Calon Tunggal di Pilkada Menandakan Napas Demokrasi Tercekik
loading...
A
A
A
JAKARTA - Calon tunggal di Pilkada menandakan napas demokrasi Indonesia tercekik. Hal itu diungkapkan oleh Mantan Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Amiruddin Al Rahab dalam webinar bertajuk Menggugat Fenomena Calon Tunggal Pilkada Serentak 2024, Minggu (4/8/2024).
"Kita bisa lihat bahwa calon tunggal ini sangat buruk bagi demokrasi kita ke depan. Apa yang bisa kita refleksikan? Jika calon tunggal itu berkembang, sekarang gejalanya sudah muncul, beberapa partai sudah kumpul sana-kumpul sini, itu menandakan bahwa napas demokrasi kita akan semakin tercekik," ujar Amiruddin.
Ia juga menilai, adanya calon tunggal merupakan bukti gagalnya partai politik untuk menciptakan pemimpin. "Calon tunggal juga menunjukan bahwa partai politik gagal dalam melakukan tanggung jawab politiknya, secara diri parpol kan tempat kepentingan banyak orang diagregat dan diartikulasikan. Salah satunya cara apa? Ya memunculkan tokoh orang yang membawa gagasan dari parpol itu," tutur Amiruddin.
Baca Juga: Artis di Pilkada, Pendulang Suara atau Penggembira?
Menurutnya, adanya calon tunggal merupakan bentuk tidak mampunya partai politik menciptakan figur pemimpin. Dengan kondisi itu, Amiruddin menilai bisa berdampak buruk bagi kualitas demokrasi.
Amiruddin pun menilai, keberadaan calon tunggal bisa melahirkan pemimpin yang otoriter. "Kenapa otoriter bisa terjadi? Karena dia menjadi orang satu-satunya di wilayah itu yang memiliki otoritas politik, karena tidak ada kompetitornya," ungkapnya.
Amiruddin pun menilai, lahirnya calon tunggal sebagai pemimpin daerah merupakan upaya politik yang dilakukan oleh banyak aktor. Biasanya, kata dia, calon tunggal yang diusung merupakan figur terkuat di daerahnya.
"Nah orang kuat lokal ini biasanya pertahana dalam politik atau orang yang didukung oleh banyak kekuatan politik, untuk menjadi orang kuat di wilayah itu secara baru, untuk singkirkan kompetitornya lain," tuturnya.
"Nah oleh karena itu, itu menunjukan bahwa kualitas politik kita atau kualitas demokrasi kita itu berjalan secara mundur akhirnya," pungkasnya.
"Kita bisa lihat bahwa calon tunggal ini sangat buruk bagi demokrasi kita ke depan. Apa yang bisa kita refleksikan? Jika calon tunggal itu berkembang, sekarang gejalanya sudah muncul, beberapa partai sudah kumpul sana-kumpul sini, itu menandakan bahwa napas demokrasi kita akan semakin tercekik," ujar Amiruddin.
Ia juga menilai, adanya calon tunggal merupakan bukti gagalnya partai politik untuk menciptakan pemimpin. "Calon tunggal juga menunjukan bahwa partai politik gagal dalam melakukan tanggung jawab politiknya, secara diri parpol kan tempat kepentingan banyak orang diagregat dan diartikulasikan. Salah satunya cara apa? Ya memunculkan tokoh orang yang membawa gagasan dari parpol itu," tutur Amiruddin.
Baca Juga: Artis di Pilkada, Pendulang Suara atau Penggembira?
Menurutnya, adanya calon tunggal merupakan bentuk tidak mampunya partai politik menciptakan figur pemimpin. Dengan kondisi itu, Amiruddin menilai bisa berdampak buruk bagi kualitas demokrasi.
Amiruddin pun menilai, keberadaan calon tunggal bisa melahirkan pemimpin yang otoriter. "Kenapa otoriter bisa terjadi? Karena dia menjadi orang satu-satunya di wilayah itu yang memiliki otoritas politik, karena tidak ada kompetitornya," ungkapnya.
Amiruddin pun menilai, lahirnya calon tunggal sebagai pemimpin daerah merupakan upaya politik yang dilakukan oleh banyak aktor. Biasanya, kata dia, calon tunggal yang diusung merupakan figur terkuat di daerahnya.
"Nah orang kuat lokal ini biasanya pertahana dalam politik atau orang yang didukung oleh banyak kekuatan politik, untuk menjadi orang kuat di wilayah itu secara baru, untuk singkirkan kompetitornya lain," tuturnya.
"Nah oleh karena itu, itu menunjukan bahwa kualitas politik kita atau kualitas demokrasi kita itu berjalan secara mundur akhirnya," pungkasnya.
(rca)