ciptakan sendiri. Itu akan menjadi tinta emas dalam sejarah Indonesia," tuturnya dalam Talkshow Akhir Pekan Terhangat Polemik MNC Trijaya bertema "Gundah Ibu Kota Dipindah" di d'consulate Resto & Lounge, Jakarta, Sabtu, (25/8/2019).

Asvi mengatakan, pemindahan Ibu Kota atau pusat pemerintahan berkaitan dengan dua hal. Pertama faktor pendorong dan faktor penarik. Di dalam sejarah RI, faktor pendorong dan penarik ketika pusat pemerintahan dipindah ke Yogyakarta pada 1946 dipicu kondisi Jakarta yang saat itu dinilai tidak aman. "Saat itu Jakarta tidak aman secara politik, polisi dan tentara tidak berfungsi secara penuh sehingga Yogya menawarkan menjadi pusat pemerintahan dan presiden dan wapres setuju. Kepentingan yang memaksa, itu faktor pendorongnya," papar Asvi.

Selanjutnya, kata Asvi, pada 1948, presiden dan wakil presiden ditawan Belanda. Presiden kemudian sempat mengirim telegram untuk membentuk pusat pemerintahan darurat di Bukit Tinggi. Kemudian pada 1950, Presiden berkedudukan di Jakarta.

Selanjutnya pada 1957, Palangkaraya, Kalimantan Tengah ditetapkan sebagai Ibu Kota provinsi. Dikatakan Asvi, Presiden Soekarno saat itu merasa cocok untuk menjadikan Palangkaraya menjadi Ibu Kota Negara karena posisinya yang berada di tengah-tengah wilayah Indonesia dan luas wilayahnya sepertiga dari luasan Indonesia.

"Saat itu ada kegentingan yang memaksa dan menjadi faktor penarik keinginan Bung Karno agar Ibu Kota Negara berada di tengah-tengah," katanya.

Menurut Asvi, saat itu Bung Karno sangat serius untuk melakukan pemindahan, bukan sekadar mewacanakan saja. "Bahkan Bung Karno sudah membuat desain. Bung Karno datang ke Palangkaraya, tapi menjelang 60 ada hal yang menyebabkan Bung Karno menangguhkan rencananya," katanya.

Saat itu, ada tarwaran Indonesia menjadi tuan rumah Asean Games sehingga tidak mungkin event akbar tersebut digelar di Ibu Kota baru. Karena itu, dibangun stadiun besar di Senayan, patung selamat datang di depan Hotel Indonesia (HI) sehingga rencana memindahkan Ibu Kota terbengkelai. "Dan 1964, ditetapkan Jakarta sebagai Ibu Kota," urainya.

Jika nantinya Ibu Kota akhirnya berpindah maka Jakarta akan tetap menjadi kota bisnis. Menurutnya, dalam konteks kekinian, faktor pendorong untuk memindah Ibu Kota adalah kemacetan, banjir, dan kemungkinan tenggelamnya Jakarta Utara karena ada kenaikan air laut yang saat ini sudah mencapai 2 sentimeter.

"Ada yang meramalkan Jakarta Utara akan tenggelam. Jadi ada beberapa faktor pendorong. Faktor menarik juga jelas bahwa ditempatkannya Ibu Kota di tengah-tengah wilayah Indonesia, pembangunan bisa menoleh ke timur," paparnya.

Mengenai persoalan sejarah, Asvi mengatakan bahwa meski nantinya Ibu Kota tidak lagi berada di Jakarta, tetap saja Jakarta akan diingat terus sebagai Kota Proklamasi yang mana proklamasi terjadi hanya sekali sepanjang masa.

"Maka Jakarta akan selalu dikenal sebagai Kota Proklamasi. Menurut saya tak ada persoalan kalau Ibu Kota dipindah kalau itu baik untuk Indonesia ke depan bahwa Indonesia mengarah ke timur," urainya.
(cip)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4344 seconds (0.1#10.140)